tirto.id - Saksi ketiga ahli hukum pidana Djisman Samosir menilai bahwa perkara yang dihadapi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat ini prematur dan tidak memenuhi persyaratan untuk diproses hukum. Pasalnya, perkara hukum mengenai penodaan agama sesuai Undang-Undang seharusnya dilakukan peringatan oleh tiga menteri sebelum diproses hukum, dalam perkara ini hal tersebut tidak dilakukan.
“Perkara ini prematur karena diatur hukum acaranya. Gak bisa (langsung dihukum), harus ada peringatan dulu. Ga boleh langsung. Ya baca saja penetapannya itu, bukan saya yang mengatakan,” saat persidangan di Kementerian Pertanian pada Selasa (21/3/2017).
Dalam persidangan, Djisman menjelaskan terkait pasal 156 dan 156a yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 berlatar belakang pertikaian PKI dengan umat Islam tahun 1965. Berdasarkan hal tersebut UU Nomor 1 PNPS 1965 dibentuk dan dimasukkan sebagai dasar dari Pasal 156a tentang penodaan agama.
Menurut lektor kepala fakultas hukum dari Universitas Parahyangan ini, pada UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 terdapat hukum acara yang mengatur tentang proses hukum seseorang yang diduga menodai agama. Pada Pasal 2 butir 1 seseorang dianggap menodai agama bisa karena terkait melakukan penafsiran terhadap suatu agama di Indonesia, tetapi seseorang tersebut harus diberi perintah dan peringatan keras dari Menteri Agama, Menteri / Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri terlebih dahulu sebelum dijatuhi hukuman.
Kemudian dalam Pasal 3, barulah diatur ketentuan tentang apabila seseorang masih terus melakukan pelanggaran yang termasuk dalam sikap kasus penodaan agama setelah ditegur oleh Menteri Agama, Menteri / Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia, maka seseorang tersebut dapat diberi hukuman selama 5 tahun penjara pidana.
“Apabila masih berlanjut, maka harus diproses. Dalam kasus (Ahok) ini tidak ditempuh hukum acaranya, maka secara hukum itu batal demi hukum. Itu saya jelaskan di dakwaan itu,” tegas tenaga pengajar hukum riil dan materiil dari Unpar ini.
“Ya iya, harus diperingatkan oleh 3 menteri dulu, kalau tidak, gak bisa,” jawab Djisman lagi, ketika diminta ketegasan.
Sedangkan untuk pasal 156 yang menjadi pasal alternatif dalam mendakwa Ahok, Djisman menegaskan bahwa pasal tersebut sulit dibuktikan kebenarannya sampai sekarang. Menurutnya dalam pasal 156 sulit diadakan pembuktian karena sikap permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama harus dinilai secara batin seseorang tersebab menyangkut niat.
“(yang sudah jelas) Misalnya : meludahi, merobek, menginjak-injak, itu penodaan. Sepanjang itu tidak ada, maka seseorang tidak bisa diminta pertanggungjawabannya,” terangnya.
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum yang diwakili oleh Ali Mukartono tidak berusaha menampik pendapat yang dikeluarkan oleh Djisman. Seusai persidangan, Ali berkata kepada awak media bahwa apa yang diutarakan oleh Djisman terkait tidak terpenuhinya syarat proses hukum kasus penodaan agama oleh Ahok sudah terlambat.
“Itu kan pendapat dia. Itu menurut saya tidak perlu diperdebatkan lagi karena sudah diputus dalam putusan sela waktu sidang di (daerah) Gajah Mada itu. Hanya karena ada ahli yang mengulang, ya kita mencoba konfirmasi,” jawab Ali ketika ditanya pendapatnya terkait pernyataan Djisman.
Kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki sidang ke-15. Pada sidang kali ini, tim penasihat hukum Ahok akan menghadirkan 3 saksi ahli yakni saksi ahli hukum pidana, bahasa, dan agama. Ketiga saksi tersebut adalah Djisman Samosir sebagai saksi ahli hukum pidana, Rahayu Surtiarti Hidayat sebagai saksi ahli bahasa dan saksi ahli agama Ahmad Ishomuddin.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman lima tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri