Menuju konten utama

Ahli Hukum: Kasus Vannesa Angel Bukti Ruwetnya Sistem Penahanan

Menurut beberapa ahli hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera menyebut kasus penahanan yang dialami artis Vannesa Angel (VA) sebagai salah satu bukti carut-marut persoalan penahanan di Indonesia.

Ahli Hukum: Kasus Vannesa Angel Bukti Ruwetnya Sistem Penahanan
Artis berinisial VA (kedua kanan) menjawab pertanyaan wartawan pers usai menjalani pemeriksaan terkait kasus prostitusi daring di Gedung Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (6/1/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono.

tirto.id - Sejumlah pegiat hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera menyoalkan penerapan penahanan dalam kasus penahanan yang dialami artis Vannesa Angel (VA) sebagai salah satu bukti carut-marut persoalan penahanan di Indonesia.

Ketua Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera Anugerah Rizki Akbari menyoalkan sistem penahanan di Indonesia. Mereka menganggap kewenangan penahanan saat ini telah menimbulkan persoalan bagi rumah tahanan maupun lapas.

"Sistem penahanan di Indonesia saat ini sangat bermasalah dari praktik maupun substansi hukumnya," kata Akbar di sekolah STH Jentera, Jakarta, Jumat (1/2/2019).

Rizki menyebut sistem sebagai salah satu penyebab overcrowding para penghuni rutan maupun lapas di Indonesia. Pernyataan Akbar memperkuat dengan jumlah penghuni lapas dalam 7 tahun terakhir.

Pada 2012, jumlah penghuni lapas maupun rutan mencapai 150.688 orang sementara per Januari 2019 ada sekitar 256.024 narapidana. Dari 256 ribu lebih, angka tahanan di 2019 mencapai 70.597 tahanan. Padahal, kapasitas rutan maupun lapas hanya di angka 125.989 orang per Februari 2019.

"Hampir sepertiga lapas ini isinya tahanan dari tahun ke tahun di akhir tahun naik," kata Rizki.

Menurut Akbar, data tersebut membuktikan aparat penegak hukum seringkali menggunakan pasal penahanan. Angka tersebut membuktikan aparat penegak hukum seperti penyidik, penuntut hukum, atau majelis hakim sering menggunakan rutan untuk menahan pelaku pidana selama memenuhi syarat objektif.

"Jadi tidak hanya Vannesa, Ahmad Dhani dan lain-lain itu sebenarnya hanya sebagian kecil dari potret bagaimana penegak hukum kita sering menggunakan tahanan dalam praktiknya. Alih-alih dia menunjukkan opsi lain tapi begitu masuk hampir pasti itu akan ditahan selama syarat objektif itu terpenuhi," kata Akbar.

Sementara itu, ahli pidana dari STH Jentera Miko Ginting menyebut ada dua persoalan dalam penerapan penahanan.

Pertama, mereka melihat persoalan penahanan berkaitan dengan paradigma upaya paksa. Kemudian, ia menyoroti penerapan hukum positif Indonesia yang sering dimaknai keliru. Dalam paradigma, Miko melihat ada pandangan kewajiban aparat menahan selama memenuhi unsur penahanan.

"Penahanan enggak wajib atau enggak harus. Jangan dipandang bahwa penahanan itu harus. Seorang melanggar delik katakan ancaman di atas 5 tahun harus ditahan. Nggak," kata Miko di STH Jentera, Jakarta, Jumat (1/2/2019).

Miko menjelaskan, penahanan mempunyai dua syarat, yakni objekif dan subjektif. Dari sisi objektif, penegak hukum terikat dengan pasal 21 KUHAP. Dalam pasal tersebut, menyatakan seseorang bisa ditahan bila ancaman hukuman di atas 5 tahun, berpotensi menghilangkan bukti, atau melarikan diri. Dalam kasus Vannesa Angel, mereka melihat tidak sepenuhnya unsur tersebut terpenuhi.

"Kalau dia menghilangkan barang bukti toh barang bukti ada di penyidik, bukti penyebaran video, atau tersangka ingin melarikan diri? Dia berkali-kali datang pemeriksaan, jadi keperluan apa yang dimiliki oleh penyidik dalam kasus Vannesa Angel maupun kasus-kasus lainnya untuk menahan seseorang?" kata Miko.

Miko pun menyebut ada dugaan penahanan dilakukan dalam rangka menghabiskan waktu penahanan. Penahanan pun diduga dilakukan di luar kepentingan pemeriksaan. Seharusnya, tahanan bisa dikeluarkan apabila pemeriksaan sudah selesai.

Selain itu, aparat juga perlu memahami konteks keadaan yang mengkhawatirkan. Menurut Miko, aparat hanya khawatir memenuhi unsur penahanan, tetapi tidak menyampaikan keadaan mengkhawatirkan atau tidak.

Miko menyarankan perlu ada pengujian penerapan penahanan. Menurut Miko, Indonesia memiliki instrumen praperadilan. Akan tetapi, praperadilan tidak efektif karena tahanan tidak bisa langsung mengajukan praperadilan karena dalam ruang tahanan. Selain itu, praperadilan hanya menguji syarat formil yang notabene bisa dilengkapi penyidik.

"Bisa aja besok kata dia saya sebagai penyidik saya tulis tanggalnya 3 bulan lalu backdate," sebut Miko.

Miko menyarankan aparat tidak serta-merta menerapkan penahanan. Kedua, ia berharap ketentuan penahanan perlu direformasi agar tidak terjadi penambahan tahanan secara signifikan. "Sehingga syarat untuk melakukan penahanan, keperluan untuk melakukan penahanan itu lebih ketat ditambah mekanisme ujinya harus berimbang," kata Miko.

Baca juga artikel terkait PENAHANAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri