tirto.id - Pada kehadirannya di Mobile World Congress 2014, pendiri WhatsApp Jan Koum mengungkapkan keinginannya untuk menambah jutaan pengguna baru, termasuk dari India yang pasar yang tengah tumbuh. Ada satu masalah di sini: India dan banyak negara lainnya tak memiliki kualitas internet mumpuni.
“Saya mengerti ada kendala bandwidth, kendala jaringan. Namun, sebagaimana strategi yang pernah kami lakukan, kami akan melakukan pendekatan yang fokus pada kualitas dan kesederhanaan,” ujar Koum.
Seiring waktu pengguna WhatsApp pun tumbuh pesat. Dari 430 juta pengguna aktif bulanan di awal 2014 menjadi 1,6 miliar pengguna hari ini.
Besarnya jumlah pengguna aplikasi yang dimiliki Facebook ini disumbang dari dua sistem operasi, Android dan iOS.
Jumlah pengguna WhatsApp memang besar. Namun, jumlah penduduk dunia adalah 7,7 miliar dan 4,4 miliar di antaranya adalah warga internet. WhatsApp mengejar sisanya. Pada 22 Juli lalu, WhatsApp secara resmi masuk pada sistem operasi lain, KaiOS, sistem operasi bagi feature phone alias ponsel yang hanya memiliki kemampuan standar: telepon dan teks.
“KaiOS telah menjadi sekutu penting yang membantu kami menyajikan teknologi pesan pada ponsel-ponsel feature phone di seluruh dunia,” kata Matt Idema, Chief Operating Officer WhatsApp.
Sebentar. Di tengah dunia yang didominasi ponsel Android atau iPhone, siapa itu KaiOS?
Upaya Membuat Pintar “Ponsel Bodoh”
Sejak 2015, melansir data yang dirilis Statista, pengapalan ponsel pintar melampaui capaian feature phone. Kala itu, 1,3 miliar ponsel pintar dikirim ke seluruh dunia. Feature phone hanya meratap di angka 944 juta. Padahal, setahun sebelumnya, angka pengapalan feature phone masih berada di atas 1 miliaran unit.
Tapi, meskipun menurun, volume pengiriman feature phone masih tinggi. Tahun lalu misalnya, lebih dari 700 juta unit feature phone dikirimkan ke pemesannya. Meskipun menurun, pengapalan feature phone diprediksi berada di angka lebih dari 500 juta unit pada 2020.
Melansir Quartz, pada 2020, akan ada 9,2 miliar pelanggan perangkat seluler. Dari jumlah itu, 1,4 miliar di antaranya ialah pelanggan seluler non-3G alias feature phone.
Pimpinan firma pemasaran digital Upstream Marco Veremis menyatakan bahwa ada masyarakat yang masih loyal dan "tidak bergantung pada App Store atau Google Play”. Lebih lanjut, Veremis menyatakan bahwa pertumbuhan populasi feature phone di negara-negara berkembang diperkirakan masih tinggi, hingga 35 persen dari total pertumbuhan seluler.
“Di Nigeria, smartphone adalah kata lain dari ‘akademik,’” ungkap Veremis. Menurutnya feature phone masih digunakan untuk wilayah-wilayah yang kurang didukung infrastruktur telekomunikasi, 3G ataupun 4G. Sederhana: feature phone adalah ponsel yang benar-benar tangguh untuk segala wilayah.
Feature phone punya nama lain: dumb phone alias ponsel bodoh karena hanya bisa digunakan untuk menelepon dan SMS plus bermain gim snake. Sayangnya, dunia telah berevolusi. Dulu, di 2010 misalnya, terdapat 192 ribu SMS dikirim tiap detik. Sejak kehadiran aplikasi pesan instan, angka pengiriman SMS menurun.
Si ponsel bodoh harus berbenah. Setidaknya ia harus bisa menjalankan aplikasi-aplikasi mendasar dari dunia smartphone, salah satunya WhatsApp. Aplikasi harus dapat bekerja baik pada ponsel sederhana yang kuantitas RAM-nya tak lebih dari 512 MB.
Maka, lahirlah KaiOS.
KaiOS merupakan sistem operasi berbasis Linux, yang lahir dari B2G (Boot to Gecko), sistem operasi sumber-terbuka penerus Firefox OS. “Gecko”, dari B2G merupakan mesin inti dari peramban Mozilla Firefox. Artinya, KaiOS merupakan sistem operasi yang sesungguhnya berjalan bak web browser, dan dirancang untuk menjalankan aplikasi berbasis HTML5.
Selain itu, KaiOS memungkinkan ponsel biasa-biasa saja dapat menggunakan teknologi seluler terbaru seperti 4G, LTE, GPS, dan WiFi.
Secara mendasar, KaiOS bekerja dalam tiga lapisan: Gonk, Gecko, dan Gaia. Gonk merupakan pondasi KaiOS yang diciptakan dari kernel Linux, yakni Android Open Source Project. Gecko, inti dari Firefox, ditambahkan di atasnya sebagai mesin yang menjembatani si pondasi dengan layout user interface. Ya, Gaia, si UI, merupakan lapisan yang terbuat dari HTML, Javascript, dan CSS. Artinya, segala situs web atau aplikasi berbasis web (progressive web apps) dapat di-porting atau diterjemahkan menjadi aplikasi bagi KaiOS.
Selain WhatsApp, aplikasi lain yang memiliki versi KaiOS adalah Google Maps, Google Assistant, Facebook, dan Twitter.
KaiOS terbilang laris. Pada 2018, lebih dari 40 juta unit ponsel berbasis KaiOS dikirim ke konsumen. Sebanyak 500 ribu unit di antaranya sukses dijual AT&T, Sprint, dan T-Mobile. Di India, KaiOS telah menjadi sistem operasi terpopuler nomor dua, kalah dari Android tapi unggul dari iOS.
Diprediksi, KaiOS akan bersinar. Apalagi, Google, si pemilik Android mengucurkan dana investasi senilai $22 juta untuk KaiOS.
KaiOS nampaknya akan menjadi strategi tambahan Google mempopulerkan layanan-layanannya, selain melalui Android Go, varian ramah RAM nan hemat penyimpanan yang dikhususkan pada pasar yang belum terjamah ponsel pintar.
Editor: Windu Jusuf