Menuju konten utama
7 Juli 2014

Alfredo Di Stefano: Legenda Real Madrid dan Transfer yang Rumit

Bintang berpendar.
Legenda kulit bundar
bertabur gelar.

Alfredo Di Stefano: Legenda Real Madrid dan Transfer yang Rumit
Alfredo Stéfano Di Stéfano Laulhé (4 Juli 1926-7 Juli 2014), legenda Real Madrid. tirto.id/Sabit

tirto.id - Alex Ferguson selalu ingat saat malam itu: 18 Mei 1960. Bersama sekitar 127.000 orang yang memadati stadion Hampden Park, Fergie yang baru tiga tahun mencicipi status sebagai pemain profesional itu menyaksikan langsung bagaimana kedahsyatan Real Madrid kala membantai Eintracht Frankfurt 7-3 di final Piala Champions. Namun dari seluruh keterpukauan yang ia alami, ada satu sosok yang betul-betul membuatnya takjub: Alfredo di Stefano.

“Dia punya keseimbangan dan ketenangan yang fantastis. Jika Anda melihat salah satu golnya yang ia cetak saat melawan Frankfurt, itulah yang saya maksud—keseimbangan yang luar biasa,” ucap Fergie kepada Sky Sports. Dua puluh tahun berselang, ketika Fergie melatih Aberdeen dan Di Stefano menangani Madrid, keduanya justru berhadapan langsung di final Piala Winners.

Kendati berhasil mengalahkan salah satu raksasa Eropa, Bayern Munich, dalam laga semifinal yang diberi tajuk "Pittodrie's greatest night", Aberdeen di bawah Fergie tetaplah bukan siapa-siapa dibanding Madridnya Di Stefano. Mengandalkan pemain-pemain seperti Jose Antonio Camacho, Ricardo Gallego, Uli Stielike, Juanito Gonzalez, hingga Carlos Santillana, Los Blancos pantas diunggulkan.

Fergie bukannya tak sadar hal tersebut, namun ia tetap menyambut laga kontra Madrid dengan antusias. Terutama karena ia akan berhadapan dengan Di Stefano, idolanya. Sejak sehari sebelum laga dimulai, ketika kedua tim baru selesai pemanasan, Fergie sudah menunjukkan gelagat tersebut.

“Jujur saja, saya agak gugup ketika bertemu pria hebat ini. Pada sesi latihan malam sebelumnya, sebagai bentuk penghormatan, saya membawakan sebotol wiski Scottish Malt dan dia cukup terkejut. Dia tidak berbicara bahasa Inggris, saya pun tidak bisa bahasa Spanyol, tapi sikapnya menunjukkan bahwa ia terkesan dengan pemberian tersebut,” kata Fergie kepada BBC.

Ide memberi Di Stefano hadiah berasal dari Jock Stein, manajer legendaris dalam sejarah Skotlandia, yang berhasil membawa Glasgow Celtic menjuarai Piala Champions Eropa pada 1967. Fergie memang sangat menghormati Stein, ia bahkan bisa dianggap mentornya. Ide Stein sederhana: berusaha membuat Di Stefano lengah.

"Biarkan dia merasa penting. [Biar dia merasa] seolah-olah kau sudah cukup senang hanya dengan masuk final," kata Stein kepada Fergie.

Syahdan, setelah melewati babak perpanjangan waktu, Aberdeen di luar dugaan mampu mengalahkan Madrid dengan skor 2-1. Inilah trofi pertama mereka di kancah Eropa. Para pemain Madrid mengeluhkan kondisi lapangan yang becek membuat permainan mereka tak berkembang. Tetapi, sang pelatih, Di Stefano, justru memberi selamat kepada Aberdeen.

Bertahun berselang, Fergie mengenang kembali momen monumental tersebut:

"Setelah pertandingan, Di Stefano bersikap sangat murah hati dan dia mengatakan Aberdeen adalah tim yang tak bisa dibeli dengan uang, karena memiliki jiwa dan semangat keluarga. Kata-kata itu, Anda tak dapat mendeskripsikannya, adalah bentuk pujian berharga bagi sebuah tim sepakbola. Itu adalah bentuk kemurahan hatinya,” kenang Ferguson.

