tirto.id - A Man Called Ahok dan Hanum & Rangga: Faith & The City bukan satu-satunya biopik Indonesia yang diproduksi saat si tokoh masih hidup. Bahkan, di jagad Bollywood, biopik tokoh yang masih hidup sedang menjadi tren saat ini, sebagaimana diwartakan News18.
Di Indonesia, salah satu biopik yang diproduksi saat si tokoh masih hidup adalah tentang Presiden ke-3 RI, B.J Habibie. Disutradari Faozan Rizal, film berjudul Habibie & Ainun dirilis pada 2012 lalu. Selain kisah cinta, film ini juga menceritakan ambisi Habibie membuat pesawat di Indonesia.
Kesuksesan biopik Habibie & Ainun membuat sang produser, Manoj Punjabi kembali merilis film berjudul Rudy Habibie yang mengisahkan Habibie saat masih muda, atau sebelum ia membuat pesawat dan terjun ke dunia politik. Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini dirilis pada 30 Juni 2016.
Selain Habibie, Indonesia juga punya biopik yang mengisahkan Presiden RI Joko Widodo. Film berjudul Jokowi ini digarap sutradara Azhar Kinoy Lubis dan diproduseri oleh KK Dheeraj. Kisah hidup Jokowi, saat ia jadi anak tukang kayu, jadi pengusaha, hingga ia jadi pemimpin di Kota Solo dikisahkan dalam film.
Jokowi dirilis pada 20 Juni 2013, di saat tokoh aslinya, Jokowi masih hidup. Begitu pun dengan Habibie. Baik Habibie & Ainun maupun Rudy Habibie sama-sama dibuat dari cerita tokoh yang masih hidup. Tak hanya kedua tokoh dari dunia politik itu, Indonesia punya Merry Riana, pengusaha dan motivator yang kisahnya diangkat ke layar lebar oleh Hestu Saputra.
Kembali diproduseri Punjabi film ini menceritakan Merry muda yang berjuang sebagai pengungsi di Singapura karena kerusuhan. Jatuh bangun perjuangan Merry untuk kuliah dan bertahan hidup sendiri di Singapura diperankan dengan apik oleh Chelsea Islan. Kisah cinta Merry dan Alva jadi pelengkap film yang dirilis pada 24 Desember 2014 ini.
Sutradara Fajar Bustomi pada 2013 juga menelurkan biopik dari tokoh yang masih hidup, yaitu Slank. Film berjudul Slank Nggak Ada Matinya mengangkat perjuangan Bimbim, Kaka, dan Ivan melawan ketergantungan pada narkoba. Juga, bagaimana Abdee dan Ridho memperjuangkan Slank tidak bubar di tengah problem narkoba yang menimpa sebagian besar anggotanya.
Sederet judul film itu merupakan biopik produksi Indonesia yang dibuat saat si tokoh masih hidup. Di dunia perfilman internasional, ada beberapa judul seperti The Social Network (2010), biografi pendiri Facebook Mark Zuckerberg; A Beautiful Mind (2001), biografi tentang matematikawan John Nash; dan The Theory of Everything (2014) yang diangkat dari kisah nyata Stephen Hawking.
Jagad Bollywood punya sejumlah alasan mengapa biopik dengan cerita tokoh yang masih hidup sedang diminati saat ini. Alasan pertama, karena pertimbangan relevan dan kebaruan. Cerita yang disajikan dari biopik lebih bisa dirasakan penonton karena latar waktu dan tempat yang relevan. Peristiwa-peristiwa yang dialami si tokoh, bisa jadi juga pernah dialami penonton karena kebaruannya.
Kedua, orang-orang dengan nama besar tentu membuat penggemar penasaran. Bagaimana masa kecil mereka, bagaimana karakter mereka terbentuk, alasan, ambisi dan cita-cita yang melatarbelakangi tokoh menjadi pribadi saat ini jadi bahan menarik untuk biopik.
Sisi lain para tokoh yang kerap diabaikan penggemar juga coba diangkat dalam beberapa judul biopik. Misalnya, kendala Habibie saat berusaha mematenkan pesawat ciptaannya atau bagaimana sisi lain Merry Riana musa yang menjadikannya Merry saat ini.
Dikutip dari Vox Magazine, Hollywood juga senang mengambil risiko dengan mengangkat kisah orang masih hidup dalam biopik. Selain judul-judul yang telah disebutkan di atas, masih ada The Fifth Estate (2013). Film yang dibintangi Benedict Cumberbatch itu mengisahkan situs WikiLeaks.
Membuat biopik dengan tokoh yang masih hidup memang lebih berisiko, ada kemungkinan si tokoh tidak suka penggambaran terhadap dirinya di film itu atau orang-orang yang menilai si tokoh tak layak difilmkan karena masih hidup dan belum melegenda.
Namun, keinginan untuk menghormati seseorang selagi mereka masih hidup dan berkesempatan menonton filmnya sendiri, jadi lecutan bagi aktor dan sutradara untuk mengangkat lebih banyak biopik ke layar lebar.
Editor: Dipna Videlia Putsanra