tirto.id - Jumat 17 Agustus dua hari lalu mestinya menjadi mimpi buruk bagi para pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) di pesisir Pantai Motaain, Desa Silawan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Peringatan proklamasi kemerdekaan tiba-tiba saja berhenti lantaran simpul tali yang tersangkut di ujung tiang bikin bendera tak bisa dikerek ke atas.
Beruntung ada Yohanes Andigala alias Joni, siswa SMP asal Desa Silawan, Tasifeto Timur, Belu, NTT.
Dari rekaman video yang beredar di media sosial Joni nekat memanjat hingga ke ujung tiang tanpa pengaman. Bikin tegang? Sudah pasti. Apalagi saat Joni tiba-tiba mengambil jeda di pertengahan tiang dan beberapa anggota Paskibraka berusaha memegangi tiang yang bergoyang.
Aksi heroik Joni itu membuat takjub para peserta upacara yang kemudian memberikan tepukan tangan dan sorakan. Para penonton di media sosial membanjiri Joni dengan beragam pujian karena aksinya dianggap merefleksikan nilai-nilai kepahlawanan. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pun tak mau ketinggalan, dengan cepat ia undang Joni ke Jakarta untuk berbincang, beri sedikit penghargaan, dan tentu saja foto bersama untuk disebarkan ke media sosial serta media massa.
Terlepas dari euforia itu bisakah kita sedikit berandai-andai seandainya Joni tak ada prosedur apa yang mesti dilakukan anggota Paskibraka saat hadapi situasi kritis serupa tali tak mau dikerek ke ujung tiang bendera?
Pembina Paskibraka Nasional, Eka Imelda Novita Sari, mengatakan Joni sebenarnya tidak perlu mempertaruhkan nyawanya di atas ketinggian 23 meter. Menurutnya, saat bendera tak bisa dinaikkan karena tali pengerek tersangkut para anggota Paskibraka bisa tetap kibarkan bendera dengan tangan.
"Kalau dilihat prosedurnya sudah dilakukan. Kalau ada masalah, memang bendera bisa dikibarkan dengan tangan Paskibra dan upacara bisa terus berlanjut," kata Eka kepada Tirto, Sabtu (18/8/2018).
Selain itu, menurut Eka, dalam kondisi khusus semacam itu bisa juga Paskibra hanya melipat bendera merah putih lalu upacara dilanjutkan.
"Ya, memang aksi Joni itu patut diapresiasi inisiatifnya, tapi itu bisa tidak dilakukan sebenarnya. Paskibnya sudah benar prosedurnya," ujar Eka.
Hal sama juga disampaikan mantan Paskibraka Nasional Gloria Hamel. Menurutnya, Paskibra yang bertugas sudah tepat dan upacara sebenarnya bisa dilanjutkan saja. "Tapi enggak berarti bahwa dalam segala kondisi hanya paskibnya saja yang boleh bertindak. Memang berbahaya tapi itu pilihan Joni spontan dan menurut saya memang pantas diapresiasi," kata Gloria kepada Tirto.
Keselamatan
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto menilai aksi Joni memanjat tiang bendera berketinggian 23 meter membuktikan ketidakpekaan orang dewasa yang menjadi peserta upacara. Mereka, menurutnya, seharusnya bisa lebih mengambil inisiatif ketimbang Joni.
"Saya tidak menyalahkan Joni. Dia hebat. Tapi orang dewasa di sana seperti membiarkan Joni dalam bahaya," kata Susanto kepada Tirto.
Menurut Susanto, jika terjadi kecelakaan kepada Joni, maka panitia penyelenggara upacara bisa dikenakan dugaan pembiaran hal berbahaya kepada anak-anak. "Mereka, kan, seharusnya sudah tahu prosedur dan mekanismenya. Harusnya bisa mencegah dan mengingatkan Joni," kata Susanto.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Jay Akbar