tirto.id - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh dr. Qory Ulfiyah menyita perhatian masyarakat. Usai melaporkan sang suami, Willy Sulistio, ke polisi, dr. Qory justru berencana mencabut laporannya kembali.
Dr. Qory diketahui menjalani toxic marriage dengan Willy yang dianggap mudah marah dan temperamental. Selama menikah, dr. Qory ternyata sering mendapat kekerasan fisik dan verbal dari suaminya, mulai dari dipukul, ditendang, lehernya diinjak, bahkan diancam dengan pisau.
Hal inilah yang akhirnya membuat dr. Qory melarikan diri meskipun tengah hamil enam bulan. Sambil didampingi oleh petugas dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dr. Qory akhirnya melaporkan sang suami ke Polres Bogor.
Berdasarkan laporan tersebut, Willy pun ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Akan tetapi, dr. Qory kemudian berencana untuk mencabut laporannya ke polisi dengan alasan ia masih menyayangi sang suami.
Apabila laporan tersebut benar-benar dicabut, tentunya Willy akan dibebaskan kembali. Namun, kepolisian menegaskan bahwa proses hukum akan terus berjalan sebelum dr. Qory resmi mencabut laporannya.
Meski keputusan dr. Qory cukup mengejutkan publik, kasus seperti ini sebenarnya sudah sering terjadi. Di kalangan publik figur, penyanyi dangdut Lesti Kejora bisa menjadi salah satu contohnya.
Lesti dikabarkan pernah menjadi korban KDRT oleh suaminya, Rizky Billar, hingga melapor ke polisi. Akan tetapi, Lesti diketahui mencabut laporannya dan memilih kembali bersama sang suami.
Kasus dr. Qory dan Lesti Kejora hanyalah sebagian kecil dari kasus KDRT yang muncul ke permukaan dan diketahui publik. Di luar sana, tak sedikit korban KDRT yang tetap memilih bertahan dengan pasangannya, apalagi jika sudah memiliki anak. Lantas, kenapa seorang korban KDRT sulit lepas dari pasangannya yang abusive?
10 Alasan Korban KDRT Bertahan dengan Pasangannya
Bertahan dengan pasangan yang sering melakukan KDRT memang terasa tidak masuk akal bagi mereka yang tidak mengalaminya. Namun bagi korban KDRT, ada beberapa alasan yang membuat mereka melakukan hal yang demikian.
Menurut situs Marriage, berikut beberapa alasan kenapa korban KDRT sulit meninggalkan pasangannya yang kasar:
1. Menjaga komitmen
Saat menikah, pasangan akan berjanji untuk melewati segala suka dan duka bersama dengan pasangannya hingga maut memisahkan. Sebagian wanita rupanya sangat memegang komitmen ini dan rela menghadapi rintangan apa pun, termasuk soal KDRT.
Korban KDRT menganggap bahwa mereka telah disumpah atau berjanji untuk tetap setia. Inilah yang kadang membuat mereka tak bisa lepas dari pasangannya meski mendapat perlakuan yang kasar.
2. Berharap pasangannya berubah
Korban KDRT kadang berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa pasangannya pasti akan berubah suatu saat nanti. Mereka percaya bahwa tindakan kasar yang dilakukan pasangannya saat ini hanyalah akibat dari salah paham.
3. Naluri keibuan
Setiap wanita terlahir dengan insting atau naluri keibuan. Dalam pandangan wanita/istri korban KDRT, pasangannya yang abusive adalah orang-orang yang kurang beruntung, patut dikasihani, dan harus dilindungi. Karena itu, korban KDRT berniat ingin menjaga pasangannya meskipun sering mendapat perlakuan kasar.
4. Melindungi anak-anak
Anak-anak sering menjadi alasan seorang wanita untuk bertahan dalam toxic marriage. Korban KDRT yang bertahan demi anak-anak biasanya sadar bahwa pasangannya adalah orang yang tidak layak dipertahankan, tapi korban tetap bertahan dan menjadi perisai demi melindungi anak-anaknya.
Salah satu ketakutan terbesar istri yang menjadi korban KDRT adalah apabila sang suami beralih menyakiti anak-anaknya. Karena itu, mereka memilih mengorbankan diri dan bertahan agar si suami menyakitinya saja, bukan anak-anak.
5. Takut akan balas dendam
Pelaku KDRT biasanya sering melontarkan ancaman apabila pihak korban berniat meninggalkannya. Terkadang, ancaman tersebut tidak hanya ditujukan pada si korban, tapi juga orang terdekat seperti teman dan keluarga.
Hal inilah yang membuat korban KDRT merasa ketakutan. Apalagi mereka juga tidak mau orang lain terkena imbasnya sehingga korban KDRT pun memilih untuk bertahan dengan pasangannya.
6. Rendah diri
Pelaku KDRT biasanya akan membuat korbannya merasa rendah diri, baik itu dengan caci maki maupun membuat korbannya percaya bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan mereka. Rasa rendah diri ini membuat korban KDRT merasa tidak yakin untuk berpisah dari pasangannya dan tidak bisa membuat keputusan dengan benar.
7. Tergantung secara finansial
Banyak korban KDRT yang tidak diberi kesempatan untuk bekerja, bahkan tidak memiliki tabungan atau simpanan uang sendiri. Hal ini membuat mereka sangat tergantung secara finansial kepada pasangan mereka.
Jadi, korban KDRT seperti ini biasanya tidak punya pilihan lain. Mereka lebih memilih bertahan dengan pasangan yang suka KDRT ketimbang ia dan anaknya kelaparan.
8. Mempertahankan status
Sebagian wanita dibesarkan dalam keluarga patriarki atau dengan pemahaman bahwa seorang istri harus tunduk pada suaminya, apa pun yang terjadi. Mindset seperti ini justru membuat korban KDRT tak bisa berkutik saat mengalami toxic marriage dan terpaksa bertahan dengan pasangannya yang kasar.
9. Sudah dikendalikan penuh oleh pasangan
Sebagian korban KDRT benar-benar sudah berada di bawah kendali pasangannya seolah menjadi seorang budak. Mereka tidak mampu berpikir mana yang benar dan salah sehingga tidak mampu membuat keputusan sendiri.
10. Merasa layak diperlakukan kasar
Salah satu alasan korban KDRT bertahan adalah karena mereka percaya bahwa mereka memang layak diperlakukan dengan kasar. Alih-alih menyalahkan pasangannya yang kasar, mereka malah menyalahkan diri sendiri dan mencari tahu apa yang salah dengan dirinya.
Bagaimana Kita Menyikapi Kasus KDRT?
Saat seseorang di sekitar Anda mengalami kasus KDRT, Anda bisa melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Berikut beberapa caranya:
1. Menjadi pendengar yang baik
Berusahalah agar selalu ada untuk mereka. Biarkan mereka bercerita dan berkeluh kesah, tapi jangan memaksa mereka menceritakan hal-hal yang tidak ingin mereka ceritakan.
Apabila mereka sulit untuk bicara atau mengungkapkan isi hati, coba pancing mereka secara perlahan. Misalnya mengobrol soal film atau buku yang ceritanya relevan dengan kondisi rumah tangganya.
2. Jangan menghakimi
Anda mungkin tidak setuju atau tidak sependapat dengan keputusan yang dilakukan oleh korban KDRT. Akan tetapi, jangan pernah menghakimi atau menyalahkan karena hal itu hanya akan membuat mereka sedih.
3. Beri pelukan
Saat korban KDRT sulit meluapkan perasaannya lewat kata-kata, mereka kadang hanya membutuhkan sebuah pelukan. Sebagai seorang teman, sahabat, atau keluarga, peluklah mereka dan yakinkan bahwa Anda selalu ada di pihak mereka.
4. Ubah mindset
Secara perlahan, yakinkan bahwa mereka tidak pantas menjadi korban KDRT. Mereka adalah orang yang berharga dan layak untuk dicintai. Hal ini akan membuat mereka lebih percaya diri dan bisa berpikir lebih jernih untuk membuat keputusan.
5. Jadi pendukung atau support system yang baik
Yakinkan bahwa Anda akan menjadi support system mereka, jadi mereka tidak perlu takut dalam membuat keputusan. Jika memungkinkan, bantu mereka untuk mendapatkan lebih banyak dukungan, misalnya dari keluarga atau teman-teman lainnya.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Nur Hidayah Perwitasari