Menuju konten utama

Abracadabra: Enigma Dunia Magis ala Faozan Rizal

Lukman, si pesulap bertitel Grandmaster, ingin pensiun. Namun, kotak misterius bertuliskan Abracadabra malah ingin Lukman tetap percaya pada magis.

Abracadabra: Enigma Dunia Magis ala Faozan Rizal
Poster Film Abracadabra. FOTO/dok. Fourcolours Films

tirto.id - Konon, tak ada yang tahu pasti asal mula kata Abracadabra. Mantra yang tersohor dipakai para pesulap ini ditemukan dalam buku De Medicina Praecepta, yang ditulis tabib Romawi Serenus Sammonicus pada abad kedua masehi.

Kata itu dituliskan Sammonicus di perkamen kecil yang dijadikan kalung—jimat—buat Kaisar Caracalla. Konon, bisa menjauhkan dari penyakit dan marabahaya. Jampi itu dieja seperti kerucut terbalik:

A B R A C A D A B R A
A B R A C A D A B R
A B R A C A D A B
A B R A C A D A
A B R A C A D
A B R A C A
A B R A C
A B R A
A B R
A B
A

Tulisan yang sama seperti di atas juga dicetak di atas kotak persegi yang digunakan Lukman (Reza Rahadian) untuk pertunjukkan sulap terakhirnya. Kotak itu peninggalan sang ayah, yang juga pesulap, tapi menghilang setelah pertunjukan terakhirnya, bertahun-tahun lampau. Lukman tak berniat menghilang, cuma ingin berhenti.

Maka, ia berniat memasukkan seseorang ke kotak itu, membaca Abracadabra, membuka kotaknya, dan mendapati orang itu tidak ke mana-mana. Pertunjukan sulap gagal.

Sayangnya, manusia cuma bisa berencana. Yang lebih menentukan adalah kekuatan yang lebih besar dari manusia—yang punya nama macam-macam. Tak ada yang sanggup melawan, termasuk Lukman, si Grandmaster.

Pertunjukan sulap itu malah berhasil. Seorang bocah bernama Iwan (Adhiyat) lenyap, tak muncul lagi setelah masuk ke kotak itu. Lukman panik di atas panggung. Dia mengaku pada penonton, bahkan raibnya Iwan ditelan udara bukan bagian dari sulapnya.

Beberapa rekan sesama pesulap lantas ikut naik panggung. Mereka curiga, takut kalau Lukman bohong. Kotak itu diperiksa tiga pesulap: Winda (Poppy Sovia), Lindu (Lukman Sardi), dan Madam Zakaria (Paul Agusta). Mereka memeriksa lubang di kotak itu atau lubang di atas panggung, dan segala kemungkinan trik yang membuat raibnya Iwan tak mustahil. Sayangnya, mereka tak menemukan apa-apa. Malah berakhir berdebat tentang mantra yang digunakan Lukman.

Madam Zakaria mencoba mengganti Abracadabra dengan Simsalabim. Lindu bahkan membalik Abracadabra jadi Arbadacarba, dan tetap tak menghasilkan apa-apa. Iwan tetap tak kembali. Dalam perdebatan itu, Lukman sempat menceletukkan bahwa mantra macam Abracadabra cuma pemanis kosong-makna yang dipakai pesulap semata-mata sebagai gimik.

Ucapan itu dibuktikannya, ketika Laila (Asmara Abigail), ibu Iwan, naik ke panggung dan masuk ke dalam kotak. Belum tuntas kata itu diucapkan Lukman, Abigail sudah lenyap dari sana.

Adegan perdebatan itu masuk di awal-awal cerita bukan tanpa maksud. Sutradara Faozan Rizal tampaknya ingin Lukman dan kita semua sadar bahwa yang ajaib dan punya kekuatan magis adalah kotak itu, bukan mantra Lukman.

Pada adegan yang sama, kita juga diperingatkan untuk tidak memakai logika lagi selama menonton.

Masuknya Laila ke dalam kotak, lengkap dengan dialog aneh yang ingin menyusul Iwan dan takut Iwan kelaparan adalah titik pertama petulangan Lukman dimulai. Bukan untuk mencari Iwan—meski situasinya dibuat demikian—melainkan, untuk mencari tahu segala hal tentang kotak itu.

Buat Lukman, petualangan itu justru untuk menemukan lagi keyakinan pada sulap, pada magis.

Infografik Misbar Abracadabra

Infografik Misbar Abracadabra. tirto.id/Quita

Enigma Penuh Simbol

Cara bertutur Faozan Rizal dalam Abracadabra bisa dibilang unik. Sutradara yang lebih dari separuh kariernya dikenal sebagai sinematografer ini memang lebih fokus pada komposisi layar beserta segala isinya.

Ia memilih warna-warna cerah, dengan filter teal orange, dan pemandangan cantik sebagai suguhan utama Abracadabra. Mungkin terinspirasi dari film-film Wes Anderson atau Alejandro Jodorowsky pada sebagian elemen. Pengambilan gambar dengan kamera statis, blocking khas teater, dan gambar-gambar simetris dengan palet warna terang seolah-olah mengamini hipotesis itu.

Narasi yang disampaikan dalam film juga unik: dibawakan dengan bahasa Indonesia baku dan kaku, yang kadang-kadang mencoba puitis hanya untuk tampil misterius, dan tidak terlalu mementingkan logika. Persis seperti dongeng.

Dunia Lukman dirakit absurd: taksi yang berjalan mundur, nama-nama tempat yang ganjil, karakter-karakter berkostum megah, unik, dan bertingkah karikatur. Membawa kita makin jauh dari logika-logika dasar, dan dunia nyata. Pada titik itu, film macam Abracadabra memang bermain-main dengan interpretasi penontonnya; menyediakan ruang besar buat penonton berimajinasi. Walhasil, kritik pada lubang-lubang plot tak lagi relevan.

Namun, bukan berarti tak ada makna sama sekali. Selain menyuguhkan visual cantik, Faozan juga menyelipkan banyak simbol-simbol dalam Abracadabra—yang bila dijahit bersama dialog-dialog misterius itu sebetulnya menyusun narasi lengkap tentang teka-teki jati diri Lukman.

Berdasarkan percakapan dengan Asima (Dewi Irawan), misalnya. Lukman diberitahu ibunya bernama Dewi Sri. Meski tak disadari Lukman, Asima bahkan memajang foto perempuan itu di rumahnya—perempuan yang kelak tiba-tiba muncul dari kotak Lukman, tapi mengaku bernama Sofnila (Salvita Decorte).

Lewat mimpi yang dikirim Savitri (Jajang C. Noer) tiap dini hari, pukul 03:15, Lukman akhirnya tahu kalau ia juga datang dan ditemukan ayahnya dari kotak bernama Yggdrasil.

Lewat percakapan Peramal Kembar (Valerie dan Veronika) dengan Lukman, serta percakapan Asima dan Savitri, kita bisa tahu bahwa Ibu Lukman melahirkannya di atas panggung sulap, dan perempuan itu bukan satu-satunya korban (kekerasan seksual) ayahnya. “Masih banyak perempuan lain,” kata Peramal Kembar.

Dari karakter Sofnila sendiri, kita tak akan dapat informasi apa-apa. Ia seperti datang dari dunia dan waktu berbeda dari Lukman. Satu-satunya informasi yang hadir dari Sofnila adalah bahwa ia asisten pesulap bernama Masterian yang punya muka mirip Lukito (Landung Simatupang), ayah Lukman. Mungkin adegan Sofnila menari-nari riang di depan foto burung merpati dan kelinci, serta sifatnya yang loyal pada Masterian bisa jadi petunjuk tambahan tentang statusnya sebagai korban sang majikan. Sebab, bukannya kelinci dan merpati adalah hewan yang paling sering dipakai pesulap jadi bahan atraksi?

Dongeng dengan narasi loncat-loncat ini tak sepenuhnya liar di luar logika. Kadang, Faozan meminjam sebagian logika dari dunia nyata untuk diselipkan dalam dialog karakter-karakternya.

Misalnya, ia menggunakan cerita pengalaman muda Barnas (Egy Fedly) yang sempat dikirim pemerintahan Sukarno ke Rusia untuk belajar sulap, serta ponsel pintar Komisar (Butet Kertaredjasa), sebagai penunjuk waktu. Bahwa latar waktu Abracadabra adalah di Indonesia, setelah Pemerintahan Sukarno tumbang dan ponsel pintar sudah tercipta.

Faozan bahkan menyelipkan beberapa detail kecil yang mungkin punya makna besar dalam plot ceritanya. Misalnya, angka 3:15 yang bisa jadi merujuk Genesis 3:15 untuk memperkuat subplot tentang Lukman yang dilahirkan di atas panggung, tanpa ayah. Atau adegan para pesulap, kawan-kawan Lukman, makan di meja panjang seperti Perjamuan Terakhir seraya masih membahas keampuhan mantra Abracadabra, yang sudah terbukti cuma gimik belaka. Bisa jadi, adegan itu adalah sentilan dari Faozan untuk lembaga agama yang sering kali lebih senang membahas hal-hal tidak penting dan jauh dari masalah riil yang dihadapi umat.

Tapi, apakah keterangan itu membantu kita memahami cerita? Jawabannya bisa iya, bisa tidak.

Sebab, semua informasi itu disusun Faozan dengan jahitan longgar, kalau tak mau dibilang dijahit dengan benang kusut. Seringkali, informasi yang terselip memang tampil tidak tegas, sehingga mungkin terlewatkan oleh penonton.

Pada akhirnya, Abracadabra adalah medium Faozan melempar enigma. Jawabannya? Penonton bisa mencari sendiri.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf