Menuju konten utama
Mozaik

Alam Begitu Indah, Mari Bermain dan Bergembira Bersama Ibu Sud

Lagu-lagu ciptaan Ibu Sud kental dengan unsur-unsur yang melekat pada dunia anak-anak, yakni kegembiraan, imajinasi liar, bermain-main, dan polos.

Alam Begitu Indah, Mari Bermain dan Bergembira Bersama Ibu Sud
Header Mozaik Ibu Soed. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Pada 26 Maret 2017, Google menayangkan gambar seorang ibu yang tengah bernyanyi di depan corong radio. Di samping kanan, tiga orang anak dengan wajah ceria asyik mendengarkan lagu lewat radio. Gambar yang tayang di halaman depan mesin pencari ini merupakan penghormatan bagi pencipta lagu anak-anak.

Dalam halaman deskripsinya, Google menyatakan ikut merayakan kontribusi dari bintang Indonesia bernama Sarijah Niung Soedibjo alias Ibu Sud yang saat itu lahir 109 tahun yang lalu. Nama ini diambil dari nama suaminya, Raden Bintang Soedibjo. Mereka menikah pada 1925 saat Sarijah berprofesi sebagai pengajar.

Kala itu, Sarijah banyak berinteraksi dengan anak-anak. Bungsu dari pasangan Muhammad Niung dan Saini ini sering menjadi pembimbing seni musik bagi murid-muridnya.

Bakat seni Sarijah diasah oleh orang tua angkatnya, Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer. Pria berdarah campuran Jerman dan Jawa ini merupakan Wakil Ketua Hoogerechtshof (Kejaksaan Tinggi). Saat bertugas di Batavia, Kramer mengangkat Muhammad Niung sebagai penjaga keamanannya. Hubungan keduanya berlanjut saat Kramer pensiun dan pindah ke Sukabumi.

Di Sukabumi Sarijah Niung lahir sebagai anak bontot dari 12 bersaudara. Untuk meringankan beban keluarga, Kramer mengangkat Sarijah sebagai anak angkatnya. Di bawah bimbingan Kramer, Sarijah mendapat kesempatan untuk belajar tentang bahasa, seni, musik, tata krama, dll.

Bakat bermusik Sarijah dikembangkan oleh Kramer yang memiliki minat pada seni musik. Pada usia 5 tahun, Sarijah sudah dapat memainkan biola. Di usia yang sama, dia berhasil masuk ke HIS (Hollands Inlandse School) karena menguasai bahasa Belanda dengan baik.

Setelah lulus dari HIS Sukabumi, Sarijah disekolahkan ke Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers (Sekolah Pendidikan Guru Bumiputra) di Bandung. Setelah lulus, ia sempat mengajar di Batavia, di HIS Jaga Monyet dan HIS Kartini Batavia. Lalu sempat juga mengajar di HIS Kartini Surabaya karena mengikuti suami pindah tugas.

Salah satu aktivitas Sarijah di sekolah adalah menjadi pembimbing kesenian, terutama menyanyi. Aktivitas ini ternyata menumbuhkan kesadaran bahwa lagu-lagu berbahasa Belanda yang dinyanyikan oleh murid-muridnya, terasa hambar karena bercerita tentang negeri Belanda yang hanya ada dalam khayalan. Ini membuat mereka bernyanyi tanpa meresapi makna yang terkandung dalam nyanyian.

Sejak itu, Sarijah mencoba untuk menciptakan lagu yang dekat dengan kehidupan keseharian di Indonesia, seperti tentang transportasi, alam, budaya, dll, dengan disisipi nilai-nilai pendidikan.

Lagu-lagu karangan Sarijah menurut Karina Adistiana dalam artikel berjdul "Pendidikan Karakter dengan Memanfaatkan Musik", memiliki kekuatan untuk membentuk kepribadian anak tanpa terkesan menggurui. Melalui lagu, perasaan anak disentuh dan mereka perlahan belajar tentang makna lirik yang mendidik.

Nilai pendidikan ini membuat lagu-lagu Sarijah tidak mendapat penolakan dari Pemerintah Hindia Belanda, sehingga bisa diperdengarkan secara luas. Pemerintah menganggap lirik lagu yang diciptakan Sarijah tidak mengandung unsur politik.

Pada 1927, Pemerintah Hindia Belanda meminta Sarijah untuk mengisi acara Ruang Taman Kanak-Kanak di Vereniging voor Oosterse Radio Omroep yang berada di bawah Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij. Meskipun mendapat honor yang kurang memadai, Sarijah berhasil menyiarkan lagu-lagunya ke seluruh Nusantara.

Meskipun tidak membawa unsur politik, Sarijah tetap aktif berjuang dengan rekan-rekannya. Misalnya, ketika Kongres Pemuda II tanggal 28 oktober 1928 berlangsung, Sarijah turut mengiringi lagu Indonesia Raya dengan menggunakan biola.

Memilki intuisi dalam menangkap realitas untuk dijadikan sebuah lagu tampaknya menjadi kelebihan Saidjah. Realitas yang ditangkap dituangkan dalam lirik-lirik yang sederhana dan mudah dicerna maknanya.

Dalam obituari berjudul "Ibu Sud, Wanita 'Solitaire', Telah Tiada", Kompas edisi 27 Mei 1993 menuliskan, lagu-lagu Sarijah seperti mendorong anak-anak untuk mengekplorasi lingkungan.

Seperti misalnya lewat lirik "Tik, tik, tik, bunyi hujan di atas genting/Airnya turun tidak terhingga/Cobalah tengok dahan dan ranting/Pohon dan kebun basah semua."

Atau yang lain lagi: "Lihat kebunku, penuh dengan bunga/Ada yang putih dan ada yang merah/Setiap pagi kusiram semua/Mawar melati semuanya indah".

Di tulisan lain, Kompas menggambarkan lagu-lagu ciptaan Sarijah kental dengan unsur-unsur yang melekat pada dunia anak-anak, yakni kegembiraan, imajinasi liar, bermain-main, dan polos. Unsur-unsur inilah yang membuat lagi-lagu ciptaannya abadi.

Infografik Mozaik Ibu Soed

Infografik Mozaik Ibu Soed. tirto.id/Parkodi

Dalam Tajuk Rencana berjudul "Ibu Sud Memberikan Hanya yang Terbaik untuk Anak-anak" di Kompas edisi 29 Mei 1993, disebutkan bahwa lagu-lagu tentang burung kutilang yang bersiul-siul di pucuk pohon cemara, mawar melati yang semuanya indah, hujan tidak terhingga yang membasahi semua, atau keliling kota dengan becak adalah bukti dari dunia anak-anak tadi. Alam pikiran kegembiraan dan innocent yang memandang dunia dari sudut positif dan indah.

Seperti halnya lagu anak-anak, lagu perjuangan yang diciptakan Sarijah juga merupakan hasil karya berdasarkan relaitas yang terjadi di sekitarnya. Lagu "Berkibarlah Benderaku", misalnya, terinspirasi dari perlawanan para pejuang yang mempertahankan bendera merah putih di gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Yusuf Ronodipuro sebagai pemimpin RRI Jakarta tidak mau mengganti bendera merah putih dengan bendera Belanda.

Atas dedikasinya sebagai pencipta lagu, Sarijah diberi anugerah Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah yang disematkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr. Nugroho Notosusanto, pada awal tahun 1983.

Penyerahan anugerah ini diiringi lagu-lagu ciptaan Sarijah yang bernada gembira, seperti "Burung Kutilang", "Menanam Jagung", "Tanah Airku", "Hai Becak", dan "Akulah pahlawan", yang dinyanyikan oleh 100 anak Kusuma Santi.

Dalam buku Sarijah Bintang Sudibyo (Ibu Sud): Karya dan Pengabdiannya (1985), Sumardi menguraikan isi pidato yang diucapkan Sarijah saat menerima anugerah:

"Anak-anak adalah dunia saya, anak-anak adalah anak saya. Saya tidak menduga dan berharap pemerintah memberikan penghargaan pada karya saya. Hati saya terharu, saat mendengarkan lagu-lagu yang telah lama tidak saya dengar. Semoga karya saya berguna bagi bangsa."

Akhirnya, hanya kematian yang menghentikan kecintaan Sarijah pada musik. Ia meninggal dunia di kediamannya di Cijantung, Jakarta Timur, pada 26 Mei 1993 sekitar pukul 05.00 WIB. Jenazah almarhumah dikebumikan di Permakaman Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

Baca juga artikel terkait IBU SUD atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi