tirto.id - Benci tapi butuh. Demikianlah kalimat yang tepat untuk menggambarkan hubungan Amerika Serikat (AS) dengan Cina. Ketegangan politik ternyata tidak mengganggu keharmonisan keduanya di bidang ekonomi. Sampai saat ini, AS masih mengimpor barang dan jasa dari Cina. Begitu pula sebaliknya.
AS setia menempatkan Cina sebagai mitra utama. Grafik perdagangan AS-Cina pada 2022 lalu bahkan mencapai rekor tertinggi dalam sejarah. Kenaikannya juga terbukti konsisten meski berlangsung di tengah ketidakpastian global. Menurut data Bureau of Economic Analysis (BEA) Departemen Perdagangan AS yang disiarkan Selasa (7/2/2023), hubungan dagang AS-Cina menciptakan perputaran uang lebih dari 690,5 miliar dolar AS pada 2022. Sebanyak 153,8 miliar dolar AS dari ekspor dan 536,7 miliar dolar AS impor.
Namun AS harus rela mengakui bahwa Cina lebih unggul. Pada Desember lalu mereka memang mengalami surplus perdagangan dengan beberapa negara di Amerika Selatan, Belanda, Inggris, Australia, Hong Kong, Belgia, Brasil, dan Singapura, namun menelan pil pahit defisit dengan Cina. Defisitnya bahkan meningkat 3,0 miliar dolar AS menjadi 22,8 miliar dolar AS pada Desember 2022. Ekspor ke Cina terpantau menurun 1,0 miliar dolar AS menjadi 12,6 miliar dolar AS. Sebaliknya, impor dari Cina meningkat 2,0 miliar dolar AS menjadi 35,4 miliar dolar AS.
Dilihat secara tahunan pun demikian. Aktivitas ekspor-impor dengan Cina selama 2022 menyebabkan neraca perdagangan AS defisit hingga 382,9 miliar dolar AS, meningkat 29,4 miliar dolar AS atau 8,3% dibanding tahun sebelumnya (year on year/yoy). Ekspor AS ke Cina pada 2022 memang naik 2,4 miliar dolar AS menjadi 153,8 miliar dolar AS, namun impor meningkat lebih tinggi, yakni senilai 31,8 miliar dolar AS menjadi 536,8 miliar dolar AS.
Secara keseluruhan, total defisit neraca perdagangan AS mencapai 948,1 miliar dolar AS pada tahun lalu, meningkat 103 miliar dolar AS atau 12,2% (yoy). Defisit yang nyaris menyentuh 1 triliun dolar AS ini menjadi rekor baru bagi AS.
Data di atas membuktikan bahwa AS masih jauh dari mampu untuk lepas dari produk dan jasa “Made in China”. Washington kewalahan mengubah perilaku konsumsi dan membujuk korporasi multinasional atau swasta agar memutus hubungan dengan Beijing, bahkan ketika telah menerapkan berbagai pembatasan dan meningkatkan tarif sejak era Donald Trump.
Kebijakan pembatasan dan tarif menyeret dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu ke arena perang dagang terbuka sejak 2018.
Menurut uraian Ashley J. Tellis berjudul “The Return of U.S-China Strategic Competition” yang terdapat dalam buku Strategic Asia 2020: U.S-China Competition for Global Influence (2020), sebelum era Trump AS cenderung bermain aman. Trump-lah yang membuka tirai perselisihan sehingga terang benderang. Di era itu AS mengakui Cina telah berkembang pesat hingga bertransformasi menjadi pesaing strategis. Sebelumnya AS lebih menempatkan Cina sebagai mitra strategis.
Sebenarnya persaingan dengan Cina sudah terjadi secara terselubung sejak beberapa dekade terakhir, namun AS enggan mengungkapkannya secara terbuka, termasuk di era George W. Bush dan Barack Obama. Permusuhan tradisional telah berlangsung bahkan sejak Cina terbentuk pada 1949 silam. Tensi keduanya berfluktuasi, namun tidak pernah benar-benar lenyap.
“Tanpa pergeseran ini, kedua negara akan tetap terjebak dalam sandiwara dari masing-masing pihak yang menyatakan kemitraan bahkan saat mereka diam-diam terlibat dalam kegiatan yang merusaknya,” tulis Ashley.
Di sisi lain, Partai Komunis Cina tak pernah percaya pada gagasan rekonsiliasi dengan AS. Mereka menganggap semuanya hanya penyesuaian taktik.
Warisan Trump tetap dipertahankan Presiden Joe Biden. Di tangan Biden, gelora unilateralisme dan proteksionisme semakin membara. Setelah resmi dilantik pada awal 2021, Biden tak segan-segan menargetkan Cina sebagai sasaran utama kebijakan ekonominya. Pembatasan demi pembatasan membuat jumlah perusahaan yang masuk daftar hitam terus bertambah. Bahkan hanya setelah tiga bulan menjabat, Biden telah mengusir lima perusahaan teknologi asal Cina, yaitu Huawei Technologies Co., ZTE Corp., Hytera Communications Corp., Hikvision Digital Technology Co., dan Dahua Technology Co.
Biden optimistis AS bisa menerapkan decoupling sehingga lepas sepenuhnya dari segala produk dan jasa asal Cina. Peningkatan fasilitas manufaktur domestik serta diversifikasi rantai pasok diyakini mampu mewujudkan itu.
Terjerat karena Rusia
Kepercayaan diri Biden tak goyah hingga Rusia menggetarkan Barat pada awal 2022.
AS bersama sekutunya merespons Rusia dengan setumpuk sanksi. Sialnya, dampak keputusan tersebut justru menyengsarakan negara-negara yang menjatuhkan sanksi itu sendiri. Hal ini tak terlepas dari fakta bahwa Rusia merupakan produsen utama berbagai komoditas penting yang dibutuhkan negara-negara itu (juga negara lain), dari mulai minyak, gas, hingga pupuk. Barang-barang tersebut jadi susah didapat.
Tak butuh waktu lama, gelombang inflasi 9,1% menerjang AS pada Juni 2022. Ini adalah titik tertinggi sejak 40 tahun terakhir. Masih berdasarkan data BEA, ekonomi AS di kuartal IV/2022 hanya tumbuh 2,9%, turun dibanding kuartal sebelumnya yang bisa mencapai 3,2%. Dengan demikian, ekonomi AS tercatat cuma tumbuh 2,1% (yoy) pada 2022.
Sekutu AS juga berjibaku menyelamatkan diri. Menurut Kantor Statistik Federal Destatis, perekonomian Jerman, satu di antara yang terkuat di Eropa, hanya mampu tumbuh 1,9% (yoy) pada 2022. Angka ini jauh di bawah perkiraan semula sebesar 2,6%. Jika dibandingkan dengan 2019 atau prapandemi Covid-19, kenaikannya hanya 0,7%.
Stagnasi pada kuartal IV/2022 memang menyelamatkan ekonomi Jerman dari resesi, namun masalah belum berakhir. Inflasi menyentuh 7,9% pada 2022, tertinggi yang pernah tercatat setelah perang. Tahun lalu, perekonomian mereka banyak dipengaruhi oleh masalah pasokan material dan pengiriman. Kenaikan harga bahan pokok, energi, kekurangan tenaga kerja terampil, hingga pandemi turut menjadi persoalan.
Sekelas Inggris pun harus mati-matian keluar dari kebangkrutan. Inggris memang resmi berpisah dari Uni Eropa pada 2020. Akan tetapi itu cuma soal politik, bukan integrasi ekonomi. Inggris secara dramatis keluar dari lubang resesi berkat pertumbuhan ekonomi 0,5% pada kuartal IV 2022. Berdasarkan data Office for National Statistics, keseluruhan pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 4,1% (yoy) pada tahun lalu.
Uni Eropa secara umum, menurut kantor statistik Eurostat, ekonominya diperkirakan tumbuh 3,6% (yoy). Sementara International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Uni Eropa hanya 3,2%, sama seperti pertumbuhan ekonomi global pada 2022.
Bukannya membaik, IMF justru memperkirakan ekonomi dunia bakal lebih anjlok pada 2023 menjadi 2,9%. Yang lebih horor, sepertiga negara di dunia dan setengah negara di Eropa bakal terancam resesi tahun ini. Inflasi tinggi juga masih akan berlangsung walau tetap memungkinkan turun menjadi 6,5%. World Trade Organization (WTO) juga telah memperingatkan ancaman penurunan pertumbuhan PDB global sebanyak 5% jika blok perdagangan dunia benar-benar terbelah antara AS dan Cina.
Sebenarnya perekonomian Cina saat ini juga tidak jauh lebih baik ketimbang AS dan sekutu. Berdasarkan data Biro Statistik Nasional Cina, ekonomi hanya tumbuh 2,9% pada kuartal IV/2022. Secara keseluruhan, pertumbuhan tahun lalu hanya 3,0% (yoy). Inflasi tercatat 2,0%, melaju di bawah target sebesar 3,0%.
Momen Panas
Cina menjelma menjadi kekuatan baru yang berdiri menantang kedigdayaan AS sejak reformasi ekonomi 1978. Pada 2010, negara dengan populasi 1,4 miliar orang per 2021 ini resmi menggeser posisi Jepang di peringkat kedua negara ekonomi terbesar dunia.
Namun, tak seperti Jepang, kebijakan politik Cina cenderung bergesekan dengan AS. Belakangan, mereka menolak ajakan untuk mengecam operasi militer Rusia di Ukraina. Cina memilih tak ikut campur urusan tetangga yang secara historis dan ideologi lebih dekat tersebut.
AS tak terbiasa dengan penolakan. Mereka pun membalas dengan menyentuh luka lama. Pada Agustus 2022, Ketua DPR AS Nancy Pelosi terbang mengunjungi Taiwan, negara merdeka secara de facto yang bertekad melepaskan diri sepenuhnya dari Zhongguo Dalu. Kunjungan itu memang menyulut amarah Cina, namun mereka bergeming.
Bersama India, hubungan Cina dengan Rusia malah semakin harmonis. Sejak jauh hari, ketiganya sudah bergabung dalam BRICS, singkatan dari Brazil, Rusia, India, China dan South Africa. Komunitas ini pernah dianggap penyelamat dunia dari krisis global 2008-2009 silam.
Selama pemerintahan Joe Biden, terdapat beberapa kali momen penting menyangkut hubungan AS dan Cina. Pertama tentu saja kontak sang presiden baru. Meski sudah dilantik sebagai Presiden ke-46 AS pada Januari 2021, Biden baru menelepon Presiden Xi Jinping saat perayaan Imlek.
Pasang surut hubungan diplomatik keduanya terus berlanjut hingga Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menjadwalkan kunjungan ke Beijing pada awal Februari 2023. Rencana Blinken semula menjadi angin segar bagi liberalis yang sedang terombang-ambing di tengah ancaman deglobalisasi. Akan tetapi, rencana itu tiba-tiba batal. AS mengambil keputusan mendadak menyusul keberadaan balon-balon udara Cina di wilayah mereka. AS menuding itu bagian dari praktik spionase alias mata-mata.
Biden turut menyinggung Cina dalam pidato kenegaraan di ruang DPR AS pada 7 Februari 2023. “Saya telah menjelaskan kepada Presiden Xi bahwa kami mencari persaingan, bukan konflik,” ujar Biden, kemudian menyinggung soal persaingan. “Hari ini, kami berada di posisi terkuat dalam beberapa dekade untuk bersaing dengan Cina atau siapa pun di dunia”.
Biden meyakinkan Kongres bahwa kerja sama dengan Cina yang terus terjadi sampai sekarang merupakan bagian dari komitmen memajukan kepentingan AS. “Tapi, jangan salah. Seperti yang kami jelaskan minggu lalu, jika Cina mengancam kedaulatan kami, kami akan bertindak untuk melindungi negara kami. Dan kami melakukannya,” ujar Biden.
Cina tidak tinggal diam. Mereka juga bicara. Di sela pertemuan dengan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di Beijing pada 10 Februari 2023, Presiden Xi mengatakan bahwa “pembangunan bukan hanya hak beberapa negara.” Meski tak secara spesifik menyebut nama negara, jelas bahwa itu adalah kritik sekaligus responsnya terhadap AS.
Xi kemudian menguliti perilaku buruk AS dalam tatanan dunia internasional, termasuk terlibat dalam konfrontasi ideologis bahkan dalam hal persenjataan. Presiden Ke-7 Republik Rakyat Cina ini juga menuding AS kerap mengekang dan menekan perkembangan negara lain. Ia juga tak lupa menyentil sikap konyol kompetitor yang secara terang-terangan meminta negara lain untuk memihak dalam persoalan Rusia-Ukraina.
Semua tindakan itu, kata Xi, adalah hegemoni yang “tidak populer.” Xi berjanji pemerintahannya akan “dengan tegas menjaga kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunannya untuk menegakkan keadilan internasional.”
Editor: Rio Apinino