Menuju konten utama

2020 adalah Tahunnya Zoom

Zoom menggeser popularitas Skype selama pandemi COVID-19 dengan kualitas video yang jauh lebih baik. Istilah 'Zoom fatigue' pun muncul.

2020 adalah Tahunnya Zoom
CEO Zoom Eric Yuan di Nasdaq Kamis, 18 April 2019, di New York. Mark Lennihan/AP

tirto.id - Jauh sebelum 2020 menyapa dunia, "Skype" merupakan nama yang melekat untuk teknologi komunikasi tatap muka (video conferencing), sama seperti "Aqua" untuk air kemasan atau "odol" untuk pasta gigi.

Skype, yang digagas Priit Kasesalu dan Jaan Tallinn pada 2003 silam, menjadi penguasa teknologi video conferencing dengan 107 juta pengguna per bulan pada 2011. Kala itu, sebagaimana dilaporkan Andrew Ross Sorkin untuk The New York Times, tiap pengguna Skype rata-rata menghabiskan waktu hingga 100 menit per bulan untuk tatap muka secara virtual.

Atas kesuksesan tersebut, Stephen Elop, yang pada dekade 2010-an masih berstatus sebagai CEO Nokia, menyebut bahwa Skype "sangat dibenci operator selular". Ia dipandang bisa menghancurkan bisnis telepon dan SMS.

Lalu tibalah 2011. Dalam laporan Chris Stokel-Walker untuk Wired, status Skype sebagai kata kerja goyah pada tahun itu, wabilkhusus usai Microsoft membeli Skype dengan mahar USD 8,5 miliar pada Mei 2011. Di tangan Microsoft, kekuatan utama Skype, panggilan video berbasis peer-to-peer, tak dikembangkan lebih jauh. Perusahaan yang sukses karena Windows dan Office ini, tulis Stokel-Walker, memilih mendesain ulang Skype "menjadi lebih seksi, muda, dan diharapkan dapat bersaing dengan WhatsApp serta Telegram," . Di tangan Microsoft, muncul "mojis" alias emoji versi Skype. Ada pula banyak fitur ala Snapchat di dalam diri Skype. Tak ketinggalan, untuk memikat lebih banyak pengguna, Microsoft mem-bundling Skype dengan Team, layanan ciptaan Microsoft yang digagas untuk membendung Slack.

Skype ala Microsoft, tutur Om Malik, investor True Venture yang turut terlibat dalam pengembangan Skype, "sangat mengerikan dan membuat saya berpikir bahwa ini mungkin menjadi pertanda terakhir kalinya saya menggunakan Skype".

Akhirnya, tahun terburuk itu pun tiba. Di tengah pandemi COVID-19 yang membuat masyarakat dunia dipaksa bekerja dan belajar di rumah, kebutuhan layanan video conferencing pun tak terelakkan. Zoom pun berjaya.

Tahun 2020, tahun yang mengerikan bagi umat manusia, menjadi masa keemasan Zoom.

Tidak Tiba-Tiba Mencuat

Banyak aplikasi populer di dunia maya dari Facebook, Instagram, Gmail, hingga WhatsApp lahir dari tangan insinyur Amerika Serikat. Zoom tidak termasuk di antaranya. Aplikasi ini lahir melalui tangan seorang bernama Eric Yuan, pria yang lahir di wilayah di Provinsi Shandong, Cina, pada 1970.

Tiga dekade silam, sebagaimana dikisahkan Benjamin Stupples dalam laporannya untuk Bloomberg, Yuan muda mendengarkan pidato Bill Gates yang menyatakan internet sebagai masa depan. Tak pikir panjang, ia langsung memutuskan untuk merantau ke Lembah Silikon, kawah tempat lahirnya startup-startup dunia. Namun, perantauannya yang dimulai pada 1997 itu tak berlabuh di perusahaan rintisan, melainkan perusahaan mapan bernama WebEx. Di WebEx, Yuan bekerja mengembangkan aplikasi video conferencing, bukan untuk publik melainkan buat kalangan bisnis. Ketika WebEx diakuisisi Cisco pada 2007, Yuan ikutan menjadi karyawan Cisco. Ia melayanani klien-klien berdasi Cisco agar mau menggunakan aplikasi video conferencing WebEx.

Bagi Yuan, video conferencing WebEx adalah barang bagus. Sialnya, aplikasi yang bagus ini hanya dicicipi oleh kalangan pebisnis, bukan masyarakat biasa. Sebelum 2011, Yuan mendeklarasikan ide penciptaan video conferencing WebEx untuk masyarakat umum yang ramah digunakan di ponsel pintar. Naas, ide Yuan ditolak mentah-mentah Cisco. Ia hengkang pada 2011 untuk merealisasikan idenya. Beruntung, seorang teman bernama Dan Scheinman, rekannya di Cisco, mau memberikan uang senilai USD 250.000 untuk merealisasikan ide Yuan.

Waktu berlalu. Zoom lahir dari tangan Yuan, seorang imigran di AS keturunan Cina.

Laporan lain Chris Stokel-Walker menyebut satu alasan mengapa Cisco menolak ide Yuan, yakni Skype yang telah digunakan banyak orang. Tak hanya itu, pada saat bersamaan, Google pun telah memiliki portofolio serupa. Bagi Cisco, menciptakan video conferencing ala WebEx bagi kalangan umum sama saja dengan bunuh diri. Untunglah, Yuan tak menyerah. Tercatat, Yuan menghabiskan waktu selama dua tahun untuk mengembangkan Zoom. Tepat pada 2013, Zoom resmi dapat digunakan di seluruh dunia.

Untuk dapat bersaing dengan Skype, yang kala itu menggenggam gelar sebagai "kata kerja" bagi video conferencing, Zoom bermain di pondasi paling dasar video conferencing: kualitas video/audio serta kemudahan. Stokel-Walker menyebut kualitas video/audio Zoom lebih baik karena tidak memiliki fitur-fitur "aneh" ala Microsoft di Skype. Sementara itu, di sisi kemudahan, Zoom tidak mewajibkan penggunanya untuk meregistrasi diri. Tanpa registrasi, pengguna diberikan waktu gratis "bertemu secara virtual" selama 40 menit. Bagi yang kurang, Zoom meminta penggunanya untuk meregistrasi diri dan berlangganan.

Cara tersebut terbukti jitu. Sebelum Corona menampakkan dirinya, Zoom memiliki 10 juta pengguna dan sukses secara keuangan. Merujuk laporan Bloomberg, pada 2019 Zoom mendulang pendapatan sebesar USD 331 juta, dengan untung bersih senilai USD 7,6 juta.

Tatkala pandemi Corona mengguncang dunia, Zoom pun berkibar. Alasannya sederhana: ketika Skype semakin tak berkualitas, jurnalis teknologi merekomendasikan Zoom agar digunakan untuk bekerja/belajar dari rumah. Tercatat, di bulan-bulan awal Corona, 195.000 artikel memuat nama Zoom untuk digunakan, unggul jauh dibandingkan Skype yang hanya dinukil 50.000 artikel.

Di tengah Corona, 200 juta manusia di seluruh dunia, termasuk di 90.000 sekolah, memanfaatkan Zoom.

Darren Murph, salah satu petinggi GitLab, menyebut Zoom "bagian krusial dari cara kita berkomunikasi" di tengah pandemi. Bagi Murph, Zoom merupakan pilihan terbaik di antara semua aplikasi video conferencing, Zoom dapat melayani konferensi virtual "yang dihadiri 600 orang tanpa kendala apapun".

Infografik Efektivitas Konferensi Video

Infografik Efektivitas Konferensi Video. tirto.id/Quita

Popularitas yang meroket itu rupanya juga memunculkan sisi negatif Zoom. Dengan sistem otentikasi yang terasa seadanya, siapapun dapat secara acak menebak meeting ID dan menciptakan kerusuhan virtual bernama "Zoombombing". Tak hanya itu, sebagaimana dilaporkan Micah Lee dan Yael Grauer pada Maret 2020, Zoom tidak melindungi penggunanya dengan enskripsi ujung-ke-ujung (end-to-end encryption). Zoom hanya mengandalkan proteksi TLS yang setingkat dengan keamanan ala HTTPS. TLS hanya melindungi data yang sedang melanglangbuana di internet, bukan data di pihak pengguna--dan melindungi pengguna dari Zoom sendiri.

Tak hanya itu, pada bulan-bulan awal pandemi, Zoom mengarahkan jaringan (router) penggunanya ke Cina, bukan langsung ke server Zoom.

Cela tak hanya muncul dalam diri Zoom, juga para penggunanya. Penulis The New Yorker Jeffrey Toobin, yang mengira bahwa webcam yang digunakan mati, bermain-main dengan alat kelaminnya di tengah rapat Zoom. Seorang pejabat asal Filipina bernama Jesus Estil tak sengaja menyiarkan hubungan asmaranya dengan sang sekretaris. Ada pula guru-guru yang melaporkan bahwa orang tua anak-anak mereka yang tengah belajar secara online rupanya sedang mabuk. Brenda K. Wiederhold, dalam "Connecting Through Technology During the Coronavirus Disease 2019 Pandemic: Avoiding Zoom Fatigue" (Juli 2020) menyebut bahwa saking terlalu seringnya masyarakat modern berkomunikasi via Zoom, muncullah "Zoom fatigue" alias kelelahan di depan Zoom.

Wiederhold menjelaskan, Zoom fatigue terjadi karena teknologi ini mengganggu metode alami manusia berkomunikasi. Secara alamiah, tatkala berkomunikasi, manusia butuh mendapatkan respon seketika dari lawan bicaranya. Dalam Zoom, komunikasi terganggu oleh delay, yang tidak memungkinkan para penggunanya memperoleh respon seketika. Ketika terjadi berlarut-larut, proses ini menganggu kinerja otak dan menyebabkan kelelahan. Tak hanya itu, berkomunikasi via Zoom menghilangkan isyarat non-verbal dari lawan bicara. Lagi-lagi, ini melelahkan.

Di tengah cela yang timbul, entah di sisi Zoom sendiri maupun penggunanya, 2020 adalah tahunnya Zoom.

Baca juga artikel terkait ZOOM atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf