tirto.id - Situasi di Manokwari, Papua Barat nampak berbeda pada Senin (19/8/2019) pagi. Ribuan massa dari berbagai elemen turun ke jalan. Mereka tak terima atas perbuatan semena-mena yang terjadi pada sekelompok mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
“Akibat dari kata-kata rasial yang dilontarkan ormas dan oknum aparat keamanan itu,” ujar Ketua Dewan Adat Wilayah III Doberay Papua Barat, Mananwir Paul Finsen Mayor kepada reporter Tirto, Senin kemarin.
Kekecewaan warga, menyebabkan massa yang kecewa mengekspresikannya dengan membakar gedung DPRD Provinsi Papua Barat, Kantor Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat, dan beberapa kantor dinas. Serta merusak kantor KPUD dan Bawaslu.
Tidak hanya berhenti di sana, kerusuhan juga merembet ke Kota Sorong, Papua Barat. Kerusuhan juga menjalar keluar daerah, seperti Makassar, Sulawesi Selatan.
Kericuhan yang terjadi di Makassar malah melibatkan warga lokal versus masyarakat Papua yang menghuni asrama di Jalan Lanto Daeng Pasewang, Kecamatan Makassar, Kota Makassar. Bentrokan pecah pada malam hari, kedua kubu saling lempar batu sebelum akhirnya di lerai kepolisian setempat.
Konflik Horizontal Harus Dicegah
Peneliti senior Human Rights Watch (HRW) di Indonesia, Andreas Harsono menilai pemerintah harus turun tangan menyelesaikan persoalan rasialisme yang acap kali tersasar pada masyarakat Papua dan diidap oleh masyarakat di luar Pulau Cendrawasih.
“Presiden Jokowi dan kepala-kepala daerah tersebut harus mendidik soal rasialisme bahwa menyebut orang hitam sebagai 'monyet' adalah tidak baik, tidak menghormati orang dengan kulit hitam,” kata Andreas saat dihubungi reporter Tirto.
Andreas juga menilai bahwa pemerintah perlu segera duduk satu meja dan berunding dengan Organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menyelesaikan persoalan yang sarat muatan politis tersebut.
Lebih lanjut, kata Andreas, persoalan yang mendasar terjadi di Papua ialah rasialisme. Hal ini kemudian menyebabkan pemiskinan terhadap para etnik Papua itu sendiri. Ia sesali lantaran hal tersebut diakui dalam sidang umum PBB.
"Pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembatasan jurnalisme yang independen sejak 1963, maupun perubahan demografi secara drastis, pendatang tumbuh 10.8 persen per tahun, penduduk asli hanya 1,8 persen, antara 1971 dan 2000; pengrusakan lingkungan besar-besaran buat tambang dan perkebunan sawit serta manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969," ujarnya.
Berkelindan dengan itu, kata Andreas, pemerintah dituntut harus menyelesaikan akar utamanya yakni rasialisme, agar konflik yang terjadi saat ini tak bergeser ke arah konflik horizontal berbasis SARA.
Menurut Andreas, pemerintah mesti mengerahkan kekuatannya dalam menindak para pelaku rasisme secara profesional. Dalam hal ini, kata dia, hukum harus ditegakan dengan adil.
“Siapapun yang lakukan kekerasan harus ditindak, diperiksa dan diadili bila diduga salah,” kata Andreas.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengatakan harus ada upaya yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo untuk menangkal dampak konflik horizontal berbasis SARA dari insiden yang terjadi pada masyarakat Papua belakangan ini.
"Bukan hanya sekadar menyerukan untuk saling memaafkan. Seruan itu sangat tidak cukup, tidak menjawab akar masalah dan penyelesaian ke depan,” kata Yati kepada reporter Tirto, Selasa (20/8/2019).
Imbauan Presiden agar masyarakat bisa saling memaafkan, menurut Yati, tidak menjamin perlindungan hak-hak masyarakat Papua di manapun mereka berada.
Kendati Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah menyampaikan permohonan maafnya atas insiden rasialisme yang mendera mahasiswa Papua di wilayah itu, tapi Yati menilai hal itu belum cukup. Namun, kata dia, tindakan Khofifah dan Risma setidaknya dapat meredakan suhu panas konflik ini.
“Namun belum menjamin bagaimana perlindungan dan jaminanan hak-hak sipil politik, termasuk hak untuk berkumpul, berpendapat, berekspresi mahasiswa Papua di Surabaya akan dijamin,” kata Yati.
Yati menambahkan “bagaimana menjamin agar tidak ada persekusi dan tindakan rasial kembali terhadap masyarakat papua di Surabaya dan kota-kota lainnya.”
Oleh sebab itu, kata Yati, Presiden Jokowi harus turun tangan langsung untuk tidak mentolerir perbuatan rasisme kepada masyarakat Papua. Serta negara harus melindungi setiap warga Papua yang mengekspresikan aspirasi politiknya dengan damai di manapun mereka berada.
Yati mengatakan, tidak boleh juga ada pembiaran terhadap pihak yang bersikap rasial kepada masyarakat Papua.
“Penegak hukum tidak boleh melakukan pembiaran dan harus melakukan tindakan tegas berdasarkan hukum segala bentuk diskriminasi, tindakan rasis, dan ancaman kekerasan kepada Masyarakat Papua, baik oleh ormas reaksioner maupun anggota masyarakat,” kata dia.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Wahid menyatakan, mengecam keras tindakan pengepungan, intimidasi, dan kekerasan terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang.
Ia pun meminta aparat untuk melindungi warga dari kekerasan berbasis kesukuan, warna kulit, dan agama.
Selain itu, kata Alissa, Gusdurian meminta aparat untuk bisa menghentikan segala bentuk tindakan persekusi yang bertentangan dengan hukum dan HAM, serta menegakkan hukum bagi yang melangar termasuk mereka yang melakukan ujaran kebencian.
“Menyerukan kepada aparat pemerintah maupun keamanan untuk tidak menggunakan cara-cara adu domba dalam menyelesaikan permasalahan dengan warga Papua,” kata Alissa dalam rilis yang diterima Tirto.
Ia menambahkan, Gusduran juga “menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk menahan diri dan tidak terpancing sertaikut aktif menciptakan kedamaian.”
Pemerintah Janji Usut Tuntas
Terkait ini, Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat untuk saling memaafkan. Sebab, kata Jokowi, masyarakat yang terlibat konflik adalah saudara sebangsa dan se-tanah air.
“Emosi itu boleh, tetapi, memaafkan itu lebih baik,” kata Jokowi terkait ricuh yang terjadi di Papua, Senin malam seperti dikutip Antara.
Jokowi mengatakan, sabar itu juga lebih baik. Karena itu, ia meminta masyarakat yakin bahwa pemerintah akan terus menjaga kehormatan dan kesejahteraan pace, mace, mama-mama yang ada di Papua dan Papua Barat.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto juga berjanji pemerintah akan “mengusut tuntas dan adil kepada siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum” kerusuhan di Manokwari, Papua.
Pernyataan itu diungkapkan Wiranto di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (19/8/2019). Salah satu yang akan diusut adalah kekerasan terhadap mahasiswa Papua saat asrama mereka yang terletak di Jalan Kalasan Surabaya dikepung aparat dan massa, Jumat (16/8/2019) lalu.
Saat itu para pengepung bertindak rasis. Salah satu dari mereka menghardik dengan makian binatang.
Polisi bahkan memaksa masuk asrama dengan senjata lengkap plus gas air mata. Tindakan rasis ini yang lantas memicu kerusuhan di Manokwari dan demonstrasi di beberapa wilayah lain di Papua.
Selain itu, kata Wiranto, yang juga akan diusut adalah pemicu pengepungan, yaitu perusakan bendera merah putih yang ada di depan asrama. Ormas dan TNI menuduh para mahasiswa pelakunya, meski kemudian tak ada satu pun dari mereka yang dijadikan tersangka oleh polisi.
Sampai saat ini pun tak jelas siapa sesungguhnya yang merusak bendera. Pengusutan, kata Wiranto, juga terhadap "pihak yang memanfaatkan insiden ini untuk kepentingan negatif.”
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz