tirto.id - Meski akhirnya kandas oleh Prancis di semifinal dan Kroasia dalam perebutan juara ketiga, keberhasilan Maroko banyak menyita perhatian publik sepak bola dunia.
Beberapa pemain kunci dianggap punya peran dominan sehingga Maroko sampai pada titik tersebut, salah satunya adalah Youssef En-Nesyri, pencetak gol ke gawang Portugal.
Youssef dinilai sebagai salah satu ikon kesuksesan pembinaan sepak bola Maroko melalui akademi berkelanjutan.
Selain Youssef, ada juga bintang Maroko lain yang berasal dari akademi. Sebut saja gelandang Azzedine Ounahi yang bermain untuk Angers SCO, klub Ligue 1 Prancis. Juga bek tengah West Ham United, Nayef Aguerd.
Berawal dari Akademi Mohammed VI
Gagal lolos ke Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan, Maroko kembali kandas di partai puncak Piala Afrika 2004 setelah dikalahkan tuan rumah Tunisia. Dua tahun kemudian, mereka kembali gagal lolos ke Jerman setelah di laga terakhir bermain imbang 2-2, lagi-lagi dengan Tunisia.
Merespons rangkaian kegagalan tersebut, federasi sepak bola Maroko, Royal Morrocan Footbal Federation (RMFF) yang didukung penuh Kerajaan Maroko mulai merintis Akademi Mohammed VI pada tahun 2007. Dipilihlah lahan seluas 18 hektare di kota Sala Al Jadida (populer juga dengan kota Sale), tak jauh dari ibukota Rabat.
Dua tahun kemudian, akademi mulai beroperasi dan Raja Mohammed VI sendiri yang meresmikannya pada Maret 2010.
Dilansir situs The Aga Khan Development Network, Akademi Mohammed VI yang pada awalnya menampung 50 siswa itu diarsiteki oleh Omata Ghandi dan Skander Emini yang mencoba menonjolkan “Douar” (dusun) dan ruang-ruang desa tradisional yang ada di Maroko dalam desainnya. Model bangunan dan area sekitar akademi mengusung konsep ramah lingkungan.
Dengan suasana akademi yang tidak begitu asing, diharapkan dapat menambah motivasi para siswa, mengingat sebagian besar berasal dari keluarga kurang beruntung di Maroko.
Menelan biaya pembangunan $16,8 juta, akademi ini menjaring bakat-bakat pemain berusia 12 hingga 18 tahun dari seluruh penjuru negeri.
Proyek akademi dipimpin oleh Nasser Larguet, pelatih kawakan yang pernah menangani klub elite asal Prancis, Olympique Marseille. Dibantu Pascal Théaut dan Thomas Pavillon, mereka berkeliling ke sudut-sudut dan jalanan di Maroko untuk mencari calon pemain hebat.
Seperti halnya akademi yang mengusung sepak bola modern, Akademi Mohammed VI mengadopsi metode akademi klub-klub Eropa yang menggabungkan olah raga dan pendidikan. Terdiri dari enam bangunan utama yang memiliki fungsi masing-masing, yakni gedung administrasi, gedung olahraga, gedung pendidikan, asrama penginapan, masjid, dan restoran.
Dengan pusat kebugaran dan empat lapangan berstandar FIFA, akademi juga difasilitasi penunjang medis tiga lantai untuk memastikan kondisi mental maupun fisik siswa terjaga. Untuk mengisi waktu luang, para siswa dapat mengakses internet, televisi, ruang sinema, dan sarana hiburan lainnya.
Di akademi, ada tiga jenjang pendidikan sesuai usia siswa. Dimulai pada jenjang pertama untuk usia 13 dan 14 tahun, jenjang kedua untuk usia 15 dan 16 tahun, dan jenjang ketiga bagi siswa berusia 17 dan 18 tahun.
Pada usia jenjang pertama, akademi memberikan bekal para siswa dengan persiapan fisik dan mental sebagai bagian dari adaptasi. Pada usia jenjang kedua, mereka sudah dibekali porsi latihan sebanyak dua kali dalam sehari.
Sedangkan pada usia jenjang ketiga, para pelatih dan staf akademi memiliki banyak pekerjaan lebih karena sudah mencakup pengawasan ketat perkembangan para siswa, baik secara taktis maupun teknis.
Bintang-Bintang Muda Bermunculan
Jelang semifinal melawan Prancis, pelatih Walid Reragui mengatakan peran Kerajaan Maroko dalam membangun sepak bola negaranya.
“Raja Mohammed VI telah melakukan berbagai cara demi memajukan sepak bola di Maroko,” ujarnya sebagaimana dikutip situs resmi FIFA.
Setiap tahunnya, Raja Maroko menggelontorkan dana $15,6 juta atau setara 254 Milyar rupiah untuk pengembangan Akademi Mohammed VI. Berkat dukungan penuh tersebut, sepak bola Maroko bisa kita lihat hasilnya sekarang.
Sebut saja bagaimana Youssef En-Nesyri pertama kali datang ke akademi pada tahun 2011. Ia berasal dari kota Fez, kota terbesar kedua di Maroko setelah Casablanca. Masa kecilnya banyak dihabiskan di jalanan untuk bermain sepak bola.
Menurut catatan Transfermrkt, Youssef mulai mendapat kesempatan bermain di luar negeri setelah klub Spanyol, Malaga U19, meminangnya pada 1 Juli 2015 dengan nilai transfer Rp2,7 Milyar. Usianya saat itu baru menginjak 18 tahun.
Seangkatan dengan Youssef, ada juga Hamza Regragui, Achraf Sidki, dan Soulaiman El Amrani yang juga ditransfer ke Malaga U19.
Kariernya terus menanjak setelah performanya bersama Timnas Maroko cukup menjanjikan membuat Sevilla FC mengontraknya selama 3 tahun dengan nilai transfer sekitar Rp347 Milyar pada Januari 2020.
Lulusan akademi lainnya kemudian mulai mendapatkan tempat di kompetisi-kompetisi Eropa.
Omar Sadik, penyerang berusia 18 tahun, dipinjamkan ke klub Espanyol Barcelona U19 bulan Agustus lalu. Anas Nanah dan Walid Hasbi juga dipinjamkan ke tim divisi 5 Prancis, Racing Strasbourg B.
Meski sebagian besar belum bermain di level utama kompetisi, kesempatan mendapat menit bermain tentu saja diperlukan saat mulai meniti karier sebagai pemain sepak bola profesional.
“Seorang pemain berusia 12 tahun mungkin baru bersinar di usia 15 jika diberi kesempatan bermain yang tepat,” ujar Dan Wright, pelatih akademi asal Inggris dalam sebuah artikelnya mengenai kesempatan menit bermain pemain muda.
Meski begitu, tidak semua pemain akademi dikirim ke Eropa. Klub-klub di Maroko juga banyak menampung lulusan akademi.
Gelandang berusia 21 tahun, Abdellah Haimoud, turut mengantar timnya Wydad Casablanca menjuarai Liga Maroko berturut-turut dua musim terakhir. Tahun ini timnya juga menjuarai CAF Champions League, kejuaraan bergengsi antar klub Afrika.
Kemudian ada Tawfik Bentayeb yang rumornya dilirik beberapa klub Prancis setelah penampilan memukaunya di Piala Afrika U17 malah berlabuh di Union Touarga Sportif, klub ibu kota yang kini berada di peringkat tiga klasemen sementara Liga Maroko.
Bahkan ada 6 pemain didikan Akademi Mohammed VI yang bercokol di skuad asuhan Tarik Sektioui tersebut. Mereka juga bermain untuk tim nasional U20 dan U23.
Di luar itu, klub elite seperti Olympique Lyonnais mengikat kontrak dengan akademi selama 3 tahun untuk mendapatkan prioritas pemain berbakat hasil dari didikan akademi.
Tahun 2019, luas akademi sudah berkembang menjadi 30 hektare. Di dalamnya juga sudah dibentuk pembibitan bagi tim nasional sepak bola putri yang mulai menorehkan prestasi. Mereka lolos ke partai puncak Piala Afrika Wanita setelah menundukkan Nigeria melalui drama adu pinalti di Rabat.
Meskipun akhirnya kalah dari Afrika Selatan dengan skor 2-1, mereka tetap mengukir sejarah sebagai negara dengan kultur Arab pertama yang lolos ke Piala Dunia Wanita yang akan berlangsung di Australia dan Selandia Baru tahun depan.
Akademi Mohammed VI memang bukan yang terbaik di Afrika, setidaknya masih ada Akademi Kadji Sport di Kamerun yang melahirkan Samuel Eto’o. Juga ada Akademi Mimos Sifcon di Pantai Gading yang mengorbitkan nama-nama Yaya Toure, Salomon Kalou, dan Emmanuel Eboue. Lebih jauh, pasca Nigeria tampil memukau di Piala Dunia 1994, perusahaan minuman raksasa Pepsi membuat akademinya untuk 3000 siswa di 14 kota.
Namun pemain-pemain bintang tersebut tidak banyak berbicara ketika tampil di Piala Dunia. Penampilan terbaik Pantai Gading hanya sampai fase grup, sementara Nigeria hanya sampai 16 besar. Langkah terbaik dicapai Kamerun, Ghana, dan Senegal yang kandas di perempat final.
Di Afrika, belum ada yang seperti Maroko dengan lulusan-lulusan terbaik akademinya yang mencapai semifinal Piala Dunia.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi