Menuju konten utama

Akhir Dongeng Avo Uvezian

Avo, pria yang dianggap menulis "Strangers in the Night", juga salah satu pemilik merek cerutu terlaris di dunia, mangkat pada usia 91. Kisah hidupnya bagai dongeng perjalanan paling komplit.

Akhir Dongeng Avo Uvezian
Avo Uvezian, pianis jazz dan pengusaha cerutu. FOTO/armenianweekly.com

tirto.id - November 2015. Seorang pria melenggang keluar dari sebuah toko cerutu mahal di Manhattan, New York. Ia membawa empat kotak cerutu yang dimasukkan dalam tas Bed Bath & Beyond. Ia tak membayar untuk itu. Cerutu yang ia curi adalah merek Avo XO, per kotak seharga Rp3,6 juta.

Pencurian itu kemudian membawa banyak orang ke kisah dongeng tentang Avo Uvezian, pria paling flamboyan di seluruh dunia.

Musisi Penguasa Selusin Bahasa

Pada 1923, tak lama setelah Perang Dunia I usai, Liga Bangsa-Bangsa membagi daerah-daerah bekas kekuasaan Ottoman. Inggris menguasai kawasan Mesopotamia, yang sekarang dikenal sebagai Irak, dan kawasan selatan Palestina dan Trans-Jordan. Sedangkan Perancis mengontrol Suriah, Lebanon, Hatay, dan tenggara Turki. Kawasan yang dikuasai Perancis ini dinamai French Mandate for Syria and the Lebanon, alias Lebanon Perancis.

Di Beirut yang masih masih masuk dalam Lebanon Perancis itu, Avo lahir pada 22 Maret. Keluarga besarnya memang berlatar belakang musisi. Bapaknya seorang pencipta musik dan konduktor di sebuah orkes simfoni. Ibunya adalah penyanyi. Sejak muda Avo aktif belajar musik. Ia kemudian membentuk trio jazz yang bernama The Lebanon Boys. Mereka mendapat kontrak bermain di Baghdad, kemudian di Iran. Saat itulah, Shah Reza Pahlavi terpukau dengan trio ini dan mengundang mereka untuk bermain di istananya. Ini dianggap sebagai salah satu pencapaian monumental Avo.

"Karena aku bisa ngomong bahasa Persia, aku jadi akrab dengan Shah," katanya.

Avo memang menguasai sekitar selusin bahasa. Selain bahasa Persia, Ia bisa bahasa Prancis, Turki, dan Inggris. Salah satu guyonannya yang paling populer adalah, "Aku biasa menghitung dalam bahasa Armenia, menyumpah serapah dalam bahasa Turki, dan berfantasi tentang perempuan cantik dalam Bahasa Perancis."

Setelah penampilan perdana, Avo dan bandnya diundang dua hingga tiga kali untuk bermain di kerajaan. Kemudian Avo menjadi pianis untuk Shah. Ia juga tetap bermain di hotel, yang memang dipunyai oleh Shah. Setelah setahun menetap di Teheran, Avo kemudian pergi ke Amerika Serikat pada 1947 untuk belajar piano klasik dan penciptaan lagu di sekolah seni bergengsi, Juilliard School, New York.

Saat Perang Korea meletus, Avo ikut mendaftar sebagai tentara. Namun, karena bakat musiknya yang menawan, komandannya menarik Avo dari batalion dan menempatkannya di band tentara. Di Korea, band ini rutin bermain di klub para tentara. Bayarannya lumayan, 20 dolar per malam. Avo resmi berhenti dengan hormat dari ketentaraan pada 1957.

Dia sempat menekuni bisnis perhiasan di Puerto Rico, meneruskan tampuk usaha milik mertuanya. Tapi musik selalu memanggilnya kembali. Tahun 1960, dia kembali ke Amerika Serikat untuk bermain musik.

Salah satu temannya kenal Frank Sinatra. Karena tahu kemampuan Avo menulis musik, sang teman berencana mengenalkannya pada Sinatra. Ia merencanakan kopi darat dan menyuruh Avo membawa contoh lagu buatannya. Avo membuat musik, seorang kawan lain menulis lirik. Lagu itu diberi judul "Broken Guitar".

“Lagu itu sebenarnya lagu yang sangat sederhana,” kata Uvezian, pada The New York Times. “Kamu ambil satu nada, dan ulangi. ‘Dah-dah-dah-dah-daaaah.’ Iramanya diulangi terus menerus.”

Sinatra mendengarkan lagu itu. Ia suka melodinya, tapi tak suka liriknya. Kemudian Sinatra menyuruh seorang penulis lirik di studio musik untuk mengubah. Tapi hasilnya juga tak menggembirakan Sinatra yang memang rewel.

Dalam buku Sinatra: The Chairman garapan James Kaplan, ditulis bahwa Sinatra memang menolak menyanyikan lagu itu. Liriknya dianggap buruk. Tapi karena sudah lama tak punya lagu hits besar, Sinatra akhirnya terbujuk juga. Pada 1968 lagu itu direkam. Selain lirik, judulnya juga diubah jadi "Strangers in the Night".

Lagu ini kemudian menjadi amat terkenal. Mungkin salah satu lagu hits terbesar Sinatra sepanjang karirnya. Judul itu juga dipakai untuk judul album, menjadi album Sinatra yang paling sukses secara komersial. Sinatra memenangkan dua penghargaan Grammy berkat lagu ini.

Dari Sinatra ke Cerutu

Namun kisah ini tak berakhir indah. Apa yang seharusnya menjadi momen monumental dalam karier Avo, berakhir tragis. Avo tak mendapat kredit di lagu itu. Usut punya usut, sebelum Sinatra mendengar lagu itu, Avo mengirimkan lagu itu ke seorang kawan: Bert Kaempfert.

Bert adalah seorang pria Jerman setil yang dikenal sebagai musisi jazz dan pemimpin orkes. Kepadanya, Avo mengirimkan "Broken Guitar" untuk dirilis di Jerman. Tapi lagu itu diakui sebagai karya Bert. Apa boleh buat, industri musik memang kejam. Hingga sekarang, lagu itu masih memasukkan nama Bert sebagai pencipta utamanya. Kaempfert, yang meninggal pada 1980, tidak sungkan untuk memasukkan lagu itu dalam salah satu pencapaian terbaiknya. Namun menurut Uvezian, Kaempfert memberinya kredit berkali-kali karena menciptakan lagu itu, termasuk dalam surat tertulis.

Banyak penggemar berusaha mencocokkan keterangan Avo ke pengamat Sinatra. Jonathan Schwartz. “Aku tak pernah mendengar kisah itu sebelumnya, tapi aku tidak akan meragukannya,” kata Schwartz dalam sebuah wawancara baru-baru ini. “Ceritanya terdengar asli bagiku,” ujar Schwartz pada The New York Times.

Pengalaman pahit itu membuat Uvezian trauma terhadap bisnis musik dan juga New York. “Hal itu sangat menyakitkan buatku. Aku ingin melupakannya,” katanya. “Aku punya banyak lagu lain yang jauh lebih baik dari lagu itu.”

infografik avo uvezian

Avo kemudian balik ke Puerto Rico dan bermain di sebuah griya tawang. Saat itulah, Avo kemudian memperhatikan sesuatu: selain menikmati musik, para penonton suka menghisap cerutu. Avo memang sering membeli cerutu lokal dan menaruhnya di atas piano jikalau ada orang yang ingin menghisapnya.

"Para penonton dan kawan sering mengirimiku surat dan meminta cerutu," katanya pada majalah Cigar Aficionado.

Pengalaman lain terjadi pada 1982. Saat itu, ia pergi ke Swiss untuk acara pembaptisan putrinya. Setelah makan, ia merokok cerutu Kuba. Tapi alih-alih nikotin, ia malah pusing setelah melihat harga cerutu. Seorang kawan nyeletuk, "mending kamu buat cerutumu sendiri saja."

Nasihat itu, juga pengalaman saat bermain di Puerto Rico, membuat Avo membulatkan tekad terjun ke bisnis cerutu. Langkah pertamanya adalah pergi ke Dominika dan mengunjungi sebuah pabrik cerutu. Di sana, ia bertemu dengan tukang campur tembakau bernama Hendrik Kelner. Mereka bekerja sama. Hendrik mencampur 10 hingga 12 jenis tembakau berbeda. Pekerjaan mencari campuran cerutu ideal itu memakan waktu sekitar sebulan. Hasil favoritnya adalah apa yang ia sebut sebagai Avo Classic.

