tirto.id - Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Universitas Indonesia (UI) dan Global Development Network mengungkap hasil penelitian soal kinerja riset ilmu sosial tentang tentang “Melaksanakan Riset di Indonesia".
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kinerja riset ilmu sosial di Indonesia masih rendah, termasuk dibanding sejumlah negara dengan produk domestik bruto (PDB) lebih rendah sekalipun. Tidak hanya dalam produktivitas, relatif buruknya kinerja riset ilmu sosial juga terlihat di sisi kualitas.
Hal itu di antaranya karena sistem penelitian ilmu sosial masih dirancang sekadar untuk kebutuhan birokrasi dan mekanisme promosi kepangkatan.
Kondisi tersebut diperparah dengan ketersediaan alokasi anggaran riset yang masih rendah, audit anggaran riset berlebihan, dan pendampingan riset yang masih sangat kurang.
Ketua Tim Peneliti CIPG UI, Dr Inaya Rakhmani, mengatakan, "Rendahnya kualitas kinerja riset ilmu sosial di Indonesia sejalan dengan minimnya produktivitas para ilmuwan sosial di negeri ini."
Hal tersebut terlihat dari minimnya tingkat publikasi akademis ilmu sosial Indonesia dibanding sebagian besar negara-negara ASEAN yang berpenghasilan menengah. Dari sejumlah publikasi di jurnal peer-review internasional yang dinilai oleh Indeks Kutipan Ilmu Sosial (SSCI), hanya 12 persen artikel bidang ilmu sosial dan humaniora yang ditulis oleh peneliti Indonesia.
“Ini hanya setengah dari capaian Malaysia dan Thailand,” ungkap Inaya dalam rilis yang diterima Tirto, Rabu (9/10/2019).
Alokasi anggaran riset Pemerintah Indonesia pun tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 0,2% dari PDB untuk riset.
Pada tahun 2017, angka tersebut 6-10 kali lebih rendah dibanding beberapa di kawasan Asia yang tingkat PDB-nya di bawah Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura mengalokasikan 2,2%, Malaysia 1,25%, dan Korea Selatan 4%.
“Secara signifikan, dengan alokasi anggaran riset yang rendah tersebut, produk riset yang dihasilkan pun menjadi tak berkualitas tinggi dan kurang berdampak,” lanjutnya.
Dalam riset yang selesai disusun akhir Agustus 2019 tersebut, CIPG dan GDN juga menemukan bahwa kualitas dan produktivitas rendah riset ilmu sosial terjadi sejak masa Rezim Otoritarian (1965-1998), di mana pada masa itu organisasi dan lembaga penelitian dirancang untuk mendukung proyek-proyek pembangunan—tapi tidak ada ruang untuk mengkritisi pemerintah.
Sejak 2010, Pemerintah Indonesia berupaya mereformasi kebijakan riset melalui privatisasi, marketisasi, dan internasionalisasi lembaga pendidikan tinggi.
Namun, karena sistem birokrasi riset ilmu sosial pada awalnya dibentuk untuk kebutuhan Rezim Otoritarian, upaya internasionalisasi tersebut terhambat permasalahan struktural.
Sementara, ujar Inaya, budaya lama yang berkembang sejak masa Orba masih berlanjut dan menghambat tumbuhnya ekosistem riset menjadi lebih baik, di antaranya sistem riset yang masih dirancang sekadar untuk kebutuhan birokrasi dan mekanisme promosi kepangkatan yang ditentukan negara alih-alih untuk profesionalisasi akademik.
Kondisi tersebut diperburuk dengan ketersediaan alokasi anggaran riset yang masih rendah, dan pendampingan riset yang masih sangat kurang. Ditambah lagi dengan kurangnya akses tinjauan sejawat atau peer review membuat standard kualitas penelitian menjadi kurang teruji.
“Reformasi kebijakan itu justru menghasilkan ketimpangan akses secara regional dan kurang berhasil membangun ekosistem riset yang baik,” kata Inaya.
Rendahnya kinerja riset ilmu sosial, tambah dia, juga disebabkan budaya audit yang berlebihan dalam hibah riset. Audit yang mengikuti skema kebijakan anggaran umum ini juga membuat peneliti lebih disibukkan membuat laporan administrasi dan keuangan daripada riset itu sendiri.
Rendahnya kebijakan berbasis riset akademik
Dalam kesempatan yang sama, anggota Tim Peneliti GDN, Dr Zulfa Zakhiyya, mengungkapkan, meski 92,2 persen pengambil kebijakan yang menjadi responden dalam penelitian mengaku mengambil manfaat dari produk-produk riset—seperti paper ilmiah, kertas kerja, dan slide presentasi—namun dari hasil analisis mendalam ditemukan, hal tersebut tidak serta merta membuat kebijakan yang dihasilkan benar-benar berkualitas.
Pertama, pembuat kebijakan umumnya cenderung asal-asalan dalam mengambil data riset dan sekadar menjadikannya pelengkap, atau asal ada. Dalam praktiknya, kebijakan umumnya diproduksi secara politis dan tidak berdasarkan informasi akademik yang baik.
Kedua, sekitar 66 persen penelitian ilmu sosial berupa penelitian penugasan atau pesanan dari birokrasi, lembaga politik, dan pengambil kebijakan lainnya. Riset semacam ini menghasilkan analisis yang lemah bagi pembuatan kebijakan dan cenderung kurang independen.
Selain menghasilkan penelitian yang kurang berkualitas, besarnya proporsi penelitian penugasan semacam ini pada kenyataannya memperburuk ketimpangan kapasitas regional karena sebagian besar diserap oleh Jakarta dan universitas-universitas berbasis Jawa.
“Tanpa mekanisme yang kuat dalam produksi penelitian, difusi dan penyerapan penelitian ilmu sosial berakibat pada lemahnya persebaran jangkauan analisis, yang tentunya menghasilkan analisis yang lemah,” ungkap Zulfa.
Dia menambahkan, banyak hasil riset ilmuwan sosial, betapapun buruk kualitasnya, sebenarnya dikomunikasikan dengan baik kepada publik dan pembuatan kebijakan.
Dalam hal ini, dia mengapresiasi keberadaan sejumlah media massa yang berperan membantu peneliti mendiseminasi hasil-hasil penelitiannya.
Namun, karena kinerja riset umumnya masih rendah, pembuat kebijakan dan publik pun akhirnya lebih banyak terpapar hasil riset ilmu sosial dengan kualitas teoretis yang buruk.
“Sebab, umumnya didominasi oleh lembaga-lembaga riset yang berbasis di Jakarta dan Jawa. Sementara, prinsip kesetaraan gender pun kurang diperhatikan,” imbuh Zulfa.
Ke depan, kata dia, pemerintah harus dapat memanfaatkan dengan baik kehadiran Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), yang mengatur sistem dan kinerja penelitian nasional, sebagai pijakan perbaikan ekosistem riset.
Prinsip kebebasan akademik perlu lebih didorong agar peneliti dapat menghasilkan dan menyebarluaskan riset mereka, serta berkontribusi lebih besar kepada pembuatan kebijakan.
Hal-hal kontraproduktif dari UU tersebut, seperti adanya ancaman pidana terkait perizinan riset harus dihindari “Sanksi pidana tersebut juga menghambat upaya Indonesia untuk mempromosikan kolaborasi penelitian internasional yang amat penting untuk meningkatkan kualitas riset,” tandas Zulfa.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Agung DH