tirto.id - Tokoh Nahdlatul Ulama Ahmad Ishomuddin yang dihadirkan sebagai saksi ahli agama oleh pengacara terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan keterangan terkait tabayyun atau klarifikasi. Menurutnya, klarifikasi harus dilakukan oleh siapapun untuk mengambil keputusan secara adil dalam suatu masalah.
Ishomuddin berpendapat bahwa seseorang tidak sepatutnya melihat perkara hanya berdasar dugaan semata. Sebaliknya, harus dilakukan klarifikasi untuk mendapat keterangan lengkap seputar masalah yang terjadi.
Jawaban Ishomudin itu disampaikan saat tim penasihat hukum Ahok menanyakan tentang perlunya tabayyun, dalam persidangan penodaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta pada Selasa (21/3/2017).
“Kalau seseorang tidak melakukan tabayyun kepada orangnya atau kepada lokasi di tempat perbuatannya kepada orang lain, maka kemungkinan untuk merugikan orang lain atau untuk kezoliman itu lebih dekat kepadanya daripada rasa keadilan. Oleh karena itu tabayyun mutlak perlu dilakukan dalam setiap pengambilan keputusan,” tegas Ishomuddin.
“Tanpa tabayyun tidak mungkin seseorang menghukum seseorang dengan adil,” kata Ishomuddin lagi.
Humphrey Djemat selaku ketua tim penasihat hukum Ahok kembali meminta penjelasan lebih lanjut dari Ishmuddin terkait tabbayun itu. Humphrey berkali-kali memastikan jawaban Ishomuddin dan kali ini ia menanyakan seputar aturan hukum yang diatur dalam agama Islam.
“Apa dalam Islam juga menganut prinsip praduga tak bersalah?” tanya Humphrey.
Ishomuddin menjawab, pada dasarnya manusia hanya bisa disebut salah apabila mereka sudah benar-benar terbukti melakukan kesalahan. Bagi mereka yang belum diberi tabayyun atau terbukti bersalah, maka sepatutnya mereka tidak dihakimi secara pribadi.
“Seseorang yang terbukti tidak bersalah tidak diperkenankan menerima hukuman. Dan orang yang tidak bisa dibuktikan kesalahannya wajib untuk dibebaskan,” jelas Ishomuddin.
Humphrey kembali mencecar dengan meminta pandangan Ishomuddin sebagai ahli agama terkait dengan keputusan buru-buru yang diambil oleh desakan massa.
Menjawab pertanyaan Humphrey ini, Ishomuddin beranggapan bahwa pertanyaan ini mengarah kepada seorang hakim. Ia kemudian memaparkan bahwa sebaiknya hakim memiliki jiwa yang teguh, prinsip yang kuat, dan kemandirian untuk mengambil keputusan hukum berdasarkan pertimbangan hukum yang seadil-adilnya, bukan karena amarah.
“Seseorang yang adil tidak akan mengambil keputusan saat dia marah atau dipengaruhi orang lain,” terang dosen Fakultas Syariah IAIN Lampung ini.
“Orang yang sudah minta maaf dan sudah dimaafkan itu tidak boleh dihukum,” tegas Ishomuddin lagi.
Menanggapi pernyataan ini, Humphrey tiba-tiba membelokkan pembicaraan ke arah pemilihan gubernur di Indonesia.
“Apakah dengan demikian non-muslim bisa menjadi Gubernur di Indonesia?” tanya Humphrey.
“Bisa. Asal menang,” jawab Ishomuddin singkat.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Agung DH