tirto.id - Tita merasakan sensasi aneh selama karantina yang sudah berlangsung satu bulan: lebih gampang uring-uringan. Suaminya juga demikian. Gara-gara itu keduanya sering bertengkar.
“Jadi pas itu aku lagi buka laptop. Kebetulan udah stand by kerjaan dari jam 6 pagi sampai setengah 10 malem. Aku capek kerja, banyak revisi,” cerita Tita, lewat percakapan WhatsApp, Selasa (7/4/2020).
“Lalu di jam sibuk setelah makan siang, suamiku ajak ngobrol, aku cuma nanggepin ‘oh gitu’ sambil tetap laptopan. Dia bilang, ‘Kamu bisa fokus gak sih? Apa aku harus ngulang berkali-kali biar kamu denger??’ Gitu.”
Di lain waktu pemicunya memindahkan meja lipat yang biasa dipakai untuk makan. Di hari berikutnya isunya sudah beda lagi. Begitu seterusnya. Benang merahnya adalah hal-hal sepele yang, menurut Tita, tidak mencuat di hari-hari biasa.
Tita tidak sendirian. Banyak pasangan yang mengalami hal semacam itu sejak pandemi corona memaksa orang-orang menjalani karantina diri (self-quarantine).
Bayangkan: seharian mengurung diri di ruangan sempit, tetap melakukan pekerjaan kantor dan domestik sementara aktivitas di kala senggang amat terbatas, serta tidur dan bangun bersama orang yang itu-itu saja.
“Enggak ada ruang buat sendiri gitu. Waktu kerja dan buat keluarga jadi enggak begitu kentara bedanya. Ibarat badanku di rumah, tapi pikiranku di tempat lain,” imbuh Tita.
Masalah utama pandemi corona, terutama di Indonesia, ialah tidak ada kepastian kapan wabah akan berakhir. Kondisi ini amat mungkin menjadi beban pikiran lain yang membuat karantina bersama pasangan semakin terasa menyiksa.
Cabin Fever
Dunia sains menyebut pengalaman Tita sebagai cabin fever. Gejalanya mulai dari stres, kelelahan, gampang tersulut emosi, hingga insomnia yang berdampak pada kacaunya jadwal tidur.
Para psikolog merumuskan tanda-tanda lain seperti meningkatnya rasa tidak percaya kepada orang-orang yang satu ruangan dan tendensi untuk melakukan hal-hal irasional. Ada yang berpendapat di masa karantina orang cenderung menampakkan sifat aslinya. Jika yang dipendam adalah tipe karakter yang destruktif, maka setiap pasangan mesti lebih waspada.
Tensi serta kasusnya bisa berbeda di tiap negara. Ada yang berakhir sebagai pertengkaran kecil. Ada juga yang menjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau bahkan perceraian.
Time melaporkan National Domestic Violence Hotline menerima lonjakan panggilan pertolongan. Korban melaporkan pasangan mereka, yang pernah melakukan KDRT, menjadikan karantina sebagai dalih untuk makin mengisolasi korban dari keluarga dan teman. Ray Jones, CEO National Domestic Violence Hotline, menjelaskan bagaimana KDRT sebenarnya berakar dari kekuatan dan kendali (power and control).
“Saat ini, kita semua merasa tidak memiliki kendali atas hidup kita, dan seorang individu yang tidak mampu mengontrolnya akan melampiaskannya kepada orang terdekat,” tutur Jones.
Sementara itu tren perceraian naik di Cina dalam beberapa bulan terakhir. Misalnya di ibu kota Provinsi Shaanxi, Xi’an. Di kota itu lebih dari sepuluh juta warga dikarantina. Otoritas setempat menyebut salah satu penyebab naiknya perceraian adalah karantina.
Bloomberg melaporkan kondisi serupa terjadi di Dazhou, Provinsi Sichuan. Angka perceraian meroket pada awal Maret. Di Miluo, Provinsi Hunan, petugas badan urusan perceraian bahkan sampai “tidak punya cukup waktu untuk sekedar minum air” karena saking banyaknya pasangan mengantre untuk mengurus berkas perceraian.
“Masalah sepele dalam hidup menyebabkan eskalasi konflik, dan komunikasi yang buruk telah menyebabkan orang-orang kecewa dalam pernikahan, dan memutuskan untuk bercerai,” ujar salah satu petugas.
Ada pendapat menarik dari Laura Wasser, pengacara perceraian asal Los Angeles yang menjadi inspirasi karakter Laura Derns di film Marriage Story.
“Pengalaman karantina, terutama dalam rumah tangga yang didasari kebencian terselubung serta komunikasi yang buruk, bisa menghancurkan hubungan perkawinan,” katanya kepada New Yorker.
Dengan demikian gejala cabin fever masing-masing pasangan berbeda-beda sesuai dengan kondisi hubungan. Meski demikian, hubungan yang terlihat baik-baik pun tidak benar-benar aman dari potensi konflik.
Agar Rumah Tangga Baik-Baik Saja
Lalu bagaimana cara menghadapi karantina tanpa meniru akhiran film horor The Shining (1980) kala Jack Nicholson hilang akal lalu memburu anak dan istrinya?
Terapis Dr. Orna Guralnik memandang karantina bisa menjadi semacam tes bagi tiap pasangan yang melakukannya. Kepada Emily Todd VanDerWerf dari Vox, ia menjabarkan sejumlah solusi.
Pertama, menyadari sumber kemarahan kerap berasal dari dilema pribadi yang ditumpahkan ke pasangan. Semakin kuat emosinya, semakin mungkin seseorang menyeret isu kecil menjadi besar.
Apakah kemarahan A betul-betul hanya karena tiap sore mendapat giliran mencuci piring? Atau sebenarnya ia memendam masalah teknis dalam pekerjaan yang menumpuk sejak awal masa karantina?
Usai menyadari dilema tersebut, seseorang diharapkan bisa mengontrol emosinya dengan lebih baik. Jika tidak bisa sendirian, alih-alih memproyeksikannya ke orang lain, ia bisa mengajak pasangan untuk membicarakannya, mencari pangkal permasalahannya, sekaligus menemukan solusinya.
“Mayoritas pertengkaran dalam rumah tangga adalah tentang bagaimana kita sering kali menginterpersonalkan dilema yang kita alami sendiri,” jelas Guralnik.
Kedua, membuat jadwal yang jelas untuk aktivitas harian. Baik menyangkut kerja, kegiatan domestik, waktu istirahat, maupun waktu senggang untuk menyegarkan pikiran. Guralnik menyebutnya “struktur”. Struktur itu mesti dijalankan secara disiplin agar 24 jam tidak disia-siakan oleh satu-dua aktivitas saja.
Pertanyaannya: seberapa kuat pasangan beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang mau tidak mau harus dijalankan?
Misalnya, agenda olahraga bersama di luar ruangan. Idealnya, aktivitas yang sama bisa dilakukan selama karantina, meski dengan olahraga yang bisa dilakukan di ruangan.
Yang tidak kalah penting adalah jadwal kapan bersama dan kapan me-time. Karantina membuat pasangan seperti kehilangan privasi dan kondisi tersebut kerap menyulut pertengkaran. Mengupayakan me-time juga tidak harus dalam ruangan yang berbeda. Me-time bisa berupa mengerjakan aktivitas senggang sendiri-sendiri, tanpa interupsi, meski di ruangan yang sama.
Ketiga, masih berkaitan dengan privasi, adalah menghargai keunikan masing-masing. Jadi jangan heran jika pasangan Anda menyelesaikan pekerjannya dengan cara yang mungkin tidak lazim.
“Kita adalah orang yang berbeda dengan kebutuhan yang tidak seragam, maka penting untuk dapat melakukan berbagai hal secara berbeda,” kata Guralnik.
Rumus yang sama juga berlaku di luar pekerjaan. Di masa senggang, biarkan pasangan menghidupi hobi lamanya. Atau bahkan hobi baru demi mengusir nama kebosanan yang ubun-ubun kepala.
Tiba-tiba ingin main TikTok? Oke. Mencoba yoga dan meditasi? Bagus. Memasak menu baru yang selama ini tidak berani diolah? Kenapa tidak?
“Jika Anda ingin bergabung, bagus. Jika tidak, itu juga tidak apa-apa. Kita membutuhkan batasan di masa-masa ambigu yang tidak tahu kapan berakhirnya ini. Segala jenis diferensiasi, batasan, perbedaan, benar-benar baik bagi kita saat ini,” lanjut Guralnik.
Kabar baiknya? Karantina tidak sepenuhnya berdampak negatif.
Masa-masa ini juga bisa menjadi momen yang tepat untuk meningkatkan kemesraan bersama pasangan. Apalagi untuk yang biasa tenggelam oleh pekerjaan di kantor dan hanya bertemu sebentar saat masing-masing sudah kelelahan. Sekarang adalah saat yang tepat untuk melunasi itu semua.
Editor: Ivan Aulia Ahsan