Menuju konten utama
Wawancara Reda Gaudiamo

"Anak-anak Tak Diberi Bacaan bahwa Hidup Tak Selalu Indah"

Karya sastra anak di Indonesia merupakan salah satu genre yang memiliki pembaca sangat terbatas. Namun, ada sosok yang masih peduli dengan buku yang menceritakan diri seorang anak. Dia adalah Reda Gaudiamo.

Header Reda Gaudiamo

tirto.id - Karya sastra anak di Indonesia merupakan salah satu genre yang memiliki pembaca sangat terbatas. Bukan karena minimnya akses, tapi sedikit sekali karya sastra anak yang dibuat setiap tahun. Bila dibandingkan dengan novel-novel coming of age, metropop, atau percintaan, sastra anak jumlahnya sangat sedikit. Namun, buku anak masih terbantu dengan beberapa terjemahan dari penulis asal luar negeri. Keberadaan buku anak yang ditulis oleh penulis Indonesia jumlahnya sedikit. Persoalan ini memunculkan pertanyaan, kenapa?

Reda Gaudiamo adalah satu dari duo folk Ari Reda. Ia seorang musisi dan juga penulis yang membuat karya sastra seperti Bisik-Bisik (2004), Pengantin Baru: Dan Cerita Penghantar Tidur Lainnya (2011), dan Tentang Kita (2015). Reda juga menulis buku anak yang diangkat dari kisah hidupnya berjudul Na Willa: Serial Catatan Kemarin yang dirilis pada 2012, dan Aku, Meps, dan Beps (2016). Reda menulis bersama anaknya Soca Sobitha dan beberapa bukunya dibuat ilustrasinya oleh Cecillia Hidayat.

Pada Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli, reporter Tirto Arman Dhani berkesempatan untuk mewawancarai Reda Gaudiamo dan membahas proses kreatif, bagaimana ia melihat proses membesarkan anak.

Kapan pertama kali memutuskan untuk menulis cerita tentang anak?

Sudah lama ya, mungkin sejak 2001. waktu itu saya dapat tugas, saat itu masih bekerja untuk majalah Cosmopolitan. Saat tugas, saya menemukan toko buku yang sangat menarik di New York saat itu, lalu menemukan buku Little Nicholas karangan Jean-Jaques Sempe dan Rene Goscinny.

Saya menemukan buku yang bapaknya sangat menjengkelkan, ibunya cerewet banget, kakek nenek yang sangat memanjakan, sampai si anak ini tahu kalau dia dimanjakan dan selalu memanfaatkan kakek neneknya. Bapak guru yang konyol, kepala sekolah yang salah-salah melulu.

Terus saya merasa; “Ih ini masa kecil gue deh.” Dengan guru yang salah-salah, kayak guru bisa salah, ibu bapak bisa ngawur-ngawur. Kenapa sih tidak ada buku seperti ini dan saat menemukan buku itu saya pikir cuma satu, ternyata empat seri yang diterjemahkan dalam bahasa inggris.

Buku aslinya sangat tebal seperti Alkitab dan seluruhnya dikasih ilustrasi oleh Sempe. Sempe itu ilustrator terkenal dari Perancis. Saya tahu Sempe dulu saat bapak saya kerja di Kedutaan Perancis, dan dia sering bawa pulang buku-buku itu tapi ilustrasi saja. Setelah itu, mulai berpikir untuk menulis sesuatu tentang anak kecil yang menjalani hidupnya apa adanya, yang dia sebal dengan ibu gurunya. Ibu guru bukan satu sosok maha baik, maha pintar dan maha tahu, tapi bisa sangat menjengkelkan, saya mulai nulis itu.

Mengapa ingin fokus pada buku anak? Bukankah sudah ada karya fiksi yang lain?

Karena saya sebal dengan buku anak-anak yang ada di sini. (Tertawa)

Sebal bagaimana?

Saya itu merasa seperti anak-anak itu tidak diberi bacaan yang membuat mereka tahu bahwa hidup itu tidak selalu indah, bahwa orang besar ada yang tidak baik, ada yang tidak pandai dan lain-lain. Saya ingin [memberi tahu] kenapa orang suka lupa bahwa anak-anak harus tahu banyak hal, dan anak-anak itu bukan orang, bukan makhluk yang lahir dengan pengetahuan cukup. Kita sebagai yang dewasa yang tahu, tapi kenapa suara mereka tidak didengar? Kenapa kekhawatiran mereka tidak didengar, dan tidak ditulis juga. Saya ingin bikin sesuatu yang menyuarakan anak-anak, juga soal kekhawatiran anak-anak, kegembiraan anak-anak dari kacamata anak-anak.

Apakah ini yang tergambar di buku Anda?

Na Willa itu sebenarnya dimulai dari Aku, Meps, dan Beps. Dengan judul Mak dan Nak. Jadi Soca Sobhita (Putri Reda Gaudiamo) sebal sekali setiap saya pulang malam. Saya bisa saja menulis bagaimana cerita dari sudut pandang saya, baru saja pulang bekerja. Namun, dari sudut pandang dia (anak) apa? Orang tua apakah mendengar itu? Saya meragukan itu. Saya ingin orang tua mendengar apa yang ada di kepala anak dan dari situ orang tua bisa mengerti harus melakukan apa.

Kenapa Anda menganggap ragam bacaan anak Indonesia terbatas?

Saya banyak baca, karena ada Soca, saya sering cari buku. Dan saya merasa (buku anak Indonesia) tidak cukup seru. Selalu ada misalnya tokoh antagonis, protagonis, dan tokoh protagonis itu selalu orang tua, selalu kakek nenek, selalu ibu guru. Dan ada hukuman ada apa, begitu terus pola ceritanya. Saya mengamati dari Soca, dari beberapa buku yang dia baca, dia bisa baca lebih dulu dari teman-temannya. Dia mudah bosan. Kami mulai mengarang cerita-cerita sendiri, tiba-tiba ada kursi berubah jadi monster karena kesal, atau sapu lidi yang berubah jadi sesuatu. Kami karang-karang sendiri, jadi dinosaurus kami karang sendiri, karena Soca sendiri bosan. Tidak ada ya cerita seperti Nikolas ini? Saat Soca delapan tahun saya bacakan itu dan dia ketawa ngakak-ngakak.

Apakah Anda berpikir buku anak-anak di Indonesia monoton?

Masalah itu jadi indikasi bagi saya. Kapan ya anak saya baca cerita sampai ngakak-ngakak, sampai guling-guling. Ini karena dia melihat dirinya dalam cerita itu. Dia melihat ibunya sama bodohnya. Sementara buku yang lain, dibaca dengan takzim, tidak salah sih, boleh juga begitu, tapi kalau semua buku begitu, kapan anak-anak bisa ketawa sampai guling-guling. Untuk (model) Lima Sekawan saja tidak ada yang asli Indonesia. Mungkin zaman dahulu Pak Joko Lelono pernah membuat, tapi sekarang zaman Soca kecil sudah tidak ada. Terjemahan-terjemahan saja, paling Bobo yang ceritanya begitu lagi-begitu lagi.

Persoalannya apabila diberikan cerita yang berbeda dari yang kebanyakan, apa anak-anak malah memberontak?

Saya rasa tidak. Berpikirnya tidak begitu, karena pada dasarnya kita tetap harus mengajarkan kepada anak bahwa orang tua punya kendali atas anak. The last word. Tapi orang tua bukan satu sosok yang mutlak selalu benar. Namun, sebagian besar benar, 80 persen benar dan 20 persen orang tua juga manusia dan itu yang harus dilihat.

Saya itu sebenarnya tak pernah berpikir bahwa buku Na Willa akan dibaca anak-anak. Meski le Petit Nicholas itu dibaca anak-anak. Saya itu gemas dan saya ingin menulis [Na Willa] untuk orang tua. Supaya melihat bahwa anak-anak itu harus diberi sedikit kegembiraan dalam hidupnya. Mereka itu tidak tahu bila bermain di bawah matahari itu menyenangkan. Kalau [sekarang] mereka main di bawah matahari dikasih tahu akan hitam dan lain-lain. Come on, dulu kalian pernah merasakan kegembiraan itu. Di saat yang sama anak-anak belum pernah jadi dewasa.

Apakah dalam buku Indonesia Anda menemukan hal yang unik?

Yang saya temui sangat sedikit, tapi ingat saya bukan orang yang terus-menerus mencari. Saya akhirnya ngasih bacaan-bacaan seperti Robohnya Surau Kami. Saya bacakan saja. Sampai hari ini dia masih ingat fragmen-fragmen. Dia baca Lu Xun (cerpenis Cina) sampai nangis-nangis.

Buku Anda tentang anak, Aku, Meps dan Beps dan Na Willa, apa yang jadi pembeda dengan yang lain?

Saya merasa Aku, Meps, dan Beps suara Soca sepenuhnya. Dia kesal, suara dia sepenuhnya. Kalau masih berdampingan, saat masih berjudul Mak dan Nak, penanda waktunya beda, sikap, bagaimana berbeda. Ibu saya orangnya keras. Soca dengan mudahnya bisa dengan mudah mentertawakan saya. Saya dahulu tak bisa mentertawakan ibu saya. Kalau nakal dicubit. Ibu saya keras, bapak saya keras. Buku itu dua potret berbeda dari anak berbeda dan pola asuh yang berbeda.

Na Willa garis besarnya perjalanan anak kecil, keseharian, dengan teman-temannya yang berasal dari berbagai [latar belakang] tanpa pretensi apapun main saja, dan orang tua tidak ikut campur dalam menentukan pertemanan itu. Saya itu niat menerbitkan Na Willa karena melihat teman-teman saya mendidik anaknya. Menentukan bahwa teman-teman harus yang itu, tidak boleh main sama itu, agamanya harus sama. Sementara saya dan orang tua saya yang tikus gereja dan burung gereja itu ya, saya setiap sore mengaji di rumah Farida. Orang tua saya baik-baik saja.

Ibu saya sibuk, saya punya adik laki-laki yang kena cerebral palsy, jadi kalau sore-sore anak ini diapakan, ya udah disuruh main dengan Farida. Saya punya Qur'an sendiri, punya lidi sendiri, saya punya tatakan sendiri, saya belajar mengaji. Semuanya, sholat maghrib ikut, mengaji ikut, ya hari minggu ikut sekolah minggu di gereja. Kalau pulang gereja saya punya gambar ya saya bagi [ke Farida]. No worries at all. Kalau orang tua ribut ya karena mencelakakan orang lain.

Saya ingin sekali mengembalikan itu. There is nothing to worry.

Menurut Anda apa perbedaan antara buku anak dan buku tentang anak-anak?

Lima Sekawan itu buku anak. Si tikus yang jagoan. Ada petualangan, tokohnya anak-anak, semua terjadi dengan scope anak-anak. Ada orang baik sekali, meski tidak harus menang. Buku tentang anak saya tidak tahu apakah anak-anak bisa memahami, keinginan, atau pesan apa yang ada di balik itu, ketika saya ikutan sembahyang gitu saya ingin mengajari bahwa ini soal toleransi, ini yang menangkap cuma orang dewasa. Ini melihat bahwa guru itu tidak selalu baik. Kalau anak, kamu cerita kamu percaya ama anak kamu, jangan dianggap bohong.

Bagaimana perbandingan antara cara membesarkan orang tua dengan cara Anda membesarkan anak-anak?

Saya pukul anak, karena Soca memukul orang lain. Jadi dia tiba-tiba punya kebiasaan menabok yang menjaganya, pembantu rumah kami yang menjaga Soca sejak kecil. Jadi saat Soca pukul, saya tangkap, saya pukul lagi. Dia kaget, lalu memukul lagi, saya pukul terus. Dia harus belajar bahwa memukul orang lain itu tidak enak. Dia harus belajar. Tapi mas Edi (suami) tidak pernah memukul. Tapi hanya sekali itu saja. Berbeda dengan ibu saya. Dulu ada pengemis, saya sebut bambung-bambung (gelandangan), Ibu saya tak pakai bertanya, langsung memukul. Oke point taken seperti itu.

Apakah Anda adalah orang tua yang keras pada anak?

Saya pernah begitu juga. Umur tiga tahun saya masukan dia ke kelas musik anak. Oh ya saya ngotot, bapaknya tidak terlalu gembira. Lihat umur saya seperti ini main piano tidak bunyi-bunyi. Akhirnya saya bosan sendiri. Anaknya juga tidak terlalu antusias. Soca lebih suka lihat teman-teman yang lain, karena dia anak tunggal.

Saya baru tahu bahwa dia belajar bahasa Jepang sendiri. Saat dia udah kelas tiga SMP dan belajar sejak kelas satu SMP. Mendengarkan CD pakai iPod sendiri, diulang-ulang, beli di Aksara, dari uang tabungannya. Setiap malam dia mendengarkan itu, saya tahunya pas di supermarket, saat dia berucap bakmi ini lucu tapi dalam bahasa Jepang. Ia menjelaskan isinya. Saya bertanya kok bisa tahu? Iya "saya kan belajar bahasa Jepang," katanya.

Baca juga artikel terkait HARI ANAK NASIONAL atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Mild report
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra