Menuju konten utama

Ada Laba Menggiurkan di Balik KaiOS dan Android Go

Miliaran orang yang belum terkoneksi internet dapat dirangkul, miliaran pula uang yang dapat diraih perusahaan teknologi.

Ada Laba Menggiurkan di Balik KaiOS dan Android Go
Aplikasi KaiOS. FOTO/kaiostech.com

tirto.id - “WhatsApp kemungkinan tidak pernah ada di dunia seandainya sistem perekrutan karyawan Facebook benar,” tutur Steven Levy, editor-at-large pada majalah Wired dalam bukunya yang berjudul Facebook: The Inside Story (2020). Pada 2008, selepas tidak lagi bekerja untuk Yahoo, Jan Koum dan Brian Acton melamar untuk menjadi pekerja di Facebook. Sial, dua sahabat yang dikemudian hari menciptakan WhatsApp itu ditolak dengan alasan “Facebook kebanyakan menerima CV pelamar kerja”.

Kisah Jan Koum adalah kisah khas imigran. Ia berlabuh dan ibunya menginjakkan kaki di Mountain View, Amerika Serikat saat berumur 16 tahun. Mereka berangkat dari Kiev, Ukraina, selepas merebaknya sentimen anti-semit di sana. Di AS, Koum tinggal di pemukiman kumuh, yang bahkan tidak memiliki kamar mandi di dalam rumahnya. Saban hari, Koum dan ibunya mengandalkan kupon makanan dari pemerintah AS untuk bertahan hidup. Sebagai seorang remaja, Koum tertarik dengan dunia komputer, khususnya peretasan. Ketika usia kuliah menyapanya, Koum pergi ke San Jose State University. Belajar pemrograman komputer. Untuk bertahan hidup, juga membiayai perawatan ibunya yang kemudian terkena kanker, Koum bekerja paruh waktu sebagai auditor keamanan digital Ernst & Young.

Brian Acton berasal dari latar belakang yang berbeda. Ia lahir dari keluarga kelas menengah AS yang saban hari disibukkan dengan bermain-main dengan komputer pribadinya, serta membaca majalah-majalah komputer. Terlahir di Florida, Acton berkuliah di Philadelphia University dan pindah ke Stanford University setelah tahu kampus itu lebih bagus. Lulus kuliah, Acton bergabung bersama Yahoo, menjadi teknisi ke-60 perusahaan bentukan Jerry Yang itu.

Tugas Acton di Yahoo adalah mengurusi bisnis iklan, termasuk bekerja bersama auditor rekan bisnis Yahoo untuk memvalidasi transaksi iklan. Salah satu rekan bisnis Yahoo saat itu adalah Ernst & Young. Acton dan Koum berteman di titik ini dan semakin dekat tatkala Koum bergabung bersama Yahoo. Karena bosan melihat Yahoo tidak berkembang, pada malam Halloween 2007, Koum dan Acton mundur dari Yahoo. Kedua sahabat ini kemudian berpencar setelah, tentu saja, ditolak Facebook pada awal 2008.

Takdir berkehendak lain. Pada 2008, tak sampai setahun pasca iPhone diluncurkan, Steve Jobs luluh dan mengizinkan pengembang pihak ketiga membuat aplikasi iPhone. Koum bersama teman Rusianya, Ivan Fishman, lantas menciptakan WhatsApp. Jangan anggap WhatsApp versi awal ini sebagai aplikasi pesan instan, chat, melainkan sebuah aplikasi “temporary status update”, aplikasi yang berguna memunculkan status semacam “saya sedang sibuk”, “jangan diganggu, sedang rapat”, “SMS saja, nanti saya telpon” di kontak (address book).

Koum menceritakan ciptaannya kepada Acton. Tak tertarik, Acton menganggap WhatsApp aplikasi “bodoh”. Plot twist: "aplikasi bodoh" itu kemudian menjadi sesuatu yang keren selepas Apple memperkenalkan fitur notifikasi di iPhone. Melalui fitur itulah temporary status update yang tadinya hanya bisa diakses di address book dapat diakses melalui notifikasi. Koum dan Acton lalu membuat versi terbaru WhatsApp yang memungkinkan penggunanya bisa saling berbalas temporary status update via notifikasi.

Fishman, si orang Rusia itu, lantas terkejut: “Hey, tidak ada seorang pun yang menggunakan WhatsApp semestinya. Mereka menggunakan WhatsApp selayaknya SMS (berbalas pesan via temporary status update di notifikasi)”. Kala itu, di AS dan negara mana pun, biaya SMS masih mahal. Berbalas pesan via temporary status update di notifikasi iPhone jadi alternatif.

WhatsApp yang kini kenal hari ini pun lahir.

Sebagai aplikasi yang lahir karena iPhone, WhatsApp sebagai aplikasi pesan instan justru tidak dibuat untuk iPhone. “Peluang ada di luar AS. Dan di luar AS, semua orang menggunakan Nokia,” ujar Koum dan Acton. Setelah membuat aplikasi WhatsApp dan Android alakadarnya, dua sahabat itu membuat aplikasi untuk 'ponsel bodoh' feature phone. Karena menihilkan biaya SMS dan hanya menarik biaya $1 per tahun bagi penggunanya, WhatsApp seketika jadi fenomena. Ia sukses di Amerika Latin, Amerika Tengah, Eropa, hingga India.

Sebelas tahun berlalu. Di dunia yang dikuasai Android dan iPhone, WhatsApp tetap kukuh pada pondasi awalnya: menyajikan layanan pesan instan bagi setiap orang, termasuk pengguna feature phone. Tepat pada 22 Juli 2019, WhatsApp bisa digunakan pada ponsel berbasis KaiOS. Kala itu, Matt Idema, Direktur Operasional WhatsApp, menyebut bahwa “KaiOS telah menjadi sekutu penting yang membantu kami menyediakan teknologi berkirim pesan bagi ponsel-ponsel feature phone di seluruh dunia”.

KaiOS dan Android Go: Ketika Perusahaan Teknologi Meluncurkan Versi Ringan Produk Mereka

Ada empat ponsel yang saya gunakan saat ini: Satu iPhone, dua Android, dan sebuah feature phone. Lebih spesifik, dua dari empat ponsel itu punya pondasi berbeda: Android Go dan KaiOS, yang tersemat dalam Nokia 1 dan Advan Hape Online (Advan 2406).

Android Go merupakan sistem operasi Android versi kerdil, Android yang dimodifikasi untuk dapat berjalan lancar nan mulus di ponsel-ponsel berspesifikasi rendah, khususnya yang memiliki RAM di bawah 2GB. Cikal bakal Android Go dapat dirujuk tatkala Google merilis Android 4.4 (Kitkat) pada 2013 silam. Kala itu, untuk mengatasi masalah ponsel-ponsel berspesifikasi rendah yang kerepotan menjalankan Android versi penuh, Google mengaktifkan fitur bernama low RAM. Dengan low RAM, Kitkat dipaksa untuk mengurangi bahkan menghentikan proses-proses non-esensial pada sistem operasi.

Kurang puas, Google lantas menciptakan inisiatif bernama “Project Svelte”. Sebagaimana dilansir laman resmi Android, Project Svelte adalah upaya kelanjutan untuk meminimalkan penggunaan RAM oleh sistem operasi dan aplikasi di berbagai perangkat Android. Pada Android 7.0, Project Svelte difokuskan pada pengoptimalan cara aplikasi berjalan di latar belakang (background process). Akhirnya, dalam konferensi Google I/O 2017, inisiatif tersebut berhasil melahirkan Android Go.

Tak hanya mengoptimalkan cara kerja sistem operasi dan aplikasi, Google memaksa pengembang aplikasi membuat versi “lite” untuk Android Go. Istilah “lite” pertama kali digagas oleh Apple pada 2010. Kala itu “lite”merujuk pada aplikasi di iOS yang beberapa fiturnya dikunci dan hanya bisa diakses pengguna jika membayar. Versi ini kadang disebut “feature-restricted version”. Oleh Google, makna "lite" diartikan sebagai versi ringan dan hemat data. Sejak itu muncullah Google Maps Go, Youtube Go, Facebook Lite, hingga Uber Lite.

Johanna Wright, Vice president of Product Management Google, seperti diwartakan Mashable, mengatakan aplikasi versi lite dibuat “dengan mempertimbangkan ketersediaan internet yang buruk”. Skype, aplikasi Voice over Internet Protocol milik Microsoft, juga merilis Skype Lite. Pada laman resmi mereka, versi lite diluncurkan “guna memaksimalkan jaringan 2G dan mengakomodasi jaringan internet yang tidak stabil”. Senada dengan Google dan Skype, Line, melalui laman resminya, menyatakan versi lite ditujukan untuk “mereka yang menggunakan smartphone murahan”.

Ketika saya bertemu dengan Rudi Lim, Head of Product Design Grab di kantor Grab Indonesia bersama rekan-rekan jurnalis teknologi beberapa waktu lalu, ia menyebut kemungkinan Grab merilis versi Lite, tanpa menyebutkan kapan persisnya.

Di sisi lain, KaiOS merupakan sistem operasi berbasis Linux yang lahir dari B2G (Boot to Gecko), sistem operasi sumber-terbuka (open source) penerus Firefox OS. “Gecko”, dari B2G merupakan mesin inti dari Mozilla Firefox. Artinya, KaiOS merupakan sistem operasi yang sesungguhnya berjalan seperti web browser, dan dirancang untuk menjalankan aplikasi berbasis HTML5. Tak seperti Android Go, KaiOS dirancang untuk 'ponsel bodoh', feature phone, yang sudah jelas memiliki spesifikasi sangat rendah, dengan desain candybar.

Google, sebagai pemilik Android, tercatat berinvestasi pada KaiOS. Pada Juni 2018 silam, raksasa mesin pencari tersebut merogoh kocek sebesar $22 juta untuk pengembangan KaiOS.

Dari pengalaman saya menggunakan Android Go dan KaiOS, jika Anda menggunakan ponsel hanya sebagai sarana telekomunikasi (teks atau telepon) dan ingin memiliki ponsel murah, ponsel-ponsel berbasis Android Go dan KaiOS layak digunakan. Tentu, dengan beberapa catatan.

Untuk Android Go, ponsel-ponsel berbasis ini secara umum memang dapat memasang aplikasi Android apapun. Namun, jikanyang dipakai bukan versi Lite, ada hal yang harus dimaklumi, misalnya lag, kurang responsif, bahkan terkadang mengalami crash jika menggunakan aplikasi-aplikasi tertentu. Misalnya, aplikasi Shopee terasa sangat lambat ketika saya menggunakannya di Android Go, meskipun aplikasi e-commerce lainnya lancar-lancar saja. Lalu, yang sesungguhnya mengherankan, ketika saya menggunakan Nokia 1, aplikasi Detik tidak bisa dipasang melalui Play Store. Untuk mengakalinya, saya menggunakan ponsel Android lain untuk mentransfer berkas instalasi (.apk) Detik. Uniknya, aplikasi Detik yang saya transfer itu baik-baik saja berjalan di Android Go. Ya, banyak-banyaklah berdoa jika hendak menggunakan Android Go untuk bermain game.

Di sisi lain, sebagai feature phone, KaiOS memberikan kemampuan “lebih”. Tidak seperti feature phone berbasis Java, ponsel-ponsel yang menggunakan KaiOS dapat berkirim pesan menggunakan WhatsApp. Lagi-lagi, dengan catatan. WhatsApp versi KaiOS tidak mendukung voice-over-internet-protocol, WhatsApp Call. Ia juga tidak bisa digunakan untuk mengakses WhatsApp Web. Singkat kata, WhatsApp di KaiOS berjalan di titik permulaan perusahaan Koum dan Acton: hanya teks. Aplikasi lainnya, KaiOS mendukung Facebook, Youtube, dan Google Assistant.

Dengan Android Go dan KaiOS, ponsel-ponsel berspesifikasi rendah dapat dioptimalkan kerjanya. Mulia, bukan? Tunggu dulu.

"Next Billion Users"

Ketika berkunjung ke Lagos, Nigeria, pada 2016 silam, Mark Zuckerberg, sebagaimana dikisahkan Steven Levy dalam Facebook: The Inside Story (2020), bertanya kepada seorang perempuan. “Saya ingin kamu membantuku. Apa saranmu untukku untuk membuat ini (Nigeria) menjadi lebih baik?”

Njoku, perempuan itu, menjawab: "Lebih. Saya minta Anda memberikan lebih banyak WiFi guna menjangkau lebih banyak tempat, lebih banyak orang”.

Sebagaimana dilansir Statista, terdapat 4,13 miliar pengguna internet di seluruh dunia pada 2019. Pada saat bersamaan, merujuk laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bumi diisi 7,7 miliar jiwa. Artinya, ada sekitar 3,5 miliar orang yang belum menjadi warga maya, khususnya mereka yang tinggal di wilayah-wilayah pedalaman Asia, Afrika, hingga kepulauan di Pasifik. Di sisi lain, ada kesenjangan kecepatan internet di tengah orang-orang yang telah mengaksesnya. Misalnya, jika kita melihat kumpulan peta bertema internet yang dipublikasikan Vox, wilayah Asia memanjang dari India hingga Indonesia, memiliki kualitas internet yang buruk.

Kesenjangan akses internet adalah peluang bagi perusahaan-perusahaan teknologi untuk menumbuhkan basis pengguna mereka. Bagi perusahaan teknologi, 3,5 miliar penduduk Bumi yang belum tersentuh internet, adalah calon penghasil laba. Pada laporan keuangan Facebook di kuartal IV-2016, Facebook menggelontorkan $4,243 miliar sebagai beban pengeluaran, semisal untuk membiayai server dan membayar tim PR (karena Zuck selalu berbuat ulah). Hingga akhir 2016, jumlah pengguna aktif bulanan Facebook mencapai 1,86 miliar pengguna. Artinya, Facebook mengeluarkan uang $2,3 per pengguna. Biaya sejumlah $2,3 per pengguna, merupakan ongkos yang harus ditanggung Facebook atas para penggunanya di seluruh dunia.

Merujuk data yang dipublikasikan Statista, Facebook rata-rata memperoleh pendapatan senilai $4,83 per pengguna di seluruh dunia pada kuartal IV-2016. Bila ditilik lebih lanjut, artinya meski Facebook menanggung biaya per pengguna sebesar $2,3, sesungguhnya mereka untung $2,5 bagi tiap pengguna.

Hitung-hitungan tersebut tak hanya berlaku untuk Facebook, tentu saja, tapi juga Google dan berbagai perusahaan teknologi lainnya. Semakin banyak pengguna, semakin besar pundi-pundi yang mereka peroleh. "Next Billion Users" (milyaran pengguna baru) adalah semangat di balik terciptanya Android Go, KaiOS, juga aplikasi-aplikasi lain versi Lite.

Melalui semangat "Next Billion Users", perusahaan teknologi berupaya untuk bagaimana membuat orang-orang yang tak tersentuh internet, memperoleh internet. Kala berjumpa dengan Caesar Sengupta, VP Product Management Google, pada 2018 silam bersama rekan jurnalis, ia menyebut bahwa Indonesia, India, Filipina, serta Brazil merupakan negara-negara utama yang berpotensi menyumbang tambahan pengguna terbesar bagi aplikasi-aplikasi bikinan Google. Alasannya, kembali ke atas, penetrasi internet di Asia masih berada di kisaran 46,7 persen dari total jumlah penduduk.

Ponsel-ponsel berbasis Android Go dan KaiOS memang harganya murah dan bisa diakses semua kalangan. Nokia 1 yang saya miliki contohnya, berharga kurang dari Rp1 juta. Advan 2406 bahkan dibandrol di kisaran Rp300 ribuan. Untuk menghemat data internet, Lite dihadirkan.

KaiOS termasuk sukses di pasaran. Pada 2018, lebih dari 40 juta unit ponsel berbasis KaiOS dikirim ke konsumen. Sebanyak 500 ribu unit di antaranya sukses dijual AT&T, Sprint, dan T-Mobile. Di India, KaiOS telah menjadi sistem operasi terpopuler nomor dua, kalah dari Android tapi unggul dari iOS.

Tentu, menghadirkan internet tidak hanya soal ponsel, tetapi juga infrastruktur. Untuk menghadirkan internet ke wilayah-wilayah pedalaman, Google merilis Loon dan Facebook sempat membuat program bernama Aquila. Baik Loon dan Aquila merupakan wahana yang terbang dalam ketinggian tertentu untuk kemudian memberikan akses internet. Semacam WiFi atau hotspot internet melayang. Selain itu, Facebook punya program internet.org, program yang digagas Facebook dan bekerjasama dengan provider telekomunikasi di berbagai dunia untuk memberikan data internet gratis pada layanan-layanan esensial. Aplikasi Facebook termasuk layanan esensial itu.

Miliaran orang yang belum terkoneksi internet dapat dirangkul, miliaran pula uang yang dapat diraih perusahaan teknologi.

Baca juga artikel terkait ANDROID atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf