tirto.id - Jokowi resmi mengumumkan nama-nama menteri dalam Kabinet Indonesia Maju pada Rabu (23/10/2019) di Istana Kepresidenan. Dari 34 menteri yang ia sebutkan, delapan di antaranya dipertahankan di kementerian yang sama. Salah satunya ialah Siti Nurbaya Bakar.
Siti Nurbaya Bakar kembali dipercaya untuk menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan periode 2019-2024. Usai bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan, Selasa (22/10/2019), Siti mengaku diminta Jokowi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang belum selesai seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Selama pemerintahan kepemimpinan Jokowi, karhutla di Indonesia memang selalu terjadi. Data SiPongi Kementerian LHK menyebut pada 2014, luas karhutla di Indonesia sebesar 44,41 ribu hektare. Angka tersebut naik menjadi 2.611,41 ribu hektare pada 2015, sekaligus menjadi karhutla terluas selama pemerintahan Jokowi.
Data per 1 November 2019 menunjukkan luas karhutla di Indonesia mencapai 857,76 ribu hektare. Meski tidak sebesar tahun 2015, angka ini tercatat terus mengalami kenaikan sejak 2017.
Sumber: Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup
Tentu saja, karhutla yang terus menerus terjadi merugikan pemerintah. Asap yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan menyebar ke provinsi sekitar hingga ke negeri jiran. Seperti dikutip dalam laman setkab.go.id, kerugian akibat karhutla pada 2015 mencapai Rp220 triliun, termasuk dampak dari pembatalan penerbangan, perkantoran yang libur, serta aktivitas ekonomi yang berhenti.
Selain itu, masyarakat juga terkena imbasnya. Dalam jangka pendek, asap kebakaran hutan dan lahan menyebabkan iritasi pada selaput lender mata, hidung, tenggorokan, dan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Di Riau pada 19 September 2019, tingkat pencemaran udara akibat asap mencapai 299 atau berada di level sangat tidak sehat. Jumlah penderita ISPA di provinsi terdampak meningkat.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, Tirto bekerja sama dengan Jakpat sebagai penyedia platform melakukan survei daring dengan metode random sampling. Sebagai catatan, Jakpat adalah platform penyedia layanan survei daring yang memiliki sebanyak 321.693 responden terdaftar. Survei dilakukan pada 4-5 Oktober 2019 dan melibatkan 931 responden berusia di atas 16 tahun.
Metodologi Riset
Jumlah Responden: 931 responden
Wilayah Riset: Indonesia
Periode riset: 4-5 Oktober 2019
Instrumen penelitian: Kuesioner Online dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Random Sampling
Profil Responden
Pada survei ini, proporsi responden pria sebanyak 60,15 persen dan wanita 39,85 persen. Dari sisi usia, mayoritas responden, yaitu sebanyak 35,55 persen berusia 20-25 tahun. Hanya 5,37 persen responden yang berusia di atas 40 tahun. Sementara untuk daerah asal, mayoritas responden berada di Pulau Jawa yaitu 67,24 persen.
Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan
Mayoritas responden sudah mendapat informasi tentang Karhutla (97,21%). Mayoritas informasi didapat melalui media sosial yaitu (82,76%), kemudian melalui televisi (81,66%). Hanya 12,15 persen responden yang mendapatkan informasi karhutla melalui radio.
Praktik pembakaran yang tidak bertanggung jawab merupakan penyebab karhutla yang paling banyak disebut responden, yaitu 79,48 persen. Penyebab karhutla berikutnya adalah pembukaan lahan baru (61,98%) dan musim kemarau (55,53%). Sebanyak 0,75 persen responden menjawab bahwa kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh kelalaian manusia.
Upaya Penanggulangan Karhutla
Pemerintah tidak diam saja. Berbagai upaya dilakukan untuk menangani bencana asap yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menjelang akhir periode kepemimpinan Jokowi. Hal ini juga turut dirasakan oleh masyarakat dalam riset ini. Tiga upaya yang mendapat perhatian dari responden dalam riset ini adalah upaya menurunkan hujan buatan (24,70%), mengerahkan tim pemadam (17,94%), serta menindak tegas pelaku sebesar 12,78 persen.
Namun, upaya yang dilakukan pemerintah tidak serta-merta membuat puas responden. Sebanyak 59,51 persen responden menyatakan upaya pemerintah dalam penanggulangan karhutla masih belum tepat. Sisanya 40,49 persen menyatakan sudah tepat.
Sebanyak 21,30 persen beralasan bahwa masih terjadinya kebakaran menandakan belum tepatnya upaya penanggulangan yang dilakukan. Selain itu, 19,13 persen menyatakan hasil penanganan karhutla belum efektif, serta 13,90 persen juga menyebut bahwa sanksi yang diberikan pemerintah terhadap pelaku pembakaran belum maksimal.
Dari hasil survei ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak dari karhutla tidak hanya dirasakan oleh pemerintah. Masyarakat khususnya yang berada di daerah kebakaran sebaiknya menjadi perhatian khusus pemerintah dalam membuat kebijakan dan menentukan penanggulangan karhutla yang tepat sasaran.
Pemerintah juga perlu lebih tegas dan cepat tanggap menangani karhutla. Jika tidak, tentunya bisa saja berdampak luas bahkan hingga ke negara tetangga.
Editor: Windu Jusuf