tirto.id - Ketua Umum Partai Demokrat, Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyoroti utang pemerintah yang kian menumpuk selama 2022. Kondisi tersebut dikhawatirkan bisa mengancam masa depan dan nasib para pekerja Indonesia.
Selain itu, AHY juga menyinggung mengenai cadangan devisa Indonesia yang kian menipis. Menurutnya ini terjadi lantaran harus menahan nilai tukar Rupiah yang belakangan ini melemah.
"Kita juga tahu bahwa gelombang PHK secara massal terjadi di sana sini. Ini semua tentunya mengancam masa depan dan nasib para pekerja nasional kita," kata AHY dalam postingan akun twitter @PDemokrat, dikutip Rabu (25/1/2023).
Merespon itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menilai kritik yang disampaikan AHY terkait utang tidak sesuai dengan kondisi negara saat ini. Apalagi tidak didasari dengan fakta atau data-data yang terjadi di lapangan.
"Sayang kritik @PDemokrat historis, terjebak pada angka, bukan kondisi faktual yang dinamis. Di situ esensinya. Kita bahas," ujar Yustinus dikutip dari akun twitternya @prastow.
Dia menjelaskan, selama kurun 2015-2019 rasio utang dapat dijaga di level maksimal 30 persen. Saat penerimaan negara melandai dan kebutuhan pembiayaan berbagai belanja publik meningkat untuk mengejar kemajuan, maka utang menjadi salah satu pilihan.
"Lonjakan tinggi jelas karena pandemi COVID," ujarnya
Berkaca pada 2022, memang terjadi lonjakan dari 30 persen ke 39,38 persen dalam setahun. Namun lonjakan ini terjadi demi menangani dampak kesehatan, sosial dan ekonomi karena COVID-19.
Menurutnya ini justru menjadi keniscayaan dan menunjukkan tanggung jawab pemerintah. Bahkan sekarang diapresiasi sebagai salah satu negara yang berhasil mengatasi pandemi dengan baik.
Sementara terkait akumulasi defisit fiskal pada 2020-2021, Yustinus tidak menampik jika persentasenya mencapai 10 persen. Namun, kata dia, angka Indonesia masih lebih kecil dengan negara-negara lain pada periode yang sama. Misalnya, Thailand yang mencapai 17 persen, Filipina 22,1 persen, Cina 11,8 persen, Malaysia 13,6 persen, dan India 16,5 persen.
"Ini yang saya kritik sebagai ahistoris dan non konteks. Kita prudent," klaimnya.
Selama masa pandemi, lanjut Yustinus pemerintah bahkan merealisasikan Rp1.635,1 triliun untuk menolong rakyat menghadapi pandemi. "Silahkan dibandingkan dengan periode lain di Republik ini, kapan ada belanja publik sebesar ini?," katanya.
Sementara itu pada 2022, ruang fiskal dapat dijaga dengan baik. Menurutnya ini berkat tata kelola yang baik, kerja sama dengan semua pihak, termasuk DPR dan parpol. Sehingga realisasi defisit 2022 di bawah target yakni 2,38 persen atau Rp464,33 triliun, jauh di bawah target Rp840 triliun
"Tentu dalam hal ini Demokrat yang kritis dan kerap tak setuju dalam banyak hal," katanya.
Yustinus menuturkan kerja keras APBN yang pruden, efisien, dan antisipatif menekan defisit berkonsekuensi pada pembiayaan. Realisasi utang pada 2022 pun tercatat hanya Rp 688,54 atau 73 persen dari target. Namun, dia juga tidak menampik jika posisi utang terakhir pada 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun.
“Besar ya? Iya! Sudah saya jelaskan kontek dan reasoning di atas. Kue ekonomi dan produktivitas kita pun membaik. Rasio utang sudah turun dari 40,74 persen di 2021 menjadi 39,57 di 2022. Mosok dibilang ugal-ugalan sih? Optimistis ya, Mas,” kata Yustinus.
Yustinus menambahkan, utang negara tidak hanya digunakan untuk menangani pandemi COVID-19. Namun, kebijakan utang juga banyak earmarking ke program atau proyek. Misalnya, 880 proyek infrastruktur dasar, penyediaan vaksin bayi, pengelolaan sampah, serta penurunan emisi.
Sementara itu, terkait soal cadangan devisa, Yustinus menyebut rupiah melemah karena dampak kebijakan ekonomi US dan geopolitik global. “Bukankah harus diantisipasi agar tidak merugikan rakyat? Maka dilakukan intervensi. Pelemahan kita termasuk moderat. Cadangan devisa sangat aman,” bebernya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin