Menuju konten utama

Alasan Pemprov DKI Ambil Alih Pengelolaan Air dari Palyja-Aetra

Pemprov DKI Jakarta memutuskan mengambil alih pengelolaan air di ibu kota karena menilai klausul dalam perjanjian kerja sama dengan swasta bermasalah. 

Alasan Pemprov DKI Ambil Alih Pengelolaan Air dari Palyja-Aetra
Petugas mengecek persedian air bersih di instalasi pengolahan air Palyja di Jalan Penjernihan, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan bakal mengambil alih pengelolaan air di ibu kota. Upaya itu akan dilakukan melalui tindakan perdata.

Pemprov DKI Jakarta sudah meminta PAM Jaya segera membuat Head of Agreement (HoA) dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.

“Keputusan pada 1997 itu mendelegasikan kewenangan pengelolaan untuk diberikan kepada swasta. Sekarang kami siap untuk mengambil alih dari swasta, agar dikembalikan kepada pemerintah,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat jumpa pers di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (11/2/2019).

Pengelolaan air di ibu kota selama ini dilakukan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta. Rencana Pemprov DKI mengambil alih pengelolaan air dari dua perusahaan mitra PAM Jaya tersebut memastikan kelanjutan penghentian swastanisasi air yang sebelumnya diputuskan Mahkamah Agung (MA).

Dalam Putusan Nomor 31 K/Pdt/2017, MA meminta Pemprov DKI menghentikan swastanisasi air, atau penyerahan pengelolaan air ke swasta. Belakangan, MA mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Kementerian Keuangan atas putusan tersebut.

Sementara Anies menjelaskan perjanjian kerja sama pengelolaan air di DKI Jakarta dengan swasta, yang diteken pada masa Orde Baru, tersebut bermasalah.

Terdapat tiga masalah yang disorot Pemprov DKI, yaitu adanya hak eksklusivitas, pengelolaan seluruh aspek yang ada di pihak swasta, serta keuntungan yang harus tetap dibayarkan negara ke swasta di saat target tidak tercapai.

Anies mengeluh investasi terkait pengelolaan air di DKI Jakarta kerap menemui hambatan lantaran semua harus seizin Palyja dan Aetra. Akibatnya, kata dia, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa melakukan intervensi terhadap tahapan pengelolaan hingga distribusi air.

“Kalau kami membiarkan sampai 2023, artinya masyarakat DKI Jakarta tidak akan merasakan penambahan yang serius karena waktu [perjanjian kerja sama] habis pada 2023,” ujar Anies.

Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie, yang merupakan anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum bentukan Anies, mengatakan ada tiga opsi kebijakan dalam proses pengambil alihan itu yang sempat dikaji oleh timnya.

Menurut dia, Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum sudah mengkaji 3 pilihan kebijakan tersebut dan konsekuensinya bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Akhirnya, Pemprov DKI Jakarta memilih opsi pengambil alihan pengelolaan air dengan tindakan perdata. Dua opsi lain yang sempat diusulkan ialah membiarkan kontrak selesai sampai 2023 dan memutus kontrak kerja sama pada saat ini.

“Apabila memilih opsi pertama, konsekuensinya layanan tidak akan meningkat banyak. Sedangkan untuk opsi pemutusan kontrak, tentu bukan pilihan yang cukup baik. Karena kami juga harus memperhatikan iklim bisnis di Jakarta dan juga di Indonesia,” jelas Nila.

Baca juga artikel terkait SWASTANISASI AIR atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom