tirto.id -
Kebijakan yang diterapkan Uni Eropa (UE) pada 2021 akan menerapkan batas 2,5 ppm terhadap kontaminan 3-MCPD yang ditemukan dalam minyak sawit sebagai bahan makanan.
Sementara pada minyak nabati lain, seperti minyak canola dan kedelai hanya ditetapkan 1,25 ppm.
"Kami menentang rencana UE untuk menetapkan batas 1,25 ppm untuk minyak nabati yang diproduksi di UE. Ini diskriminatif," kata Airlangga dalam Forum Dewan Negara-Negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) yang digelar di Jakarta, Jumat (7/2/2019) seperti dikutip Antara.
Airlangga menilai, peningkatan standar 3-MCPD sebagai kontaminan makanan dalam lemak dan minyak olahan ini akan membuat konsumen salah paham karena menganggap minyak nabati dari kelapa sawit lebih buruk dibandingkan dengan minyak nabati lain yang memiliki batas lebih rendah.
Selain itu, langkah UE ini menjadi hambatan perdagangan lainnya bagi Indonesia, terutama setelah minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati (biodiesel) dikategorikan berisiko tinggi dalam Kebijakan Red II dan Indirect Land Use Change (ILUC).
"Mereka menaikkan eskalasi dagangnya, menetapkan standar yang lebih tinggi lagi agar kelapa sawit mendapatkan hambatan non-tarif. Hambatan ini merupakan kampanye terhadap konsumen. Ini yang paling bahaya," kata Airlangga.
Lantaran itu lah, ia mendukung CPOPC yang merekomendasikan batas maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm untuk semua minyak nabati yang dikonsumsi.
CPOPC menilai batasan maksimum tersebut dapat diterapkan dan tidak perlu ada perbedaan batas maksium di antara berbagai minyak nabati.
Isu soal standar batas aman kontaminan monochlorpropanediol (3-MCPD) dan glycidol esters (GE) muncul setelah penelitian di Uni Eropa mencatat minyak sawit mengandung 3-MCPD dan GE yang tertinggi diantara minyak nabati lainnya.
Senyawa 3-MCPD merupakan senyawa hasil hidrolisis 3-MCPD ester yang dinilai memiliki efek negatif terhadap kesehatan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana