tirto.id - Kabarnya James Cameron tertarik dengan manga Gunnm karya Yukito Kishiro sejak diperkenalkan oleh sutradara Guillermo del Toro. Ia kagum dengan konsep komik dengan judul alternatif Battle Angel Alita itu, dan sejak 2003 berkeinginan untuk memboyongnya ke versi layar lebar.
Waktu berlalu. Cameron masih disibukkan oleh proyek Avatar. Ia kemudian beralih status sebagai produser bersama Jon Landau dan menulis skenario bersama Laeta Kalogridis.
Tugas penyutradaraan diserahkan kepada Robert Rodriguez—sineas yang telah kenyang mengolah CGI dalam neo-noir klasik Sin City (2005). Jejak Rodriguez menjadi penting karena 80 persen dari hasil akhir film memakai efek visual.
Judul film mengacu pada tajuk manga yang sedikit dimodifikasi, Alita: Battle Angel. Rosa Salazar terpilih sebagai pemeran utama. Film bisa dinikmati khalayak luas jelang pertengahan Februari 2019.
Latar dunianya adalah Kota Besi pada tahun 2563, berjarak 300 tahun sejak peristiwa “Kejatuhan” yang menyeret bumi ke fase distopia.
Di atas Kota Besi mengapung Kota Zalem, tempat tinggal warga kasta elite yang tidak bisa dijangkau warga Kota Besi. Warga Kota Besi adalah produsen, sementara warga Zalem adalah konsumen. Zalem punya sistem pembuangan sampah yang langsung tertumpah dan menumpuk di tengah Kota Besi.
Pada suatu hari Dr. Dyson Ido (Christopher Waltz) berjalan-jalan di area tumpukan sampah itu. Ia menemukan cyborg perempuan dengan kondisi cacat di beberapa bagian tubuh. Pria yang berprofesi sebagai ahli robot itu kemudian membawanya pulang untuk dihidupkan lagi.
Dyson memanggilnya Alita (Rosa Salazar)—sesuai nama anak cyborg perempuannya yang sudah meninggal. Seperempat bagian awal film dipakai untuk menunjukkan gaya mendidik Dyson agar Alita tumbuh sebagai remaja normal.
Tapi kemudian tersingkap rahasia bahwa Alita dulu adalah seorang tentara elite, dengan jantung dan otak super-canggih, yang jago mengobrak-abrik musuh tanpa kesulitan berarti.
Oleh sebab itulah Alita mahir bermain Motorball—lomba lari antar-cyborg dengan taruhan nyawa—dalam waktu singkat. Ia juga secara natural mampu mengalahkan para buron yang sedang diburu Dyson selama Dyson menjalani pekerjaan sampingan sebagai Hunter-Warrior.
Kecintaan James Cameron terhadap efek visual dituangkan secara besar-besaran dalam film ini. Konsentrasi kerja Robert selaku sutradara terlihat paling jelas dalam usaha tersebut. Hasilnya, film ini mampu memanjakan mata penonton—terutama para pecinta animasi.
Sayangnya, Cameron juga punya reputasi sebagai pendongeng yang buruk. Alita: Battle Angel bukan film yang tepat jika Anda mencari dialog-dialog yang licin atau mendalam. Kata-kata yang keluar dari mulut para pemain kerap kaku, beberapa terdengar cringey dan hanya diperlakukan sebagai pengantar suguhan utamanya, yakni perkelahian.
Cameron punya tugas untuk memadatkan berbab-bab konten komik Yukito Kishiro ke dalam medium visual sepanjang dua jam. Maka tidak mengherankan jika Alita: Battle Angel disusupi klise-klise ala Hollywood.
Di permulaan film, misalnya, para tokoh utama bertemu para tokoh utama lain dalam situasi yang terlalu kebetulan. Atau klise klasik, di mana penjahat tidak segera menghabisi nyawa Alita dan protagonis lain, sampai akhirnya protagonis bisa lolos, bertarung lagi di kesempatan lain, dan menang.
Sekali lagi, pertarungan para cyborg tetap jadi menu utama. Adegan mutilasi tubuh cyborg, termasuk satu adegan pemenggalan kepala, tidak disensor. Padahal film dikenai rating PG-13. Robert menyiasatinya dengan mengubah darah cyborg menjadi biru, sementara manusia tetap merah.
Bagian yang paling mengganggu adalah motivasi Alita, sang protagonis utama, yang tidak konsisten di sepanjang film.
Mula-mula ia ingin tergerak oleh nalurinya sebagai mantan tentara elite untuk menjadi Hunter-Warrior seperti Dyson. Sikap ini menimbulkan friksi dalam hubungan tipe ayah-anaknya bersama Dyson. Tapi Alita mampu membuktikan kemampuannya dengan mengalahkan Hunter-Warrior lain.
Ia kemudian tertarik untuk berkompetisi di arena Motorball. Barangkali logis, mengingat jualan utama film adalah aksi. Tapi, jika dipandang dari konspirasi utama yang menggerakkan konflik, sejak awal Alita sebenarnya dalam kondisi yang amat berbahaya karena sedang diincar oleh Vector (Mahershala Ali).
Vector adalah sosok yang berada di balik kesuksesan Motorball. Pekerjaan sehari-harinya dibantu oleh sang asisten, Chiren. Chiren adalah mantan-istri Dyson dan sangat terobsesi pada janji Victor yang konon akan memboyongnya pindah ke Zalem.
Vector ditugaskan Nova (Edward Norton), ilmuwan jenius yang mengontrol Zalem, untuk menghabisi Alita. Alita pun tahu ia diincar oleh beberapa Hunter-Warrior. Tapi apakah ia digambarkan tertekan atau bertindak dengan lebih hati-hati?
Tidak. Ia tetap ceria dan haus akan petualangan yang sebenarnya mendekatkan diri pada para musuh. Bagian tersebut agak susah dicerna akal.
Pada bagian tengah hingga akhir Cameron juga membuat film terasa makin tak nyaman. Alih-alih bersetia dengan bagaimana Alita bertahan hidup, ia membelokkan cerita ke kisah percintaan antara Alita dan Hugo (Keea Johnson).
Hugo dekat dengan Alita sejak Alita pertama kali keluar rumah. Hugo yang mengenalkan Alita kepada Motorball, juga informasi-informasi seputar Kota Besi. Lambat laun tumbuh perasaan cinta, yang berpuncak pada adegan keduanya berciuman di antara rintik hujan.
Percayalah: alih-alih menerbitkan efek “aww”, adegan ini akan memancing respon “eww”.
Romantisme kedua tokoh pada akhirnya tersaji dalam porsi yang terlalu dominan. Kembali ke soal inkonsistensi motivasi Alita, fokus penonton tiba-tiba berbelok ke arah drama-percintaan remaja, sementara laga spektakuler antar-cyborg kini berstatus sebagai bumbu belaka.
Secara umum kualitas Alita: Battle Angel tidak separah adaptasi manga khas Hollywood. Sebut saja Dragonball Evolution (2009), Avatar: The Last Airbender (2010), Death Note (2017), atau Ghost in the Shell (2017).
Tapi belakangan muncul kabar buruk. Alita: Battle Angel berpotensi besar untuk mengalami big flop atau rugi besar setelah pengamat memperkirakan film hanya akan meraup kurang dari $25 juta dalam lima hari pertama penayangan.
Lebih lanjut, analis memperkirakan film hanya akan meraup total $45-50 juta di Amerika Serikat. Nilai ini tentu jauh dari biaya keseluruhan produksinya, yang berada di antara $150 hingga $200 juta.
Dengan demikian Alita: Battle Angel akan menjadi kerugian besar pertama bagi 20th Fox Century di tahun 2019.
Pasar internasional akhirnya jadi tumpuan utama rumah produksi, setidaknya demi balik modal. Cina jadi tujuan utama mengingat kini jadi pasar Hollywood terbesar di luar AS. Contoh saja Warcraft (2016), film animasi yang didasarkan pada gim populer dengan judul yang sama.
Warcraft mengalami big flop di pasar AS dengan hanya mengantongi $47 juta, sementara biaya produksinya mencapai $160 juta. Di akhir, film mengantongi keuntungan sebesar $433 juta melalui distribusi di level internasional. Untung terbanyak disumbang dari kantong para penonton di Negeri Tirai Bambu.
Apakah Alita: Battle Angel akan menemui nasib yang sama? Analis film Daniel Loria berkata pada The Wrap bahwa kemungkinannya tetap kecil. Pasar film di Cina sulit untuk diprediksi secara akurat.
Warcraft, dengan demikian, adalah contoh yang beruntung, yang tidak bisa jadi acuan solid bagi film adaptasi Hollywood lain—termasuk Alita.
Editor: Windu Jusuf