“Pemula atau perokok lama, dapat menemukan kepuasan dalam Classic,” kata Uvezian.

Promo awalnya sederhana. Selagi bermain, ia mengedarkan cerutu. Karena rasanya yang paten, banyak penonton suka dan ingin lebih banyak. Selain itu, Avo juga mengirim contoh produk ke Davidoff , perusahaan tembakau kelas dunia. Pada tahun pertama penjualan cerutu merek Avo, sekitar 120.000 batang terjual. Pada tahun ketiga, diperkirakan Avo sudah terjual 750.000 batang.

Pada 1995, Davidoff membeli hak untuk mengedarkan cerutu Avo sebesar 10 juta dolar. Berkat pemasaran dan distribusi yang makin gencar, diperkirakan cerutu merek Avo bisa terjual 2 juta batang tiap tahun. Salah satu puncak penjualan terjadi pada 1997, saat 3,5 juta batang cerutu terjual.

“Campuran, keseimbangan, dan stimulasi lidah, semuanya terbaik,” ujar Scott Kolesaire, manajer merek Avo.

Davidoff juga menjual cerutu Avo di gedung Avenue of the Americas, tak jauh dari Central Park, New York. Di sana juga ada ruang merokok yang suhunya dikontrol. Di sana lah, pada 23 November, seorang pria yang diperkirakan berusia 30 tahunan berjalan lempeng setelah menggasak empat kotak cerutu.

Rafael de los Reyes, seorang sales di toko cerutu itu, pada The New York Times, menunjukkan kotak yang persis pada pertengahan Desember lalu. Dia menunjuk nama Uvezian yang ada di pembungkus kotak.

“Lelaki ini,” katanya, “yang menulis ‘Strangers in the Night'."

Avo tinggal di Orlando, Florida pada masa tuanya. Ia masih rutin bermain musik. Setiap tahun, lelaki flamboyan dengan kisah hidup macam dongeng 1001 malam, memperingati hari lahirnya dengan membuat pesta cerutu. Juga merilis cerutu khusus. Meski sudah menua dan melemah, tiap tahun pula ia membuat tur. Jumlah tur memang selalu berkurang, tapi Avo selalu menyempatkan diri bermain di New York, kota yang pernah membuatnya trauma. April 2016, Avo bermain di Carnegie Club, New York.

Di ulang tahunnya yang ke-90 itu, Avo juga merilis cerutu edisi khusus. Campuran dari 5 jenis tembakau Dominika: Piloto Cubano, Corojo-Olor berusia 10 tahun, Criolo berusia 11 tahun, dan dua jenis tembakau San Vicente Mejorado yang tumbuh di dua daerah berbeda. Dan tentu saja, Avo menyempatkan diri bermain piano.

"Penampilannya khas Avo. Setelan jas warna putih, memainkan piano, tangannya gemetaran, dan merokok cerutu. Rasanya gembira melihatnya bermain. Sebagai seorang pianis jazz dan penyuka cerutu, hidupnya memang selalu diisi oleh musik dan cerutu," tulis Gregory Mottola untuk Cigar Aficionado.

"Orang selalu bertanya apa resep panjang umurku," kata Avo. Setengah berkelakar kemudian ia melanjutkan, "Rahasianya adalah, setiap kali kamu merokok cerutu, kamu mendapat sehari umur tambahan. Aku akan terus menghisap cerutu hingga umurku 99. Di saat itu, aku juga akan terus merokok cerutu, jadi umurku bisa sampai 100 tahun."

Kelakar itu hampir saja menemui kebenaran. Sayangnya, Avo meninggal dengan tenang pada 24 April 2017, dua hari setelah ulang tahun ke 91. Pria paling flamboyan di seluruh dunia, yang hidupnya diisi jazz dan cerutu dan perjalanan perjalanan keliling dunia, akhirnya berpulang ke rumah abadi. Di akhirat nanti mungkin Sinatra akan meledeknya.

"Kamu kurang banyak menghisap cerutu, makanya umurmu tak sampai 100."

Baca juga artikel terkait CERUTU atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti