tirto.id - Tanggal 3 November 2020 akan menjadi hari yang menentukan bagi warga negara Amerika Serikat. Pada tanggal tersebut, para voters akan memberikan suara mereka untuk memilih presiden dan wakil presiden periode 2020-2024 mendatang.
Pada Pemilu tahun ini, Donald Trump, petahana sekaligus capres asal Partai Republik akan menghadapi rival asal Partai Demokrat, sekaligus mantan wakil presiden, Joe Biden era Barack Obama.
Selain momen hajatan politik empat tahunan itu, pada hari ini pula, hampir tiga dekade lalu atau tepatnya di tahun 1992, William Jefferson Blythe III atau akrab dipanggi Bill Clinton memenangi Pemilu dan terpilih sebagai presiden AS. Pada tahun tersebut, pria yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Arkansas, bersaing dengan calon petahana, George H. W. Bush.
Selain dengan Bush, pada Pemilu tahun tersebut, miliarder asal Texas Ross Perot juga maju sebagai calon independen dan berada di peringkat ketiga. Kendati kalah, Perot sukses mengacaukan suara pemilih dari dua partai penguasa itu.
Mengutip laporan dari New York Times, dari total 83 persen dari wilayah negara bagian yang melaporkan hasil pemungutan suara, Clinton meraup 43 persen, dan 38 persen untuk Bush yang berada di belakangnya. Sementara Perot meraih 18 persen suara.
Dari jumlah perincian masing-masing negara bagian, Clinton tercatat memenangi 345 suara elektoral, dari 270 jumlah yang dibutuhkan untuk memenangkan electoral college.
"Pada hari ini, dengan harapan yang tinggi dan hati yang berani, dalam jumlah yang sangat besar, rakyat Amerika telah memilih untuk membuat permulaan yang baru," ujarnya dalam pidato kemenangan di Little Rock, seperti dilansir New York Times.
Lebih jauh, ia juga menggambarkan Pemilu kala itu sebagai "seruan keras" untuk menangani sejumlah masalah domestik yang terlalu lama diabaikan dan demi menyatukan bangsa.
"Kami ingin masa depan kami kembali. Saya bermaksud memberikannya kepada Anda." Imbuhnya.
Kekalahan Bush atas Clinton sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sebab, jagoan utama dari Partai Republik tersebut dinilai gagal dalam menepati janji kampanyenya kala itu: tidak menaikan pajak.
Tak hanya itu, ada satu dosa besar yang merupakan penyebab utama gagalnya Bush untuk kembali menjabat sebagai orang nomor satu di Negeri Paman Sam. Ia telah gagal mencegah AS terjun ke dalam jurang resesi ekonomi.
Sebagaimana dilaporkan Forbes, pada tahun1990 hingga 1991, resesi di Amerika berlangsung selama delapan bulan dan menyebabkan pengangguran meningkat menjadi 7,8 persen. Gejolak pasar saham, kenaikan pajak, perang di Timur Tengah hingga lonjakan harga minyak menjadi penyebab utama runtuhnya ekonomi AS.
Alasan ekonomi itu pula, yang digunakan tim kampanye Clinton untuk mencegah langkah Bush ke kursi Presiden. Staf analisis politik Clinton, James Carville menggunakan kelemahan Bush tersebut melalui sebuah tagline kampanye yang tajam.
"Bukankah perekonomian kita tampak 'bodoh'," tulis Carville menyinggung Bush, seperti dikutip dari Biography.com.
Kendati jalannya menuju Gedung Putih begitu mulus, tatkala menjabat sebagai Presiden AS, karier Clinton bisa dibilang sangat berliku. Salah satu yang paling mengejutkan publik adalah skandalnya dengan salah seorang staf Gedung Putih, Monica Lewinski.
Peristiwa itu, semakin mencoreng wajah suami dari Hillary Clinton itu ketika dirinya tidak mau mengaku di awal dan memilih mengakui saat masa jabatan dia sudah mau berakhir.
Di samping skandal seks, Clinton juga menuai gelombang kritik kencang ketika AS gagal menjalankan misi militer di Somalia serta dinilai lamban merespons pembantaian di Rwanda.
Namun, di balik itu semua, politisi Demokrat ini juga beberapa kali menuai pujian karena kontribusinya di beberapa bidang. Mengutip Britanica, beberapa hal membanggakan antara lain penandatanganan hukum pengendalian kriminal, penambahan 100 anggota polisi, rendahnya tingkat pengangguran, rendahnya inflasi dalam satu dekade, tingginya tingkat kepemilikan rumah dan meningkatnya kesetaraan ekonomi.
Selain di dalam negeri, nama Clinton juga patut diberi apresiasi oleh dunia internasional. Salah satunya tatkala menjadi saksi saat pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Pemimpin Israel, Yitzhak Rabin menyetujui Perjanjian Oslo pada 1993.
Berdasarkan ketentuan kesepakatan itu, Israel setuju untuk menarik pasukannya dari Jalur Gaza dan Tepi Barat pada April 1994. Pemilu juga akan diadakan di wilayah tersebut untuk memungkinkan Palestina memiliki pemerintahan sendiri.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Yantina Debora