tirto.id - Sebenarnya saya bukan termasuk penggemar berat film karya Anggy Umbara. Hanya beberapa film saja yang pernah saya tonton, terutama yang bergenre horor. Pengetahuan saya tentang film horor karya Anggy hampir sama dengan pengetahuan saya tentang jamet, kulproy, dan sound horeg:absurd.
Namun, saya tipikal orang yang terbuka untuk menonton film apa saja dari sineas Tanah Air, termasuk Anggy. Tentu dengan harapan bahwa mungkin ada evolusi dari karya-karya sang kreator sebelumnya.
Jadi, setelah didesak oleh istri yang tergiur promo buy 1get 1 di salah satu jejaring bioskop di kota saya, saya akhirnya menyerah dan menontonlah film Aku Tahu Kapan Kamu Mati 2: Desa Bunuh Diri. Film ini sendiri merupakan sekuel dari Aku Tahu Kapan Kamu Mati yang tayang pada 2020 silam.
Film ini bercerita tentang tiga mahasiswa—Siena (diperankan Natasha Wilona), Windy (Marsha Aruan), dan Rio (Giulio Parengkuan)—yang berkunjung ke suatu desa bernama Remetuk. Kunjungan itu didorong niat untuk mencari Naya (Acha Septriasa), dosen mereka. Naya tiba-tiba menghilang usai terjadinya insiden bunuh diri di kampusnya.
Sesampainya di Desa Remetuk, mereka bertiga menemukan kejanggalan dalam prosesi ritual sedekah bumi yang dilakukan oleh warganya atas panen beras yang melimpah.
Ketimbang film pertamanya yang rilis tepat sebelum industri film mati suri akibat pandemi, Desa Bunuh Diri sebenarnya sudah mempunyai peningkatan kualitas. Namun, progres yang susah payah dicapai itu hancur lantaran pilihan konklusinya.
Penulisan Karakter yang Lemah
Karakter protagonis utama dalam film ditulis secara amat payah. Dia tampak seperti beberapa karakter film paling bodoh dan paling tidak disukai yang biasa Anda temui menghiasi bioskop kita.
Tokoh Naya yang diharapkan bisa memberikan solusi dengan inteligensinya, malah tiba-tiba harus mati oleh hantu orang-orangan sawah (scarecrow) bermuka rusak. Sebabnya pun hanya karena masa lalu yang digambarkan secara flashback, tapi terkesan disampaikan dengan rasa malas—seolah penonton sudah bisa memahami.
Itu belum lagi memperhitungkan perdebatan di antara karakter-karakter protagonisnya dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Karenanya, film ini jadi tampak bertele-tele menuju klimaksnya. Itu semua membuat Desa Bunuh Diri hampir tak tertahankan untuk diselesaikan.
Lele Laila, sang penulis naskah, agaknya memang sengaja menghilangkan tokoh Naya. Dia menggunakan trik lama dari film horor dekade 1990-an yang lazim membunuh karakter utamanya yang cerdas, yang dikira penonton akan menjadi problem solver. Tujuannya mungkin untuk mengail simpati penonton.
Namun, trope ini segera menjadi basi karena dimentahkan oleh percakapan Siena dan Naya pada paruh kedua film ini.
“Saya tidak bisa melihat tanda kematian di desa ini,” kata Siena.
Siena pun telah berulang kali menyampaikan hal itu pada Naya. Namun, Naya sendiri selalu menjawab, “Bagus dong kalo gitu, ‘kan memang itu yang kamu inginkan.”
Jawaban dangkal itu terang tak sinkron dengan bangun karakter Naya sebagai seorang psikiater.
Adanya karakter tambahan yang muncul secara tiba-tiba dan kemudian melakukan aksi bunuh diri juga cukup mengganggu. Itu membuat celah besar dalam alur film ini lantaran ia tidak solid dalam merangkai terornya.
Adegan gore-nya pun nisbi tanggung. Sebagai pecinta film gore, saya lebih mendingan nonton Rudy Choirudin memasak sate kambing ketimbang nonton adegan-adegan menyayat, menebas, menggorok, memotong, atau menusuk dalam Desa Bunuh Diri.
Gagasan Thanatos—teori psikoanalisis oleh Freud tentang dorongan mencari kematian—yang menjadi sempilan di paruh awal film ini sayangnya tidak berlanjut ke kedalaman. Dengan adanya karakter Naya, gagasan ini seharusnya bisa menjadi pembuka yang apik untuk menjelaskan rentetan peristiwa bunuh diri yang terjadi di Desa Remetuk.
Harusnya ada penjelasan logis yang bisa dikaitkan dengan kampanye Naya—terkait profesinya—di desanya, bahwa “Bunuh Diri Bukan Solusi”. Namun, film ini anehnya justru memilih jadi tipikal karena memungkas kisahnya dengan dongeng klise.
Dengan adanya Naya, Laras (Ratu Felisha), dan Pak Rahmat (Pritt Timothy) sebagai tokoh kunci, Lele Laila harusnya bisa mengembangkan naskahnya menjadi lebih luas daripada sekadar membuat parade jump scare yang luar biasa berisik.
Menghibur, tapi Tidak Lebih
Anda akan menyadari bahwa para korban yang jatuh sebenarnya adalah warga desa. Pun mudah saja menyadari bahwa Desa Bunuh Diri cukup ambisius mengangkat desa sebagai latar cerita.
Film sebagai produk budaya populer telah lama mengangkat tema ini ke layar lebar, terutama melalui genre horor. Tengok saja Perempuan Tanah Jahanam, Pengabdi Setan, Qodrat, Qorin dan film-film Suzanna yang selalu bercerita tentang orang kota datang ke desa lalu bertemu hantu.
Ada pula film KKN Di Desa Penari yang menembus rekor box office sepanjang masa. Capaian itu boleh jadi membuat banyak produser, penulis naskah, dan sutradara makin kesengsem membuat film dengan tema serupa.
Terlepas dari kejenuhan yang bakal muncul lantaran membanjirnya film horor berlatar pedesaan, sebenarnya tak ada yang salah dengan mengakat tema pedesaan jika diimbangi dengan eksekusi yang solid. Beberapa dari film yang mengangkat latar pedesaan yang saya sebut nyatanya memang berkualitas.
Sayangnya, para kreator Desa Bunuh Diri malah berbuat sebaliknya. Mereka mengambil konvensi dan pola naratif dari film asing yang sukses dan kontroversial lantas mengadaptasinya secara sembrono. Sampai-sampai, hal yang rasanya “tidak mungkin” terjadi, menjadi “mungkin”.
Para kreator Desa Bunuh Diri pun telah gagal melakukan salah satu hal terpenting yang harus dilakukan pembuat film, yaitu membuat kita benar-benar peduli pada karakternya. Tanpa itu, Desa Bunuh Diri hanyalah sebuah kumpulan potongan gambar yang diisi dengan lompatan-lompatan mengerikan yang sejujurnya tidak membuat saya bergidik.
Ensemble cast yang sebenarnya sudah mumpuni juga jadi tersia-siakan. Secara keseluruhan, Desa Bunuh Diri dengan penyutradaraan Anggy menjadi ambyar karena tidak didukung oleh penulisan naskah yang solid.
Intinya, Desa Bunuh Diri memang menghibur, apalagi dengan hantu orang-orangan sawah yang menjadi boleh dikatakan merupakan hal baru dalam dunia film horor Tanah Air. Namun, ia tidak mampu lebih dari itu.
Desa Bunuh Diri mengangkat latar pedesaan, tapi tidak memberikan komentar sosial apa pun. Thanatos yang seharusnya bisa memberi kedalaman pada narasi, malah terabaikan begitu saja hanya demi memberi ruang bagi banyak jump scare yang tidak tepat sasaran.
Jika Anda tipe penonton yang mencari “sesuatu” dalam sebuah film, Desa Bunuh Diri bukan pilihan yang tepat.
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi