tirto.id - Ahli hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Paramadina Nefa Claudia mengkritik vonis banding jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Kesalahan pertama, kata Nefa, adalah hakim abai Pasal 52 KUHP yang mewajibkan hukuman diperberat sepertiga bila terdakwa menggunakan jabatannya.
"Ketika kemudian ini Pasal 52 KUHP diindahkan, tidak dilihat sebagai salah satu dasar pemberat ini, tentu menjadi catatan bagaimana cara berpikir majelis pada saat memeriksa dan memutus," kata Nefa dalam diskusi bersama Indonesia Corruption Watch, Minggu (27/6/2021).
Hal lain yang menjadi persoalan adalah pertimbangan Hakim bahwa Pinangki mengaku bersalah.
Ia mengingatkan, Pinangki tidak jelas mengakui soal penerimaan dana atau pertemuan dengan Djoko Tjandra sebagai sebuah kesalahan. Menurut Nefa, pertimbangan bahwa mengakui kesalahan bisa ditelaah tepat atau tidaknya dengan menelusuri pengakuan mana yang dimaksud Pinangki.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun. Hakim yang mengadili kasus Pinangki adalah Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik. Pinangki menjadi terpidana karena kasus makelar kasus dalam pelarian Djoko Tjandra. Pinangki menerima duit dari Djoko Tjandra dengan tujuan untuk mengurus perkara di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Nefa juga mengkritik alasan hakim mengurangi hukuman bahwa Pinangki adalah seorang perempuan dan ibu dari balita, sehingga layak mendapat keringanan.
"Hakim hanya membuat pertimbangan secara parsial. Kasus Pinangki justru merusak kualitas hidup para perempuan," kata dia.
Pengurangan hukuman juga membuat korupsi bukan lagi sebagai kejahatan luar biasa. Efek jera menjadi hlang. Meski hakim punya independensi, tetap saja pengurangan hukuman mencederai pemberantasan korupsi.
"Jadi rasanya tidak juga bisa berlindung di balik kebebasan hakim ketika argumentasi hukum ini tidak bisa dipertanggungjawabkan atau dikategorikan tidak logis," ujar Nefa.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali