tirto.id - Sebetulnya, Adolf Gustaaf Lembong merasa sudah memberikan kesetiaannya kepada Kerajaan Belanda. Bahkan ketika Hindia Belanda sudah runtuh dan Jepang berkuasa di Indonesia.
Pada masa itu, meski sudah dijadikan Heiho (pembantu tentara Jepang) di front Pasifik, Lembong dan kawan-kawan Manadonya kabur lalu bergerilya bersama orang-orang Filipina dan Amerika di Pangasinan, Filipina. Di sana Lembong dan kawan-kawan pernah menyerang para serdadu Jepang. Itulah kisah desersi pertama Lembong.
Kisah desersi dan gerilyanya di Filipina itu layaknya sebuah cerita film. Filipina adalah kisah jaya Lembong di front Pasifik. Dia sama legendarisnya dengan Hendrik Pomantow.
Sebelum jadi Heiho, Lembong adalah satu dari ribuan militer KNIL berkebangsaan Indonesia yang dijadikan tawanan di Jawa Barat. Di Heiho, selain dapat duit, dia tidak akan jadi sasaran pengawasan militer Jepang yang tidak menyukai dan sering curiga kepada orang Manado-Kristen. Di mata Jepang, mereka dianggap "anjing Belanda". Tapi tak bisa dipungkiri bahwa ada banyak orang Manado-Kristen macam Sam Ratulangi atau Thomas Najoan yang anti-Belanda dan terlibat aktif dalam pergerakan nasional.
“Aku bangga mengatakan disini kami serdadu Manado KNIL, serdadu dengan hati dan jiwa menunjukkan patriotisme mereka kepada 'merah putih biru' dengan 'keringat-tangis dan darah',” aku Lembong dalam laporannya yang dikumpulkan NEFIS, Laporan kegiatan gerilya Adolf Lembong (Letnan Satu LGAF USAFFE) Agustus 1943 hingga April 1945.
Tapi itu ditulisnya waktu Republik Indonesia belum ada. Lembong seperti kebanyakan orang Indonesia yang pikirannya masih terjajah oleh kolonialisme Belanda dan keindonesiaannya belum terbentuk.
Dari Petugas Radio hingga Desersi
Lembong bukan perwira KNIL sebelum 1942, dia hanya petugas radio. Tapi pada 1945, KNIL Belanda harus mengakuinya sebagai letnan satu lantaran dia pernah bergerilya di Filipina selama dua tahun.
Setelah diaktifkan kembali di KNIL, seharusnya Adolf Lembong bisa hidup enak dengan gaji seorang letnan di masa sulitnya ekonomi setelah Perang Dunia II berakhir. Toh, Repulik Indonesia yang baru berdiri pada 1945 nyatanya tidak punya tentara tangguh karena kekurangan segala-galanya, mulai dari kemampuan rata-rata personel hingga senjata. Bisa dibilang Republik Indonesia suram di awal kelahirannya.
Sementara KNIL makin kuat setelah 1946. Serdadu-serdadunya bukan sukarela seperti kubu sebelah yang tidak dapat gaji di masa Revolusi, serdadu KNIL dapat gaji dan jatah bir. Padahal banyak orang Indonesia kekurangan makan dan pakaian di zaman itu.
Jika Lembong ikut Republik, hidupnya tidak akan senyaman bersama KNIL. Namun di tahun 1947, Lembong mulai berubah pikiran. Jiwanya bukan lagi Merah-Putih-Buru seperti di Filipina dulu. Semua telah berubah. Kini yang ada di pikirannya adalah bergabung dengan pejuang Merah-Putih yang sebangsa dengannya. Banyak kawan-kawan Manadonya, terutama di organisasi Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), yang sudah ikut Republik.
Sementara itu, pada Juli 1947, Jenderal Simon Hendrik Spoor dan balatentaranya melancarkan Operasi Produk dengan tujuan menyikat daerah-daerah Republik yang menghasilkan duit, yakni wilayah perkebunan di Jawa Barat. Negara kolonialis macam Belanda tentu saja menjadikan skema balik modal sebagai prinsip utama. Dengan disikatnya kota-kota bernilai ekonomis itu, setidaknya tentara Republik juga kena gebuk dan makin terjepit. Operasi inilah yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I.
Rupanya di masa tergebuknya Republik itu, Adolf Lembong, laki-laki asal desa Ongkaw, Minahasa, malah begitu menggebu-gebu bergabung dengan Republik Indonesia yang kala itu beribukota di Yogyakarta.
“Ia lari dari KNIL, masuk laskar kita,” aku Ventje Sumual dalam autobiografinya yang disusun Bert Supit dan B.E. Matindas, Ventje Sumual, Pemimpin yang Menatap Hanya ke Depan (1998: 65).
Dengan mudah Lembong diterima sebagai perwira militer Republik yang sedang membutuhkan perwira berpengalaman. KRIS sebagai perkumpulan orang Minahasa di Jawa tentu rela menampungnya. Rekomendasi dari Sam Ratulangi membantunya bergabung dalam ketentaraan Republik.
Gagal Mengulang Romantisme Gerilya
Lembong yang diberi pangkat letnan kolonel dalam ketentaraan Indonesia pernah menjadi komandan brigade sebentar. Tapi tak semua perwira TNI suka pada Lembong. Setelah tak jadi komandan brigade, Lembong pun diparkir di Kementerian Pertahanan. Lalu ada upaya menjadikan Lembong sebagai atase militer di Filipina.
Waktu kabur dari Filipina dulu, Lembong tidak sendiri rupanya, tapi bersama Asuncion Angel—perempuan Filipina yang dinikahinya waktu bergerilya melawan Jepang—yang disapa Cion dan Adolf Lembong Junior. Seorang wartawan Filipina yang kebetulan berada di Yogyakarta kemudian bertemu dengannya.
“Sekarang, Adolf Lembong, salah satu Letnan gerilya Filipina, memegang komando sebuah Brigade Tentara Indonesia,” tulis Arsenio Lacson dalam Inside Indonesia: Ninth of series yang dimuat Manila Times (15/11/1948).
Kata Lacson, karier Lembong di TNI, “menanjak dari Kapten ke Mayor lalu ke Letnan Kolonel. Seperti Tentara Republik Indonesia yang lain, satuan-satuan seperti brigade berisikan anak-anak muda, veteran yang teruji dalam pertempuran sulit, ahli teknik peperangan gerilya.”
Soal perang gerilya, Adolf Lembong jelas lebih teruji daripada Panglima Besar TNI, Jenderal Sudirman.
Lembong seperti kebanyakan perwira lain: mereka akan diserang tentara Belanda. Kepada Lacson, Lembong mengaku bermacam-macam senjata dari berbagai jenis, yang kebanyakan hasil rampasan, tidak cukup memadai. Namun Lembong tidak menyesali keputusannya.
“Kami hanya tentara miskin. Tetapi jika Belanda menyerang kami, kami akan bertempur. Kami akan memecah dalam kelompok kecil. Tak ada komunikasi teratur, melakukan sabotase dan taktik bumi hangus. Kami akan membuat mereka merasakan apa yang Bala Tentara Jepang rasakan di Filipina,” kata Lembong seperti dikutip Arsenio.
Tidak hanya Lembong yang bersemangat, tapi juga Cion. Ketika ditanya Lacson apa yang ingin dilakukan Cion jika tentara Belanda menyerang, Cion mengatakan: “Aku akan bersama suamiku ketika perang tiba, jika perlu aku harus jadi gerilyawan lagi.”
Mereka berdua seolah-olah hendak mengulang romantisme perjuangan di Filipina dulu.
Apa yang dimaui Lembong dan Cion tak terlaksana. Setelah Belanda menyerbu ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Lembong malah jadi tawanan perang. Lembong baru bebas setelah Perjanjian Roem-Royen disepakati pada 1949.
Dia pun kembali menjadi letnan kolonel TNI meski lagi-lagi hanya untuk waktu yang sangat singkat. Sebab ketika dikirim ke Bandung, Lembong menjadi sasaran amuk serdadu-serdadu KNIL yang terlibat aksi Westerling—dikenal sebagai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)—di depan gedung yang kini jadi Museum Mandala Wangsit. Tak heran jika di areal museum itu ada patung Adolf Lembong. Jalan di depan museum itu pun dinamai Jalan Lembong.
Editor: Ivan Aulia Ahsan