Dari Millonarios Menuju Real Madrid

Raihan gol Di Stefano memang tidak sebanyak Pele, bahkan Cristiano Ronaldo juga sudah melampaui catatan golnya di Madrid. Sementara untuk level nasional, Di Stefano juga tidak pernah meraih trofi Piala Dunia sebagaimana Diego Maradona atau Franz Beckenbauer. Namun demikian, mustahil untuk tidak menganggapnya sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang sejarah sepakbola.

Di Stefano Laulhe lahir di Barracas, salah satu kawasan kelas pekerja di Buenos Aires, Argentina, pada 4 Juli 1926. Secara genetis, ia mewarisi darah yang kosmopolit. Kakeknya seorang imigran yang berasal dari kepulauan Capri, Italia. Sementara ibunya, Eulalia, juga memiliki keturunan dari Perancis dan Irlandia.

Waktu kecil, Di Stefano dipanggil Minellita karena perawakannya dianggap mirip dengan Jose Maria Minella, pemain lokal yang pernah memperkuat Gimnasia dan Esgrima de la Plata. Ayahnya sendiri bermain untuk River Plate pada medio 1930-an, pada masa ketika “perang” antara pemain profesional dengan amatir masih kerap berlangsung.

Ketika Di Stefano masih berusia amat kanak, ayahnya mengajak keluarga mereka pindah rumah ke sebuah daerah peternakan. Konon, sejak hidup di peternakan itulah stamina dan ketahanan tubuh mulai terbentuk dan kelak menjadi aset berharga bagi Di Stefano sebagai pesepakbola.

Sebagaimana sang ayah, Di Stefano juga memulai karier sepakbolanya dari River Plate. Ketika itu Los Millonarios—julukan RIver Plate—tengah berada di puncak kegemilangan. Lini serang mereka diisi oleh barisan kwintet sensasional pada masanya yang dijuluki “La Maquina” (Mesin). Mereka antara lain: Juan Carlos Munoz, Jose Manuel Moreno, Adolfo Pedernera, Angel Labruna, hingga Felix Loustau. Disebut Di Stefano, mereka konon punya strategi spesial yang dinamakan “5 and dance strategy” dengan formasi 3-2-5.

Di Stefano masih berusia 19 ketika itu, namun bakatnya sebagai penyerang sudah mulai dibicarakan banyak orang. Tapi karena begitu banyaknya pemain senior berbakat di River Plate, Di Stefano acap diposisikan sebagai pemain sayap kanan dan sempat pula dipinjamkan ke Huracan. Ia baru mulai mendapat kesempatan menjadi penyerang sejak Pedernera pindah ke Millonarios di Kolombia. Bermain sepanjang empat musim di River Plate (1945-1949), ia menorehkan 49 gol dari 66 laga dan meraih dua gelar liga divisi primer.

Pada 1949, Pedernera yang saat itu menjadi player-manager di Millonarios, datang kembali ke Buenos Aires untuk mencari pemain bertalenta yang bersedia diajak bergabung ke klubnya tersebut. Di Stefano salah satu yang ditemuinya. Saat itu, Millonarios belum mendaftarkan diri ke FIFA, maka transfer pemain pun hanya didasari berdasarkan negosiasi personal. Setelah melewati proses singkat, Di Stefano akhirnya bersedia pindah ke Millonarios pada tahun yang sama. Di klub tersebut, penampilan Di Stefano makin meningkat. Empat musim bermain di sana (1949-1953), ia mencetak 90 gol dari 101 penampilan.

Pada musim panas 1952, ketika Millonarios mengalahkan Madrid 4-2 dalam partai persahabatan yang digelar untuk memperingati ulang tahun ke 50 Los Blancos, Di Stefano mencuri perhatian Santiago Bernabeu, presiden Madrid saat itu. Di Stefano pun bersedia pindah ke Madrid. Hanya saja, proses kepindahan ini tidak semudah yang dibayangkan.