tirto.id - Puluhan tahun lalu, lewat buku dan surat kabar, Abdul Gafur yang masih sekolah dan tinggal di Ternate, Maluku Utara, berkenalan dengan sejumlah tokoh dunia dan nasional seperti Thomas Jefferson, Giuseppe Garibaldi, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, sampai Letnan Kolonel Soeharto. Ayahnya adalah orang buangan yang berasal dari Aceh, dialah yang menyediakan pelbagai bahan bacaan buat Gafur.
Di antara tokoh-tokoh yang dikenalnya, Soeharto punya tempat tersendiri baginya. ”Dari surat kabar saya mengetahui peranan Letnan Kolonel Soeharto menghancurkan gerakan Andi Aziz dalam waktu singkat,” tulis Gafur dalam Diantara Para Sahabat Pak Harto 70 Tahun (1991: 607).
Tahun 1956, saat Gafur menjadi murid SMA III B Teladan di Jakarta, Kolonel Soeharto adalah Panglima Kodam Diponegoro di Semarang. Warsa 1962, Soeharto menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, sementara Gafur telah menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia.
Ketika kekuasaan Presiden Sukarno mulai digoyang setelah 1965, Gafur termasuk mahasiswa Angkatan 66 yang ikut menumbangkan Orde Lama. Ia adalah bagian dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan menjadi Ketua Presidium KAMI UI yang juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Gafur mengaku ”termasuk di dalam kelompok penggerak demonstrasi besar” di masa-masa itu bersama Cosmas Batubara, David Napitupulu, Zamroni, dan lainnya. Mereka menyuarakan Tritura kepada Sukarno. Di masa-masa ini, Gafur jadi lebih sering bertemu dengan Soeharto. Ia menyukai kesederhanaan dan kepemimpinan Soeharto yang belakangan menggantikan Sukarno sebagai presiden.
Meski sibuk sebagai aktivis mahasiswa yang ikut menumbangkan Orde Lama, tapi Gafur berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran pada 1966. Ia kemudian bekerja sebagai dokter militer. Tahun 1968 ia ditugaskan di Kalimantan dalam operasi penumpasan PGRS/Paraku--bekas sukarelawan Ganyang Malaysia--yang dicap Komunis.
Dalam Riwajat Hidup Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971 (1972:634), disebutkan bahwa sejak 1 Januari 1967 Abdul Gafur berdinas sebagai perwira kesehatan pada Angkatan Udara RI dengan pangkat Kapten. Lalu pada 1972, berdasar Keputusan Presiden RI nomor 149/M tahun 1972 tanggal 26 September 1972, Abdul Gafur diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mewakili Golongan Karya Angkatan Bersenjata RI. Usianya kala itu baru 34 tahun.
Selain itu, Abdul Gafur juga dikenal sebagai tokoh pemuda. Ia ikut merintis pembentukan Asian Youth Council di Kuala Lumpur pada Agustus 1972. Dan setelah 1973, Gafur ikut meramaikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Setelah aktif di kepemudaan, sejak April 1978 Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Muda Urusan Pemuda dalam Kabinet Pembangunan III. Setahun kemudian, pangkat militer Gafur naik jadi Letnan Kolonel. Usianya hampir 40 tahun ketika pertama kali jadi menteri.
Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia1981-1982 (1981:161) menyebutkan bahwa pada 1978 dalam musyawarah KNPI, Gafur melontarkan gagasan untuk menyederhanakan organisasi pemuda di Indonesia. Namun Gafur pernah apes ketika berdialog dengan pimpinan dan aktivis mahasiswa UI yang menentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dalam kapasitasnya sebagai Menteri Muda Urusan Pemuda pada 1980.
Kala itu, Gafur dicemooh dan dilempari telur oleh sekelompok mahasiswa yang sangat emosional. Tetapi "Saya sambut dengan senyum dan penuh pengertian,” ujarnya. Tahun 1983 Gafur jadi menteri lagi dengan nama jabatannya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora).
Pada masa kedua jabatannya sebagai menteri, tepatnya pada 1985, Gafur sebagaimana diwartakan Tempo (03/8/1985), menikah dengan Kemala Motik--sebelumnya Gafur telah menikah dengan Emma Rachman alias Siti Fatimah, putri dari Abdurrahman Al Habsy. Namun sejumlah pihak termasuk Benny Moerdany selaku Panglima ABRI, atasan Gafur di militer, mengaku tidak mengetahuinya.
Setelah 1988, Gafur yang sudah berumur 50 tahun tidak lagi menjadi menteri, ia diangkat menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga 1997.
Selain aktif di dunia medis dan organisasi, Gafur juga rajin menulis. Ia di antaranya menulis buku Strategi Pembinaan Pemuda (1978), Olahraga: Unsur Pembinaan Bangsa dan Pembangunan Negara (1983), Pak Harto, Pandangan dan Harapannya (1987), serta Siti Hartinah Soeharto, First Lady of Indonesia (1992). Setelah Soeharto lengser, Abdul Gafur menulis buku Hari-hari Terakhir Seorang Presiden (2000).
Abdul Gafur meninggal pada 4 September 2020, tepat hari ini setahun lalu. Ia menyusul sejumlah tokoh yang telah mendahuluinya yang ia kenal lewat buku, surat kabar, dan kehidupan nyata.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 6 September 2020. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh