tirto.id - Jumlah kematian akibat COVID-19 di Indonesia dalam dua hari terakhir melonjak. Angkanya selalu di atas 200, 221 pada 20 Desember dan 205 sehari kemudian. Dengan kata lain, 9 dan 8 kematian per jam. Ini merupakan dua penambahan terbanyak sejak awal Maret.
Angka itu tentu tak bisa dianggap sepele, terlebih saat ini total kematian sudah mencapai 20.085.
“Seharusnya kita tidak menolerir satu kematian pun saat pandemi. Seharusnya kita tidak terbiasa, mencari pembanding. dan mencari kewajaran akan 20 ribu kematian ini. Setiap kematian sangat berarti karena kehidupan juga sangat berarti,” kata Muhammad Kamil kepada reporter Tirto, Senin (21/12/2020).
Kamil adalah doktor di bidang bedah saraf yang mengelola Pandemic Talks, sebuah inisiatif yang didirikan untuk mengisi gap informasi ke masyarakat terkait COVID-19. Selain Kamil, nama-nama lain yang turut dalam inisiatif ini adalah biomedical scientist Mutiara Anissa; data scientist Firdza Radiany; dan dokter sekaligus peneliti kesehatan masyarakat Pritania Astari.
Mereka memaparkan bagaimana kematian akibat COVID-19 di Indonesia semakin melonjak cepat. Berdasarkan data pemerintah, 5.000 angka kematian pertama dicatatkan dalam rentang 150 hari, 5.000 berikutnya 56 hari, berikutnya lagi 50 hari, dan 5.000 terakhir hingga jumlahnya 20.085 hanya dalam 39 hari.
Pada 21 Desember terdapat 37.445 spesimen yang diperiksa. Hasilnya: 6.848 orang terkonfirmasi positif COVID-19 (total 671.778), dinyatakan sembuh 5.073 (akumulasi 546.884), dan meninggal 205 (total 20.085).
Dengan demikian, tercatat kasus aktif atau masih dalam perawatan sebanyak 104.809 pasien atau sekitar 15,6 persen dari total yang positif. Sementara kasus suspek kemarin tercatat sebanyak 67.509.
Kita Sudah Telat
Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan melonjaknya angka kematian akibat penanganan terlambat atau memang yang terjangkiti memiliki penyakit komorbid yang memperkecil peluang kesembuhan. “Atau mungkin karena pelayanan kesehatan yang kurang maksimal,” kata Wiku kepada reporter Tirto, Senin.
Wiku bilang Satgas saat ini terus berupaya berkoordinasi dengan pihak daerah untuk terus mendorong pendeteksian dini dengan testing, tracing, dan meningkatkan kualitas treatment melalui pembagian workload dokter yang sesuai. Juga meningkatkan kualitas sarana-prasarana.
Pemerintah, kata dia, juga telah menyiapkan “plan B” jika memang permintaan tempat tidur isolasi COVID-19 meningkat, yaitu mengalihfungsikan ruangan atau pembuatan rumah sakit darurat.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan kematian adalah indikator akhir dari pandemi tertangani atau tidak. Semakin tinggi angka kematian bisa bermakna bahwa kasus COVID-19 sudah tidak bisa dideteksi secara dini sehingga orang yang terinfeksi menginfeksi orang yang berisiko tinggi.
“Ini menunjukkan juga bahwa performa pengendalian pandemi di wilayah itu tidak bagus. Kalau ada kematian berarti buruk pengendaliannya. Kalau dari trennya memang memburuk, kematian meningkat,” ujar Dicky melalui sambungan telpon, Senin.
Itu pula gambaran penanganan pandemi di Indonesia. Menurutnya, upaya pengendalian dari pemerintah telah ketinggalan jauh dari kecepatan penyebaran virus. “Jadi kita ketinggalan jauh dengan angka kematian seperti itu.”
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, pencegahan sudah tidak cukup hanya dengan imbauan untuk tetap tinggal di rumah. 3T--testing, tracing, treatment--wajib diperkuat. Selain itu, pembatasan sosial harus dijalankan dengan konsisten. “Pokonya kegiatan lain harus dibatasi dan harus terkendali dulu [pandemi]. Kalau tidak nanti makin parah dan enggak ada pilihan.”
Semakin cepatnya angka kematian ini bertambah, menurut Muhammad Kamil, menunjukkan bahwa sebenarnya jumlah kasus di Indonesia jauh di atas angka yang dilaporkan sekaligus kapasitas testing masih rendah. Selain itu juga menunjukkan sistem kesehatan yang diambang kolaps karena tak bisa menyelamatkan kelompok yang terinfeksi COVID-19 dengan gejala berat.
“Jadi peningkatan kematian harian akhir-akhir ini adalah indikasi betapa tidak terkendalinya transmisi penularan COVID-19, dan juga indikasi perlu dilakukan intervensi kebijakan untuk mencegah penularan. Hingga hulunya di putus, bukan muaranya ditambah misal menambah bed rumah sakit atau memperluas lahan pemakaman,” ujarnya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino