Menuju konten utama

Ahok Sebut Dirinya Korban Fitnah Menurut Goenawan Mohammad

Dalam pembacaan pleidoinya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebutkan bahwa dirinya bukan seorang penista atau penoda agama dan kasusnya adalah korban fitnah, seperti yang dituliskan oleh budayawan Goenawan Mohammad.

Ahok Sebut Dirinya Korban Fitnah Menurut Goenawan Mohammad
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menjalani sidang yang digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (28/2). ANTARA FOTO/Pool/Raisan Al Farisi.

tirto.id - Dalam pembacaan pleidoinya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyebutkan bahwa dirinya bukan seorang penista atau penoda agama dan kasusnya adalah korban fitnah, seperti yang dituliskan oleh budayawan Goenawan Mohammad.

“Adapun salah satu tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah adalah dari Goenawan Mohammad,” ujar Ahok dalam persidangan penistaan agama ke-21 di Aula Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (25/4/2017).

Menurut Ahok, dalam salah satu tulisan Goenawan menyebut stigma itu bermula dari fiitnah. Ahok tidak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang-ulang, seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta terus-menerus diulang akan menjadi “kebenaran”.

“Kita mendengarnya di masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari, sangkaan itu menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian,” tulis Goenawan Mohammad, seperti dikutip dalam pleidoi Ahok.

Menurut Goenawan, Ahok pun harus diusut oleh pengadilan, dengan undang-undang “penistaan agama” yang diproduksi rezim Orde Baru, sebuah undang-undang yang batas pelanggarannya tak jelas dan tak jelas pula siapa yang sah mewakili agama yang dinista itu.

Walhasil, lanjut Goenawan, Ahok diperlakukan tidak adil dalam tiga hal yakni difitnah, dinyatakan bersalaha sebelum pengadilan dan diadili dengan hukum yang meragukan.

"Setelah mengikuti jalannya persidangan, memperhatikan realita yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta serta mendengar dan membaca tuntutan Penuntut Umum yang ternyata mengakui dan membenarkan bahwa saya tidak melakukan penistaan agama seperti yang dituduhkan kepada saya selama ini. Terbukti saya bukan penista atau penoda agama," kata Ahok saat membacakan pleidoinya dengan judul "Tetap Melayani Walau Difitnah".

Saat membaca pleidoi, Ahok pun sekali lagi menegaskan bahwa dirinya bukan penista atau penoda agama dan juga tidak menghina suatu golongan apa pun.

"Banyak tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah bahkan Penuntut Umum mengakui adanya peranan Buni Yani dalam perkara ini," tuturnya.

Hal itu, kata dia, sesuai dengan fakta bahwa saat dirinya melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu banyak media massa yang meliput sejak awal hingga akhir kunjungan dirinya.

"Bahkan disiarkan secara langsung yang menjadi materi pembicaraan di Kepulauan Seribu, tidak ada satu pun mempersoalkan, keberatan atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut," ucap mantan Bupati Belitung Timur itu.

Bahkan, kata Ahok, termasuk pada saat dirinya diwawancara setelah dialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu.

"Namun, baru menjadi masalah sembilan hari kemudian tepatnya tanggal 6 Oktober 2016 setelah Buni Yani memposting potongan video pidato saya dengan menambah kalimat yang sangat provokatif. Baru lah terjadi pelaporan dari orang-orang yang mengaku merasa sangat terhina padahal mereka tidak pernah mendengar langsung bahkan tidak pernah menonton sambutan saya secara utuh," ucap Ahok.

JPU telah menuntut Ahok dengan hukuman penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.

"Maka disimpulkan perbuatan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah secara sah, terbukti, dan meyakinkan telah memenuhi rumusan-rumusan unsur pidana dengan pasal alternatif kedua pasal 156 KUHP," kata Ali Mukartono, Ketua Tim JPU saat membacakan tuntutan tersebut pada Kamis (20/4).

Sebelumnya, Ahok dijerat oleh JPU dengan ancaman pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Sementara menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri