tirto.id - Kepedulian masyarakat yang sangat rendah terhadap uang koin atau logam cukup menyedihkan. Selain di perkotaan, uang koin tak lagi dihargai di daerah perbatasan atau kawasan terpencil di Indonesia.
Kenyataan ini memang berbalik 180 derajat dengan amanat Undang-undang (UU) No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pada pasal 21 disebutkan, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran. Sementara pada pasal 23, mengatur bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah.
“Di Talaud uang logam sudah tidak berlaku lagi sejak lama, sehingga yang digunakan hanya uang kertas saja. Dengan demikian mereka lebih senang bertransaksi menggunakan uang kertas dari pada logam,” kata seorang mahasiswi Ekonomi Universitas Negeri Manado (Unima) Anita Apena dikutip dari Antara.
Hanya orang-orang tertentu saja yang sadar soal pentingnya uang koin. Sosok Setiadi, warga Depok Jawa Barat beberapa waktu lalu sempat jadi buah bibir. Ia membeli motor Honda CBR150R seharga Rp33,425 juta dengan pecahan koin Rp1.000. Uang itu dikumpulkan dalam sebuah ember bekas cat berkapasitas 25 kg dan satu dus berisi 14 plastik pecahan Rp1.000 selama 5 tahun lamanya. Sebuah sikap yang luar biasa.
Sayangnya tak semua orang bisa sesabar Setiadi untuk menabung dengan uang koin. Hal ini mungkin menginspirasi BI untuk menerapkan mesin deposito uang koin di perbankan untuk melayani masyarakat yang ingin menabung dengan uang koin. Alasannya, uang koin susah kembali lagi ke bank dan kebanyakan disimpan dan tidak teredarkan lagi terabaikan jadi kerokan atau terselip di laci.
"Nanti mesinnya kaya ATM tapi ini untuk koin dan mesin itu bisa memilah mana yang seribu dan seratus, jadi masyarakat lebih mudah lagi," kata Deputi Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI, Asral Mashuri dikutip dari Antara.
Rencana ini sangat wajar, Data BI mencatat hingga kini ada beberapa jenis uang koin yang masih berlaku sebagai alat transaksi tunai. Uang koin pecahan Rp1 tahun emisi 1970, pecahan Rp50 tahun emisi 1999, pecahan Rp100 tahun emisi 1999, pecahan Rp200 tahun emisi 2003, pecahan Rp500 tahun emisi 1997, pecahan Rp500 tahun emisi 2003, pecahan Rp1.000 tahun emisi 1993, dan Rp1.000 tahun emisi 2010. Tercatat, BI terakhir kali melakukan penarikan uang koin pada 31 Agustus 2010 untuk pecahan Rp25 tahun emisi 1991.
Bagi masyarakat yang masih menyimpan koin yang berlaku di rumahnya, masih bisa ditukarkan ke BI. BI membuka kesempatan pada masyarakat untuk menukarkan uang Rupiah dari pecahan besar ke kecil atau sebaliknya dari pecahan kecil ke pecahan besar di bank umum yang melayani penukaran uang, di Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPw-DN) BI atau saat kegiatan kas keliling BI.
Sayangnya, layanan ini masih punya keterbatasan lokasi dan waktunya. Layanan di Kpw-DN BI dibuka pada hari-hari tertentu mulai dari pukul 09.00 sampai pukul 11.30 waktu setempat. Sehingga gagasan sebuah mesin “ATM” untuk deposito uang receh sebuah aksi nyata. Ini karena selama ini layanan penukaran uang receh belum efektif, dapat dibuktikan tingkat perputaran uang koin yang rendah.
Butuh Aksi Nyata
Bank Indonesia (BI) mencatat pada 2010 peredaran uang koin di seluruh Indonesia mencapai Rp3,2 triliun. Jumlah fisiknya atau kepingannya mencapai 60 persen atau 15,5 miliar keping dari total jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat. Jumlah terbanyak adalah pecahan Rp100 sebanyak 6,7 miliar keping.
Artinya secara volume, jumlah pecahan koin yang beredar lebih banyak daripada lembaran-lembaran uang kertas yang ada di masyarakat. Jumlah uang kertas yang beredar sampai Juni 2010 nilai nominalnya mencapai Rp265,9 triliun setara dengan 9,8 miliar lembar.
BI terus melakukan penambahan peredaran uang koin karena tuntutan kebutuhan. Sejak 10 tahun terakhir hingga 25 Juni 2016 jumlah uang koin yang beredar mencapai Rp6 triliun, yang artinya kebutuhan terhadap koin terus tumbuh. Peredaran nilai uang koin memang jumlahnya tak seberapa dari total uang yang beredar di masyarakat. Total uang yang beredar hingga April 2016 yang mencapai Rp435,32 triliun--di luar bank umum dan BPR.
Sayangnya tingkat pengembalian uang koin ke BI hanya 16 persen atau setara Rp900 miliar dalam 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan budaya masyarakat yang masih menganggap uang koin bukan sebagai alat transaksi. Kondisi tersebut menyebabkan sirkulasi peredaran uang rupiah khususnya uang koin di masyarakat tersendat.
“Jika dibagi dengan keseluruhan penduduk, artinya setiap penduduk menyimpan 77 keping uang koin, “ kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas dikutip dari Antara.
Kondisi ini mendorong BI sempat melakukan kampanye atau gerakan peduli koin. Misalnya “Gerakan Peduli Koin” pada 25-26 Juni 2016, di Lapangan Lenggang IRTI Monas, Jakarta. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penggunaan uang koin sebagai alat pembayaran yang sah, meningkatkan efektivitas uang koin, dan menyediakan fasilitas kepada masyarakat yang akan melakukan penukaran uang koin.
BI mengajak 13 bank untuk ikut serta Gerakan Peduli Koin. Kegiatan serupa sebelumnya telah dilaksanakan di beberapa daerah di seluruh Indonesia. Pada era Gubernur BI Darmin Nasution gerakan serupa sudah pernah bergulir. Pada waktu itu Menteri Perdagangan yang masih dijabat Mari Elka Pangestu menggandeng BI dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melakukan Gerakan Peduli Koin Nasional pada 31 Juli 2010. Waktu itu targetnya agar menghindari transaksi ritel dengan pengembalian dalam bentuk bukan uang, akibat sulitnya mencari uang receh.
Masyarakat memang selama ini tak punya wadah untuk menyalurkan atau menghargai hingga mengumpulkan uang koin mereka, selain menukarnya ke BI. Sosok Setiadi dari Depok, Jawa Barat bisa dihitung dengan jari menciptakan “mesin deposito” dari kaleng cat untuk uang recehnya. Langkah BI menciptakan deposito untuk uang receh sebuh langkah konkret tak hanya sebatas gerakan. Publik hanya menanti janji BI untuk segera merealisasikan janji dari mereka yang di atas.
"Sesegera mungkin mesin ini bisa didatangkan dan digunakan oleh masyarakat," janji Asral.
Kita tunggu janji BI.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti