Menuju konten utama

Adipura atau Adipura-pura?

Berbagai gugatan dilayangkan terhadap keabsahan penghargaan Adipura. Penghargaan ini seakan kehilangan fungsi substantifnya sebagai penanda komitmen sebuah kota terhadap kebersihan lingkungan. Sementara itu, Adipura telah menjelma sebagai simbol normatif yang terkesan dapat diobral.

Adipura atau Adipura-pura?
Seorang seniman berpakaian ala tokoh Minak Djinggo membawa piala Adipura di Pendopo Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (25/7). Pawai tersebut untuk mengkampanyekan Banyuwangi bersih setelah sebelumnya berhasil menerima penghargaan piala Adipura Buana selama empat tahun berturut-turut. [antara foto/ budi candra setya/pd/16]

tirto.id - Penghargaan Adipura 2016 baru saja dibagikan kepada 143 kota dan kabupaten se-Indonesia pada 22 Juli 2016 lalu, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Untuk pertama kalinya, pembagian Adipura ini diselenggarakan di luar Ibu Kota. Kabupaten Siak di provinsi Riau terpilih sebagai tuan rumah seremoni ini.

Pemilihan Siak bukannya tanpa alasan. Pemerintah daerah Siak selama ini dianggap telah berusaha keras untuk menuntaskan masalah-masalah lingkungan hidup. Kota Siak pun tak luput diganjar penghargaan Adipura Buana untuk kategori kota layak huni.

Di sisi lain, pemilihan Siak juga menimbulkan pertanyaan besar. Mongabay edisi Juli 2016 melansir artikel yang menyatakan bahwa daerah ini menjadi salah satu episentrum dari kebakaran hutan dan bencana asap yang baru-baru ini menimbulkan kondisi darurat di Indonesia. Kabut asap yang muncul dari Riau bahkan menyebar hingga negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Bencana kabut asap di Siak terjadi akibat maraknya pembakaran lahan untuk perluasan perkebunan sawit, kayu, dan kertas. Ironisnya, Siak adalah satu-satunya kabupaten/kotamadya yang memperoleh Adipura di seantero provinsi Riau.

Cerita berbeda datang dari kota Pagaralam, Sumatera Selatan dan kota Malang, Jawa Timur. Pagaralam mendadak terkenal di media sosial seusai memperoleh piala Adipura Buana. Lucunya, yang menjadi pemantik ketenaran Pagaralam bukanlah Adipura itu sendiri, melainkan suasana arak-arakan piala Adipura yang tampak melintasi tumpukan sampah di salah satu pinggiran kota.

Kondisi ini sontak memicu berbagai pertanyaan di media sosial terhadap keabsahan Adipura yang diperoleh Pagaralam. Netizen bahkan menuduh ada kongkalikong tertentu sehingga Pagaralam bisa memenangkan Adipura. Tudingan ini tentu saja langsung dibantah oleh wali kota Pagaralam, Ida Fitriati. “Piala ini merupakan hasil kerja keras kita, bukan karena hasil lobi-lobi. Yang disebutkan di media sosial tersebut tidaklah benar," dalihnya seperti dikutip dari Liputan 6 edisi Juli 2016.

Lain Pagaralam lain lagi dengan Malang. Pada 2014 lalu, penghargaan Adipura yang diperoleh kota ini bahkan digugat oleh Walhi Jawa Timur. Alasannya, pemerintah kota Malang cenderung bersikap parsial dalam menuntaskan permasalahan lingkungan dan alpa dalam melibatkan masyarakat.

Walhi Jawa Timur mencatat, pemerintah kota Malang telah membuat serangkaian kebijakan tidak berorientasikan lingkungan seperti mengubah Taman Kunir menjadi kantor kelurahan, hutan kota menjadi perumahan mewah, pembangunan kantor Samsat di Alun-alun Kota Malang, serta alih fungsi ruang terbuka hijau menjadi pusat perbelanjaan.

"Itu bukan Adipura, tapi adipura-pura. Masih banyak persoalan lingkungan di Malang yang tak terpantau," ujar Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur Purnawan Dwikora Negara kepada Tempo edisi Juni 2014.

Serba-serbi Adipura

Penghargaan Adipura mulai diberikan pada tahun 1986. Penghargaan ini secara rutin diberikan setiap tahun hingga dan sempat terhenti setelah berakhirnya Orde Baru pada 1998. Pada 2002, ajang Adipura secara resmi diluncurkan kembali dan digelar tanpa terputus hingga tahun ini.

Pelaksanaan Adipura secara legal dilandasi oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 37 Tahun 1995 tentang Pedoman Pelaksanaan Kebersihan Kota Dan Pemberian Penghargaan Adipura. Aturan ini selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011Tentang Pedoman Pelaksanaan Program Adipura. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK) merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas penilaian sekaligus penganugerahan Adipura.

Kemen LHK sempat membuat langkah yang patut dipuji dengan mempublikasikan skor sekaligus pemeringkatan dalam penghargaan Adipura 2013-2014. Data tersebut dapat dilihat dalam laman resmi mereka, http://www.menlh.go.id/. Sayangnya, data itu tidak disertai perincian terkait bagaimana skor itu bisa didapatkan. Selain itu, Kemen LHK juga tidak pernah mempublikasikan skor penilaian Adipura baik sebelum maupun sesudah 2013-2014.

Aspek terpenting dalam penilaian Adipura tentu saja mencakup kebersihan kota dan pengelolaan sampah. Belakangan, kriteria penilaian ini diperluas dengan mencakup tiga aspek: brown issue, green issue, dan white issue.

Brown issue mencakup aspek kebersihan dan pengelolaan sampah. Green issue terkait dengan pengaturan ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan kota, dan tata ruang kota. Sementara itu, White issue mencakup isu tata pemerintahan dari pemerintah daerah sekaligus partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup.

Beberapa penilaian adipura tahun 2016 difokuskan kepada 16 titik pantau, diantaranya yaitu perumahan, pasar, rumah sakit, perkantoran, taman kota, kereta api, bandara, pertokoan, pemilahan sampah, dan pengelolaan sampah.

Adipura terdiri dari beberapa kategori. Kategori utama Adipura meliputi Adipura Kencana, Adipura, dan Sertifikat Kota Bersih. Adipura Kencana diberikan kepada kota yang sebelumnya telah mendapatkan Piala Adipura, sekurang-kurangnya 4 kali selama 5 tahun terakhir dan memenuhi syarat kriteria penilaian. Adipura kepada kota yang dinilai berhasil dalam mengelola kebersihan kota. Kategori terakhir, Sertifikat Kota Bersih, diberikan kota yang dinilai cukup berhasil dalam mengelola kebersihan kota.

Kategorisasi Adipura belakangan semakin berkembang. Saat ini, kita mengenal adanya Adipura Buana, Adipura Kirana, dan Adipura Paripurna. Adipura Buana adalah penghargaan bagi kota/ibukota kabupaten yang layak huni (livable city). Adipura Kirana diberikan kepada Adipura Kirana adalah penghargaan Adipura yang diberikan kepada kota/ibukota kabupaten yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui trade, tourism, and investment berbasis pengelolaan lingkungan hidup (attractive city). Adipura Paripurna merupakan penghargaan tertinggi terhadap kota/ibukota kabupaten yang memberikan kinerja terbaik untuk kedua kategori Adipura di atas, yaitu Adipura Buana dan Adipura Kirana.

Adipura dan Politik

Puluhan siswa SMP 13 Makassar dan SMP 40 Makassar berjajar di sepanjang jalan A.P Petarani, kota Makassar, pada 24 November 2015. Mereka menggenggam bendera merah-putih. Tak berapa lama, beberapa dari mereka bertumbangan, pingsan. Mereka menderita kelelahan karena harus berdiri dipanggang terik matahari.

Para siswa SMP itu ternyata sedang menunggu arak-arakan Adipura yang berhasil disabet oleh kota mereka tercinta. Kehadiran mereka bukannya dengan suka rela. Dinas Pendidikan Kota Makassar-lah yang menginstruksikan para pelajar mulai tingkat SD, SMP, dan SMA untuk turun ke jalan menyambut piala Adipura untuk Makassar.

“Siswa wajib menyambut untuk menghargai perjuangan mendapatkan Piala Adipura,” ujar Kepala Sekolah SMP 13 Makassar Muhammad Arif kepada Tempo.

Peristiwa tersebut menunjukkan, Adipura masih merupakan instrumen simbol keberhasilan pembangunan yang cukup populer bagi pemerintah daerah. Kebersihan merupakan salah satu faktor yang paling bisa dilihat dan dirasakan oleh warga. Selain itu, secara eksternal, kebersihan dapat meningkatkan prestise suatu daerah di depan daerah lain. Termasuk di dalamnya sang kepala daerah.

Tokoh sekelas Wakil Presiden Jusuf Kalla pun turut mengamini hal tersebut. Ia berpendapat, Adipura merupakan bahan kampanye yang murah dan sulit dikritik. Adipura, menurutnya, dapat memperbesar popularitas calon petahana dalam menghadapi pilkada.

"Jadi, bagi bupati dan wali kota yang belum dapat, bersegeralah," imbaunya dalam Tempo edisi November 2015.

Pesan JK agaknya menancap pada kepala-kepala daerah di Indonesia. Beberapa kepala daerah tercatat melakukan pembenahan besar-besaran bagi kotanya demi memperoleh Adipura.

Ridwan Kamil contohnya. Wali kota Bandung ini menyatakan, dirinya sampai mengerahkan 6.000 petugas kebersihan yang terdiri dari 1.500 petugas kebersihan, 1.500 petugas gorong-gorong, dan 1.500 petugas ketertiban untuk mengangkat sampah di sungai dan petugas penyiram tanaman. Ia juga menyisihkan 40 persen dari sejumlah Rp200 miliar dana Program Inovasi Pemberdayaan Pembangunan Kewilayahan (PIPPK) untuk mengongkosi keberhasilan Bandung. Hasilnya, Bandung yang sempat dipenuhi oleh tumpukan sampah di berbagai penjuru kota, berhasil meraih Adipura pada 2015 dan 2016.

Keberhasilan meraih Adipura juga kerap dijadikan momentum untuk memanen sorotan media. Tidak heran, hadirnya trofi Adipura juga kerap dirayakan dengan cara-cara yang “unik”. Wali kota Semarang, Hendar Prihadi, memilih untuk menggotong salah seorang penyapu jalan. Wali kota Makassar, Mohamad Romdhan Pomanto, melakukan sujud syukur di tempat pembuangan akhir Tamangapa.

Penghargaan dan realita kadang tak sesuai. Inilah ironi Adipura. Meski banyak dikritik, toh masih banyak yang merayakan ketika berhasil meraih pialanya.

Baca juga artikel terkait ADIPURA atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti