tirto.id - Di manakah orang mendapatkan pengobatan paling canggih dan mutakhir? Orang biasanya merujuk Cina dan Eropa. Tak sedikit orang terbang untuk mendapat teknologi perawatan terbaik bagi penyakit yang diderita. Berbagai prosedur yang belum ada teknologinya di tanah air bisa dilakukan di sana.
Di masa lalu, peradaban Islam pun pernah memegang peranan penting dalam kemajuan ilmu kedokteran modern. Mulai dari pendidikan kesehatan yang unggul, pengobatan gratis pada si miskin, kamar mandi pasien, bangsal-bangsal yang terpisah, dan kenyamanan visual berupa warna putih di mana-mana.
Bahkan, peradaban Islam jugalah yang memulai penanganan pasien dengan gangguan kejiwaan di tempat yang disebut sebagai bimaristan, bahasa Persia untuk rumah sakit. Kejayaan Bimaristan di kala itu diyakini pernah melampaui ilmu kesehatan di Eropa. Bahkan, Emilie Savage-Smith dari St.Cross College di Oxford menyatakan bimaristan pertama yang dibangun sekitar tahun 800 di Bagdad jauh lebih canggih daripada rumah perawatan orang-orang sakit yang tumbuh di Eropa Barat beberapa ratus tahun kemudian.
Salah satu nama yang turut andil dalam kemajuan bimaristan adalah Sultan Ahmad ibn Tulun. Ia gubernur Mesir yang memerintah mulai tahun 868 hingga 905. Ahmad dikenal sebagai pemimpin yang mumpuni dan dapat membawa rakyatnya menuju kesejahteraan. Hasil pembangunan dari masa kejayaannya yang terkenal adalah Masjid Ahmad ibn Tulun dan Rumah Sakit Al-Fustat di kota Al-Fustat.
Rumah Sakit Al-Fustat yang didirikan pada tahun 872 M telah menjadi pusat pengobatan di Mesir hingga enam abad lamanya. Ia terdiri dari beberapa bangsal untuk pasien umum, serta bangsal khusus untuk perawatan pasien dengan gangguan kejiwaan.
Dalam buku Faith and Mental Health: Religious Resources for Healing yang ditulis oleh Harold G. Koenig, Al-Fustat disebut sebagai rumah sakit pertama yang menyediakan perawatan serta bangsal khusus bagi pasien gangguan kejiwaan.
Ahmad menjadi pemimpin yang membawa Islam berjaya di bidang kesehatan. Sebab, Al-Fustat dikenal memiliki reputasi apik di seluruh dunia dan menjadi acuan dalam perawatan terhadap pasien gangguan jiwa. Pada eranya, rumah sakit ini sudah punya manajemen perawatan modern, spesifik, dan lebih maju di masanya.
Untuk melengkapi pelayanan, fasilitas rumah sakit juga dilengkapi oleh tempat pemandian yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Konsep perawatan pasien di Al-Fustat bahkan masih ditemui pada perawatan rumah sakit masa kini: pasien yang dirawat diberi pakaian khusus pasien dan ditempatkan terpisah dari pasien lain.
Sementara, baju dan barang berharga akan dititipkan kepada petugas rumah sakit sampai pasien boleh dinyatakan pulang. Al-Fustat, tak hanya menjadi tempat perawatan pasien saja, rumah sakit ini juga memiliki akademi kedokteran dan perpustakaan yang kaya literatur medis.
Perpustakaan luas juga menempel di rumah sakit, berisi buku paling mutakhir sebanyak 100.000 jilid. Untuk memberikan perbandingan dengan kemajuan literatur barat, perpustakaan terbesar abad ke-14 di Eropa, di Universitas Paris, hanya terdiri dari hanya 400 jilid buku saja.
Perpustakaan ini berfungsi sebagai sumber literatur pendidikan kedokteran yang lazimnya juga dimiliki oleh banyak bimaristan kala itu, termasuk Al-Fustat. Pendidikan kesehatan yang terdiri dari materi-materi sains seperti anatomi diajarkan melalui ceramah, ilustrasi, dan pembedahan kera. Para siswa juga mempelajari tentang tanaman obat dan farmakognosia.
Tanaman obat dan rempah-rempah ditanam di sekitar rumah sakit untuk memasok kebutuhan bahan dasar obat-obatan. Sultan Ahmad ibn Tulun juga diketahui membangun rumah obat di samping Masjid Tulun yang berada satu kompleks dengan rumah sakit.
Sementara, bagian pelatihan klinis dilakukan dengan menugaskan kelompok kecil siswa untuk belajar pada seorang guru berpengalaman. Setelahnya, siswa ditugaskan ke daerah rawat jalan, dalam hal ini, pencatatan medis pasien secara rinci merupakan tanggung jawab siswa.
Walau dilengkapi dengan beragam fasilitas, biaya perawatan, obat, makan, bahkan perpustakaan dan sekolah kedokteran Rumah Sakit Al-Fustat digratiskan. Sultan yang merupakan pendiri dinasti Tuluniyah ini membiayai kesemuanya dari dana waqaf. Terobosannya menopang operasional rumah sakit lewat waqaf kemudian dicontoh para pemimpin khalifah Islam lainnya.
Dalam buku Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilisation from the Past yang ditulis oleh Firas Alkhateeb, disebutkan upaya Ahmad untuk membangun semua fasilitas tersebut menghabiskan sekitar 60 ribu dinar emas. Reputasi rumah sakit ini sangat terkenal dan baru bisa disaingi oleh Rumah Sakit Adudi di Bagdad yang berdiri pada tahun 980.
Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam—melalui para sarjana dan pemikir muslim—pernah, sedang dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani