tirto.id - Gabungan peneliti dari Australia, Perancis, dan Jepang, sedang mengembangkan alat sistem imun atau antibodi baru yang dapat digunakan untuk memantau penyebaran penyakit menular, khususnya virus Corona (COVID-19).
Dilansir Bioanalysis Zone, alat ini, tes darah yang baru dikembangkan, memberikan informasi mengenai kekebalan individu terhadap penyakit menular, yang menunjukkan apakah orang tersebut pernah terinfeksi, dan kapan waktunya.
Awalnya, alat ini dikembangkan untuk melacak kasus malaria Plasmodium vivax (P.vivax). Alat ini kemudian diadaptasi untuk mengidentifikasi SARS-CoV-2, virus yang bertanggung jawab atas pandemi COVID-19.
Tubuh manusia menghasilkan antibodi sebagai bagian dari respons imun. Bergantung pada infeksi, antibodi dapat tetap beredar dalam darah selama bertahun-tahun. Banyak tes kekebalan mendeteksi ada atau tidaknya antibodi yang beredar dalam aliran darah manusia.
Penelitian yang dipublikasikan Nature Medicine ini merinci pengembangan dan validasi tes darah baru yang dapat meningkatkan pengawasan dan respons penyakit menular.
Dalam studi tersebut, para ilmuwan berusaha mengevaluasi perubahan jenis dan jumlah antibodi yang ada dalam darah dari waktu ke waktu. Informasi digunakan untuk menentukan apakah seseorang terpapar infeksi dan kapan terjadinya.
Cikal-Bakal Tes PCR
Sebelumnya, pengecekan dengan sampel darah ini dikenal sebagai tes cepat PCR. Tes ini digunakan untuk mengecek antibodi seseorang, apakah antibodi pasien telah menunjukkan pernah "memerangi" COVID-19 atau tidak.
"Untuk mengetahui apakah seseorang memiliki antibodi terhadap agen infeksi, banyak tes (uji antibodi) untuk kekebalan (hanya) memberikan jawaban sederhana, 'ya atau tidak'," jelas Ivo Mueller selaku ketua penelitian dikutip dari Bionalysis Zone, Sabtu (16/5/2020).
"Sebaliknya, tes kami yang awalnya dikembangkan untuk melihat infeksi malaria dapat menunjukkan dengan tepat berapa lama seseorang terpapar infeksi," lanjutnya.
Harapannya, tes ini bisa membantu pemerintah untuk mengawasi penularan penyakit menular di masyarakat. Ini terkait dengan tindakan preventif jika tiba-tiba terjadi lonjakan penularan COVID-19 di suatu wilayah.
Hal ini terkait dengan permintaan dari banyak pihak agar pemerintah di berbagai negara melakukan tes COVID-19 massal secara berkala.
Tujuannya, memetakan dan mengambil tindakan karantina wilayah untuk mencegah penularan virus corona gelombang dua yang lebih luas.
Ivo Mueller mengatakan, informasi sebuah kasus sangat berharga untuk melacak penyebaran infeksi dalam suatu populasi, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah yang mungkin tidak mampu memantau penyebaran infeksi sebenarnya.
"Tetapi sangat membantu untuk melihat secara retrospektif apakah infeksi telah terjadi. menyebarkan dan untuk memantau efektivitas program pengendalian infeksi, dan menanggapi kebangkitan penyakit," tuturnya dilansir LiveMint.
Tes ini disebut menawarkan peluang baru untuk meningkatkan strategi pengendalian dan eliminasi infeksi, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah.
Mueller menyebut uji antibodi pada darah kerap digunakan untuk mengecek infeksi virus, parasit, atau bakteri. Sebab, infeksi memicu respons imun yang membentuk antibodi yang bersirkulasi dalam darah. Antibodi itu kemudian dapat bertahan selama bertahun-tahun. Tapi, seiring waktu jumlah berbagai jenis antibodi berubah.
Melansir Science Daily, teknik diagnostik baru memungkinkan para peneliti untuk melihat secara terperinci jumlah antibodi yang berbeda dalam darah, untuk menentukan apakah dan kapan seseorang telah terkena infeksi tertentu.
Disiapkan untuk COVID-19
Sementara kepada Technology Networks, Mueller mengatakan bahwa timnya di Australia dan Perancis saat ini sedang menerapkan sistem itu untuk mendeteksi kekebalan terhadap virus corona yang menyebabkan COVID-19.
Dalam 6 bulan ke depan, dia berharap telah menemukan bagaimana antibodi berubah dari waktu ke waktu agat dapat digunakan untuk mengeksplorasi kekebalan dalam kelompok yang lebih luas di masyarakat.
"Kami sudah mulai mempelajari darah orang yang memiliki infeksi COVID-19 untuk mendokumentasikan jenis antibodi yang mereka bawa," ujar Mueller.
Mueller menegaskan alat yang dibuatnya untuk memantau penyebaran penyakit COVID-19 dalam populasi.
Ia menilai, COVID-19 di negara Asia-Pasifik, Afrika, atau Amerika Latin memiliki kemungkinan akan menyebar tidak terdeteksi, terutama ketika pemerintah berusaha melonggarkan pembatasan penutupan.
"Tes ini bisa sangat berharga untuk menginformasikan keputusan itu," kata Mueller.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Iswara N Raditya