tirto.id - Instalasi gabion yang dipasang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat belakangan menjadi perdebatan. Pasalnya batu gabion disebut diduga menggunakan batu atau terumbu karang yang diambil dari laut dan dilarang oleh undang-undang.
Namun, kemudian Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsita membantah bahwa bahan gabion berasal dari batu karang dan dilarang oleh undang-undang.
Suzi lalu mengundang pengajar jurusan geologi, FMIPA, Universitas Indonesia, Asri Oktavioni, untuk menjelaskan bahwa yang digunakan sebagai instalasi bukanlah batu karang.
"Jadi kemarin kan sempat ramainya dia terumbu karang ya. Kita mikirnya dia diambil di laut terus hewan-hewannya pada mati. Jadi sebenarnya setelah tadi saya lihat, saya perhatikan ternyata dia itu batu. Batuan itu kita sebutkan itu batu gamping, batu gamping terumbu," ucap Asri di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (25/8/2019) malam.
Ia menerangkan bahwa batu gamping adalah terumbu karang yang jutan tahun lalu ada di laut dan kemudian mati dan mengalami proses geologi yang disebut mineralisasi dan kristalisasi kemudian menjadi batu.
"Posisinya pun sekarang bukan di pantai, tapi di gunung. Kalau tahu penambangan di Tuban, di Lamongan, di Gresik nah itu dia pemanfaatannya seperti itu. Dan sehari-hari pun dia dipakai untuk keramik, kalau kalian ke mall atau ke hotel itu kita bisa lihat dinding-dindingnya adalah batu yang sama dengan batuan ini," jelasnya.
"Cuma mungkin eksposurenya enggak segede gabion ini. Jadi orang-orang tidak sadar gitu, tapi sebenarnya ini batu komersil," lanjut Asri.
Menurut Asri, undang-undang mengenai batu gabion ini seharusnya lebih diatur oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sehingga digunakan untuk pertambangan mineral yang berasal dari bahan galian dan sudah dijual belikan dengan bebas.
"Dan enggak ada melanggar konvervasi atau melanggar ekosistem dan segala macam. Jadi ini batu biasa yang sangat-sangat umum didapatkan di toko batuan lah. Misalnya, "bang beli batu koral", itu dia pasti ada gitu," tuturnya.
Ia pun menilai bahwa pernyataan Riyanni Djangkaru adalah salah dan masih awam tentang karang.
"Ya untuk Riyanni sendiri, saya sudah komunikasi dengan Mbak Riyanni. Mungkin karena beliau bidangnya di kelautan jadi yang beliau tahu adalah terumbu karang hidup. Nah, awam sekali beliau tentang terumbu karang mati menjadi batu. Kurang tepat sih, tapi beliau sudah mau menerima masukan saya, mau belajar tentang geologi juga," tambah Asri.
Sebelumnya, Pemerhati isu lingkungan Riyanni Djangkaru mengatakan, bebatuan yang disusun menjadi instalasi gabion di kawasan Bundaran HI adalah batu karang. Riyanni mengetahui bebatuan karang itu setelah mengeceknya langsung ke Bundaran HI.
"Pas saya dekati, kelihatan memang sebagian besar pola-pola skeleton karang itu terlihat cukup jelas. Kalau dilihat langsung, kita langsung ngeh," ujar Riyanni saat dihubungi, Sabtu (24/8/2019).
Riyanni juga menyampaikan kritikannya itu lewat akun Instagram-nya @r_djangkaru. Dia mempertanyakan penggunaan batu karang tersebut.
Sebab, konservasi terumbu karang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
"Saya jd bertanya-tanya, apakah perlu ketika sebuah instalasi dengan tema laut dianggap harus menggunakan bagian dari satwa dilindungi penuh ? Apakah penggunaan karang yang sudah mati ini dpt dianggap seakan “menyepelekan “ usaha konservasi yang sudah, sedang dan akan dilakukan? Darimana asal dari karang-karang mati dalam jumlah banyak tersebut? Ekspresi seni adalah persoalan selera, tp penggunaan bahan yang dilindungi Undang-undang sebagai bagian dari sebuah pesan,mohon maaf, menurut saya gegabah." tulis Riyanni melalui akun Instagram-nya
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Irwan Syambudi