Menuju konten utama
Mozaik

Terkenang Aziz Sattar, Pelakon Masyhur Negeri Jiran Asal Bawean

"Saya akan terus berlakon selagi hayat dikandung badan," ungkap Aziz Sattar, aktor Malaysia kelahiran Pulau Bawean.

Terkenang Aziz Sattar, Pelakon Masyhur Negeri Jiran Asal Bawean
Header Mozaik Abdul Aziz bin Sattar. tirto.id/Tino

tirto.id - Sembilan tahun lalu, Datuk Aziz Sattar, salah satu bintang film legendaris Malaysia berpulang. Ia tokoh penting industri hiburan yang meninggalkan jejak tak terlupakan dalam dunia perfilman dan seni lakon di negeri jiran.

Aktor kelahiran Pulau Bawean, Jawa Timur ini malang-melintang di dunia seni peran selama lebih dari 50 tahun.

Abdul Aziz bin Sattar, demikian nama lengkapnya, lahir pada 8 Agustus 1925. Ayahnya bernama Sattar Sawal dan ibunya Satimah Jalal.

Dalam pandangan orang Melayu, Aziz Sattar merupakan seorang Boyan. Kata Boyan merupakan ucapan orang Melayu dan Cina di Malaysia atau Singapura untuk orang-orang Bawean yang merantau.

Menurut Dewi Indrawati, Sukiyah, dan Lukman Solihin dalam buku Menjadi Boyan, Strategi Adaptasi Keturunan Bawean Singapura (2011), orang Bawean dikenal sebagai etnis yang mewarnai pertumbuhan Singapura modern.

Bagi orang Bawean, merantau merupakan kebiasaan turun-temurun. Menurut Jacob Vredenbregt dalam Bawean and Islam (1990), fenomena perantauan masyarakat Bawean telah dikenal sejak abad ke-18. Mereka telah lama merantau ke beberapa negara Asia, termasuk Singapura.

Kala itu, Singapura yang masih berupa kota, menjadi pos perdagangan Inggris sejak 1819 yang menarik minat banyak perantau dari India, Cina, dan Hindia Belanda--di antaranya orang Bugis, Jawa, dan Bawean.

Orang tua Aziz Sattar meninggalkan Bawean dan pindah ke Singapura saat dia berusia tiga tahun. Aziz Sattar kecil tumbuh di Pasir Panjang dan mendapat pendidikan dasar di Sekolah Melayu Raja, Singapura. Sejak usia 9 tahun, dia sudah menghibur orang-orang terdekat dengan melawak secara spontan dan menyanyi di panggung-panggung kecil.

Pendudukan Jepang di Malaysia dan Singapura membuatnya meninggalkan bangku sekolah. Di usia 20 tahun, ia sempat menjadi sopir truk. Namun, minatnya pada seni membuatnya tetap bersinggungan dengan dunia hiburan.

Kehidupannya mulai berubah pada 1950-an. Setelah bekerja di Malay Film Production, Aziz Sattar menjadi penyulih suara dan dipercaya bermain sebagai tokoh tambahan di film Putus Harapan (1953).

Film Bujang Lapok (1957) karya P. Ramlee menjadi batu tapal nasib Aziz Sattar. Puteh Ramlee selanjutnya menjadi mentor dan sahabat dekatnya.

Memori kedekatannya dengan P. Ramlee mendorongnya untuk menulis sebuah buku yang bercerita tentang persahabatan keduanya saat menjadi pekerja film di Malaysia dan Singapura.

Sebelum menulis buku tentang sahabatnya, Aziz Sattar pernah menulis satu buku yang berisi perjalanan hidup sendiri berjudul Meredah Gelombang Seni: Sebuah Memoir (2020).

Dua tahun sebelum meninggal, tokoh Aziz Satar berbentuk animasi hadir di serial Upin Ipin. Dalam episode berjudul "Kenangan Mengusik Jiwa" ia hadir untuk bercerita tentang kehebatan sahabatnya P. Ramlee di dunia seni.

Selama lebih dari setengah abad, Aziz Sattar bermain di banyak film bioskop, film serie, dan film lepas di televisi. Selain menjadi aktor, dia juga seorang sutradara. Film pertama yang disutradarainya adalah Keluarga si Chomat (1975).

Menurut Syed Azwan Syed Ali dalam "Accolade for Veteran Actor Aziz Satar", aktor ini mendapat penghargaan Panglima Jasa Negara (PJN) dan berhak mendapat gelar "datuk" dari Yang di-Pertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin pada tahun 2007. Penghargaan ini diterimanya sebagai penghormatan negara terhadap karya dan kerja kerasnya di Malaysia.

Bagi rekan seprofesi, Aziz Sattar merupakan sosok teman dan pengayom. Dalam buku Di Sebalik Tirai Layar (2018), Hidir Ali Razali menulis bagaimana Aziz Sattar sangat gemar memberi motivasi kepada rekan-rekan pelakon ketika berada di lokasi tampil.

Dalam film Semerah Padi (1956) misalnya, dia memberi dukungan moral kepada Nordin Ahmad supaya tampil dengan baik. Di saat Nordin frustasi, Aziz Sattar akan duduk bersamanya untuk memberi kata-kata semangat kepada Nordin.

Urung Main di Film Eat Pray Love

Meski beranjak sepuh, karisma Aziz Sattar di dunia peran tetap memukau. Menjelang usianya yang ke-84, dia ditawari untuk bermain dalam sebuah film Hollywood. Aziz Sattar rencananya berperan sebagai orang Indonesia dalam film yang sebagian diproduksi di Bali selama dua pekan.

Dalam buku Di Sebalik Tirai Layar (2018) karya Hidir Ali Razali, Aziz Sattar dihubungi oleh sebuah agensi dari Singapura. Mereka mengundangnya untuk bermain dalam satu babak saja di film Eat Pray Love (2010). Dia akan berperan sebagai seorang perawat batin dan beradu akting dengan Julia Roberts.

Setelah semua hal teknis dan kontrak ditawarkan, pelakon Melayu ini meragukan dirinya bisa hidup di Bali. Dalam benaknya, Bali merupakan kawasan pergunungan yang akan merepotkan badannya yang sudah renta.

Infografik Mozaik Abdul Aziz bin Sattar

Infografik Mozaik Abdul Aziz bin Sattar. tirto.id/Tino

Maka itu, Aziz Sattar mengajukan seorang pembantu dari kalangan keluarganya. Ajuan ini diterima oleh pihak agensi tetapi tanpa biaya tambahan. Keberatan lain adalah bayangan sendiri bahwa dia akan kesulitan mendapatkan makanan halal di Bali.

Akhirnya, tawaran ini ia tinggalkan dan lepaslah kesempatannya untuk tampil di film Hollywood. Padahal, dia bisa menjadi aktor Melayu kedua setelah Ibrahim Hassan atau Ibrahim Pendek yang bermain di film The Spiral Road (1962).

Dalam sebuah wawancara tahun 2006, wartawan Roslen Fadzil dari Bintang Popular menangkap satu tekad dari Aziz Sattar. Ia yang saat itu berusia 81 tahun hendak bermain film sampai akhir hayatnya.

"Saya akan terus berlakon selagi hayat dikandung badan," ungkapnya.

Aziz Sattar meninggal dunia di Pusat Perobatan KPJ, Kajang, Malaysia, pada 2014. Dua film terakhirnya adalah Terbaik dari Langit (2014) dan Radhi Rudy Bin Dadu (2016).

Perdana Menteri Malaysia saat itu, Najib Razak, turut mengungkapkan belasungkawa atas kepergiannya.

Baca juga artikel terkait AKTOR atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi