tirto.id - Algoritma baru untuk mendeteksi keberadaan materi vulkanik yang bisa membahayakan mesin pesawat sedang dikembangkan oleh para ilmuwan. Awal November ini, laporan awal mengenai penelitian tersebut dirilis di Earth and Space Science.
Michael Pavolonis, seorang ilmuwan fisika dari National Oceanic and Atmospheric Administration jadi salah satu inisiator pengembangan algoritma baru ini.
"Deteksi secara berkala jadi aspek krusial [dalam pengembangan algoritma ini]," ujar Pavolonis dalam laporannya.
Pengembangan algoritma baru tersebut didasari oleh kegelisahan terhadap ancaman yang dapat dihadirkan erupsi gunung berapi aktif terhadap dunia penerbangan. Lima hingga 10 menit, itulah waktu yang dibutuhkan bagi materi vulkanik panas untuk menyembur hingga 11 kilometer ke atas, mencapai ketinggian yang biasa dilewati pesawat-pesawat, dan menghancurkan mesinnya.
Seperti kata Pavolonis, cara kerja algoritma ini bergantung pada peran satelit imajiner di sekitar pesawat. Nantinya, satelit yang dimaksud akan dibekali kemampuan untuk mengukur temperatur, ketinggian, dan lintasan abu yang menyebar. Tiga menit adalah waktu yang rata-rata yang diperlukan bagi satelit tersebut untuk mendeteksi bahaya.
Algoritma ini bekerja dengan memindai gambar yang diambil oleh satelit cuaca, seperti NOAA atau satelit-satelit NASA, hingga Himawari-8 milik Jepang. Satelit-satelit ini mengitari katulistiwa untuk mengambil gambar petak-petak besar Bumi secara berkala setiap 30 detik.
Setelah mendeteksi adanya bahaya, satelit tersebut secara otomatis akan memberikan pemberitahuan otomatis kepada otoritas penerbangan. Nantinya juga akan dikembangkan kemampuan guna mengonversi abu vulkanik yang mendekat jadi partikel lebih aman. Hanya saja, untuk mencapai tahapan ini, masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
Algoritma ini tentunya bisa sangat berguna untuk menunjang keselamatan perjalanan sebuah pesawat, khususnya ketika melewati gunung-gunung berapi di daerah terpencil. Gunung aktif di daerah-daerah terpencil yang minim insfrastruktur memang jadi momok tersendiri bagi sebuah penerbangan. Berdasarkan data di lapangan, kurang lebih hanya 10 persen dari 1.500 gunung berapi aktif di dunia yang dipantau secara resmi dan berkala.
Editor: Herdanang Ahmad Fauzan