tirto.id - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengklaim, pemecatan sementara Bupati Talaud, Sulawesi Utara, Sri Wahyumi Maria Manalip tidak memiliki unsur politis, melainkan sebagai sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2017 serta UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemda.
Tjahjo berkata, sanksi murni diberikan kepada Sri karena pelanggaran yang dilakukannya di semester II 2017 lalu. Saat itu, Sri pergi ke Amerika Serikat tanpa meminta izin kepada Kemendagri atau Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Sri dilaporkan pergi ke Amerika Serikat pada 20 Oktober hingga 13 November 2017. Laporan kepergiannya diterima Kemendagri dari Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey.
“Ini bukan masalah partai, semua kepala daerah harus tau aturan. Dia punya biro hukum kalau dia meninggalkan sampai dua kali, berhari-hari, tanpa ada izin ya saya kira harus tahu aturan. Kami enggak ada hubungan dengan partai,” kata Tjahjo di kawasan Pejambon, Jakarta, Rabu (17/1/2018).
Sri dikenal sebagai seorang kepala daerah wanita yang kerap menampilkan aktivitasnya di media sosial. Ia pernah menjadi kader PDIP periode 2014-2017. Selama bergabung dengan partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu, Sri sempat menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Talaud.
Posisi Sri sebagai Ketua DPC PDIP Talaud berakhir setelah ia dipecat pada 5 Oktober 2017. Posisinya kemudian digantikan Lucky Senduk. Pada Pilkada 2018 ini, Sri kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah dari jalur independen berpasangan dengan Gunawan Talenggoran.
Tidak diketahui secara pasti alasan pemberhentian Sri kala itu dari jabatannya di DPC PDIP Talaud. Tirto sempat menghubungi pengurus DPP PDIP untuk konfirmasi sebab pemecatan Sri, tetapi tak ada jawaban yang diberikan Wakil Sekretaris Jenderal PDIP, Ahmad Basarah dan Eriko Sotarduga.
Dugaan politisasi hukuman muncul setelah diketahui bahwa informasi pelanggaran Sri dilaporkan oleh Olly kepada Tjahjo. Olly dan Tjahjo diketahui sebagai politikus PDIP yang cukup punya pengaruh dalam kepengurusan DPP.
Namun, Tjahjo menyangkal keberadaan hubungan pemecatan sementara Sri dengan statusnya sebagai mantan Sekjen PDIP. Menurut dia, pemecatan sementara Sri juga tak akan mengganggu pelaksanaan Pilkada 2018 di Talaud.
"Tindakan Kemendagri juga atas masukan, permintaan, pertanyaan, dari Gubernur. Kenapa kok didiamkan? Itu saja. Kami kan tidak bisa melihat semua bupati, anggota DPRD, sekda, pergi kan enggak tau kalau enggak ada laporan dari Pemda dan Gubernur,” kata Tjahjo.
Pengamat politik dari Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado, Sulawesi Utara, Michael Mamentu mengatakan, jika dilihat dari aspek aturan yang berlaku, kasus pemecatan sementara Sri ini tidak ada masalah. Sebab, kepala daerah yang pergi ke luar negeri tanpa izin atasannya memang dapat dijatuhi sanksi.
Namun demikian, kata Michael, mengapa kasus ini baru diusut saat momentum Sri maju Pilkada 2018, padahal pelanggaran yang dilakukannya sudah lama. “Kenapa sebelum itu enggak [diusut]? Persoalannya apakah kepergiannya dia ke luar negeri itu sudah lama atau baru?” kata Michael saat dihubungi Tirto, Rabu kemarin.
Berdasarkan penelusuran Tirto, Sri pergi ke luar negeri tanpa pamit antara 20 Oktober hingga 13 November 2017. Menurut Michael, seharusnya pelanggaran yang dilakukan Sri diusut jauh-jauh hari sebelum momentum pilkada.
“Jadi kalau baru diangkat sekarang ini, ya tidak bisa menutup mata bahwa ini ada hubungannya dengan pencalonan dia. Berarti ada, barangkali Olly punya calon lain selain dia,” kata Kepala Prodi Ilmu Politik UNSRAT ini.
Korban Pertama Aturan PP 12/2017
Sri tercatat sebagai kepala daerah pertama yang mendapat hukuman pemberhentian sementara karena melanggar ketentuan pergi ke luar negeri tanpa izin.
Sanksi bagi Sri diberikan sesuai PP No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 23/2004 tentang Pemda. Dua beleid itu mengatur, kepala daerah harus memiliki izin sebelum pergi ke luar negeri atau meninggalkan daerah kekuasaannya selama lebih dari satu pekan.
Berdasarkan ayat (4) Pasal 37 PP 12/2017, misalnya, ada 9 jenis sanksi administratif yang dapat diberikan kepada kepala daerah yang ke luar negeri tanpa izin.
Sanksi-sanksi tersebut adalah teguran tertulis, tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 bulan, tidak dibayarkan hak keuangan selama 6 bulan, penundaan evaluasi rancangan peraturan daerah, pengambilalihan kewenangan perizinan, penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil, mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan, pemberhentian sementara selama bulan, serta pemberhentian.
Tjahjo berjanji akan menerapkan hukuman serupa terhadap kepala daerah lain yang melakukan pelanggaran sama. Namun, ia mengakui keterbatasan Kemendagri yang tak bisa selalu mengawasi gerak-gerik kepala daerah tanpa bantuan dari Pemprov setempat.
"Ini sudah dicek loh setelah dapat surat dari Gubernur Sulut, Depdagri datang Pak Soni (Dirjen Otda) ke Talaud, ditanya 'betul enggak kamu pergi?' Iya. 'Nggak izin?' Nggak," katanya.
Janji Tjahjo menerapkan hukuman serupa bagi kepala daerah lain yang melakukan pelanggaran sama dinanti anggota Komisi II DPR dari Fraksi Gerindra Azikin Solthan. Menurut dia, implementasi aturan di UU Pemda dan PP 12/2017 harus dilakukan secara adil tanpa melihat latar belakang parpol kepala daerah.
“Kita harus tegakkan aturan. Namanya saja pejabat negara, masa ke luar negeri tidak izin. Pengaturan dan penerapannya tidak melihat si A, B, C. Harus adil," kata Azikin kepada Tirto.
Kemendagri telah menunjuk Wakil Bupati Kepulauan Talaud, Petrus Tuange sebagai Bupati selama Sri Wahyumi Manalip dinonaktifkan.
Pada pekan kemarin, Sri menyatakan dirinya tidak merasa melakukan pelanggaran berat karena keberangkatannya ke AS pada 2017. Kunjungannya ke AS itu, menurut dia, untuk memenuhi undangan Kementerian Luar Negeri AS.
“Ketika berangkat ke Amerika, saya juga menggunakan paspor reguler hijau, tak membawa staf seorangpun, tidak menggunakan uang daerah, keberangkatan saya murni belajar," kata dia pada Jumat (12/1/2018) seperti dikutip Antara.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz