tirto.id - Memasuki musim kemarau, isu polusi udara terus menjadi bahan perbincangan. Pemerintah bersikeras mengatakan bahwa sumber polusi udara dari kendaraan bermotor.
Pemerintah lantas mengimbau kepada masyarakat agar beralih ke transportasi umum dan kendaraan listrik. Namun enggan menyebutkan pencemaran juga berasal dari kawasan Industri dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sikap tersebut seolah menunjukan pemerintah keras kepada warga, namun lembek terhadap industri. Sampai akhirnya pemerintah berani mengakui jika industri dan PLTU juga merupakan sumber pencemar udara.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sektor transportasi menyumbang 44%, industri 31%, manufaktur 10%, perumahan 14% dan komersial 1%. Jika lebih didetailkan lagi, SO2 (sulfur) memang berasal dari PLTU dan industri manufacturing berkontribusi sebesar 61,96%.
Tirto membahasnya bersama Vital Strategis yang beberapa tahun belakangan ini melakukan penelitian secara saintis perihal polusi udara di Jakarta. Simak wawancara khusus Tirto dengan Senior Country Coordinator Vital Strategies Chintya Imelda Maidir dan Ginanjar Syuhada sebagai Health Analyst di kawasan Jakarta Selatan pada Selasa (12/9/2023).
Saat ini polusi udara masih terus menjadi perbincangan. Berdasarkan penelitian dari Vital Strategis, dari mana saja sumber emisi?
Data terakhir yang memang kita pakai itu tahun 2019 yang dipublikasikan tahun 2020 tentang emisi bergerak dan tidak bergerak. Sebelumnya tahun 2015 ada kajian source of apportionment. Pada saat diukur musim kemarau dan hujan, itu hasil kami menjelaskan bahwa di sekitaran 32-50% kontribusi terhadap polutan udara embien PM2.5. Lalu ada gas aerosol yang membuang Co2 dari knalpot atau cerobong asap industri itu kontribusinya 1-16%. Jadi jelas pada kajian 2015 bahwa kendaraan sumber terbesar saat musim kemarau dan hujan.
Kemudian pada 2019 kami juga mengukur kembali sumber polusi udara yaitu 44% dari transportasi, 30-an% dari industri, selebihnya dari PLTU, pembakaran sampah terbuka, dan sebagainya.
Kalau kendaraan, karena kita pakai pengukuran yang PM2.5 partikel, 32% itu dari kendaraan besar atau HDV itu kaya truk, kendaraan logistik, bus, dan sebagainya, itu kajian 2015. Kedua sumber terbesar dari transportasi itu motor. Ketiga itu yang pakai bahan bakar diesel [pdf].
Selain transportasi dan industri, dari mana lagi sumber emisi penyebab polusi udara?
Ada pembakaran sampah terbuka 9%, termasuk kalau ada dari gas-gas bereaksi yang jadi partikel 10%, garam laut 19%, debu konstruksi 10%, hingga debu jalanan 9%. Sedangkan saat musim penghujan asap kendaraan 32%, pembakaran batubara 14%, aktivitas konstruksi 13%, pembakaran terbuka 11%, debu jalanan 6%, aerosol sekunder 6% dan garam laut 1%.
Kalau berdasarkan kajian dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), penyumbang terbesar itu dari PLTU?
Inventarisasi emisi itu ada standar metodologinya, dan Permen KLHK-nya untuk menghitung. Nah, CREA mengkalkulasinya sehingga menyebutkan PLTU atau PLTU Suralaya sebagai sumber utama polusi udara Jakarta.
Tapi setahu kami mereka tidak melakukan inventarisasi emisi, tak melakukan source of apportionment, memang lebih banyak menggunakan data citra satelit. Memang bisa digunakan, tapi tidak bisa mentah-mentah, karena tetap harus divalidasi dengan reference grade dari air quality data.
Lalu kedua kalau dibilang PLTU Suralaya penyebab polusi udara di Jakarta saat musim kemarau, itu tidak, karena di luar data-data inventarisasi emisi dan sebagainya, arah angin membuktikan itu tidak benar karena arah angin sekarang dari timur, jadi tidak mungkin secara meteorologi itu PLTU Suralaya penyebabnya.
Alat pengukur kualitas udaranya untuk mengukur sumber dari transportasi hingga industri itu pakai apa? Pakai SPKU atau ada alat lainnya?
Kalau sumber emisi itu berdasarkan metodelogi, ada reseptor, ada inventarisasi emisi, ada gas emited. Kalau udara ambien itu kan berdasarkan alat air quality monitoring system. Nah itu ada levelnya juga. Yang paling akurat itu reference grade atau SPKU, ada low cost sensor, sampai low cost sensor kaya yang punyanya Nafas, air visual, dan sebagainya. Sekarang SPKU ada milik DKI lima, KLHK satu, dan BMKG satu. Itu yang bisa digunakan untuk pengambilan kebijakan.
Kalau kita mengambil paling bawah yaitu low cost sensor, selain untuk mendukung, itu hanya sebagai informasi hotspot, tidak bisa dibilang itu sebagai udara ambien di sekitar. Low cost sensor juga tidak bisa merepresentasikan di wilayah tersebut udaranya buruk. Low cost sensor di banyak negara itu biasa digunakan untuk adaptasi iklim, lingkungan, misalnya di titik-titik kebakaran hutan, itu penggunaannya untuk itu.
Kemudian low cost sensor masih pakai air quality index Amerika Serikat. Kalau yang SPKU pemerintah itu pakai indeks standar pencemar udara (ISPU). Secara perhitungan batas bawah dan batas atasnya juga berbeda. Itu membuat implikasi, mungkin yang di IQAir itu sudah naik atau beda warna oranye, tapi ISPU masih kuning, itu banyak terjadi. Itu perlu di-compare.
Polusi udara disebut pemerintah meningkat saat musim kemarau. Memang seberapa besar pengaruhnya?
Kalau musim kemarau lebih tinggi karena tekanan, lamanya polutan di atmosfer itu jelas lebih besar, sehingga kadar polutan menjadi naik. Faktor dari tekanan udara, lalu topologi dari Jakarta, arah angin, jadi saat musim kemarau ini jadi lebih tinggi dibanding musim hujan. Kalau lebih detail mungkin BMKG yang bisa menjelaskan.
Kalau di Jakarta, kriteria seperti apa yang menyebabkan wilayah yang menjadi sumber polutannya tinggi?
Pertama yang adanya konsentrasi sumber emisi, entah dari transportasi, kegiatan industri. Misalnya di wilayah Marunda Jakarta Utara yang banyak kendaraan besar, kawasan industri, batubara. Saat ini arah angin dari Timur Laut, jadi kalau dari PLTU Suralaya itu tidak benar. Kalau lagi musim kemarau itu ke arah selat Sunda.
Apa saja dampak dari polusi udara terhadap kesehatan?
Jadi dampak dari polusi udara kami bagi menjadi dua, polusi udara dapat memicu kematian bayi atau kematian yang disebabkan oleh stroke, jantung koroner. Lalu dampaknya lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan rendah, itu ada korelasinya ke sana. Kemudian bisa berdampak ke ISPA, pneumonia ketika partikel PM2.5 nya terhirup dan ada bakterinya, hingga stunting pada anak.
Vital Strategis melakukan penelitian dan dipublikasikan di jurnal Environmental Research and Public Health edisi Februari 2023. Hasil kesimpulan penelitian menunjukkan lebih dari 10.000 kematian dan lebih dari 5.000 pasien rawat inap yang dikaitkan dengan polusi udara setiap tahun di Jakarta.
Apakah ada dampak secara ekonomi?
Jika diakumulasikan, total biaya tahunan dampak kesehatan akibat dari polusi udara mencapai sekitar 2.943,42 juta dollar Amerika Serikat atau setara dengan 2,2% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta. Total beban ekonomi jika dirupiahkan sebesar Rp41.2 triliun.
Kemudian pada tahun 2019, Bank Dunia juga melaporkan bahwa polusi udara di Indonesia disebabkan oleh biaya tahunan lebih dari USD 220 miliar atau 6,6% dari PDB Indonesia.
Dalam menangani polusi udara, pemerintah mengimbau masyarakat agar beralih ke transportasi publik, kendaraan listrik, hingga uji emisi. Apakah itu efektif?
Sebenarnya sih berdasarkan sumber emisi kendaraan sumber terbesar. Terbesar itu dari kendaraan besar atau logistik. Tapi apakah kendaraan pribadi berkontribusi sebesar itu?
Kalau soal industri, aku mengakui itu memang penindakannya masih sangat lemah, jadi kan kalau di negara-negara lain harus memasang alat untuk menyaring emiten yang keluar dari cerobong asap, tapi kalau di Indonesia ada komplikasi regulasi. Ada banyak gap, contohnya ketika industri melakukan pelaporan ke KLHK dan Dinas Lingkungan Hidup, ada laporan, dan ada audit sampling ke industri itu enam bulan sekali, paling cuma beberapa saja yang diaudit. Kalau memang melanggar baku mutu, ditegur, administratif, hingga penutupan.
Kalau penanganan sanksi tilang bagi kendaraan yang belum uji emisi gimana?
Kalau dari kajian kita itu, jika intervensi dilakukan, kontribusinya untuk mengurangi polusi udara bisa 32% hingga tahun 2030.
Tapi sekarang telah dihilangkan sanksi tilang untuk kendaraan yang belum atau tidak lolos uji emisi.
Sebenarnya sekarang yang bisa dilakukan itu mendukung satgas uji emisi dan Pemprov DKI untuk memperkuat, karena edukasi publik juga belum kuat. Publik juga tidak tahu kalau uji emisi itu apa sih yang diukur, faktor apa saja yang memengaruhinya.
Tapi kenapa polisi bilang tilang emisi itu tidak efektif? Itu underestimate kepada publik. Padahal kan kebijakan itu sudah dibuat regulasinya sejak tahun 2009 (UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), baru diberlakukan sekarang, dibilang tidak efektif dari mana.
'Kemarin dibilang tilang, sekarang tidak'. Jadi tidak konsisten. Kalau dibilang dari dulu bengkel belum siap, ya nggak pernah siap. Bengkel nanti akan tumbuh dengan sendirinya jika ada uji emisi. Atau diterapkan juga di bengkel kalau uji emisi bagian dari servis berkala.
Bagaimana dengan watermist? Efektifkah?
Sampai sejauh ini, kami tidak ada stand position untuk Watermist itu, termasuk dari negara-negara lain. Ada beberapa kajian yang menyebut memang itu tidak efektif. Terus penyemprotan jalan juga malah memecah debu besar menjadi PM2.5, jadi malah lebih berbahaya. Artinya kita lihat itu hanya upaya pemerintah agar seolah-olah mereka merespons polusi udara yang terjadi. Memang harus cepat kayak penanaman pohon, watermist.
Tapi yang paling penting jangan hanya tindakan jangka pendek saja, tapi pikiran juga jangka panjang. Nanti ketika hujan keluar, ditambah masa kampanye pemilu, hilang lagi isu polusi udara. Harus dipikirkan bagaimana milestone-nya ke depan, kalau pas kemarau ke depan, tidak perlu lucu-lucuan kayak gini lagi.
Sebenarnya Pemprov DKI sudah punya keputusan gubernur (Kepgub) Nomor 576 Tahun 2023 tentang strategi pengendalian pencemaran udara, itu sudah cukup komperhensif intervensi dan rencana apa saja yang baik sampai tahun 2030 untuk penurunan polusi udara. Itu jadi pegangan Bapedda untuk perencanaan dan dinas-dinas terkait.
Kemudian kan kegagapan pemerintah itu terjadi karena mereka tidak memiliki data sebagai pegangan. Itu fatal sih. Contohnya industri, harusnya kan reporting dilakukan ke berbagai sistem. Setelah terjadi ahli sampai Vital Strategis dipanggil, data kami dipakai. Kegagapan itu yang tidak berbasis data itu fatal. Harusnya ada secara berkala, tidak cuma Jakarta, tapi daerah lain juga. Kalau itu sudah kan enak, kalau mau melakukan upaya pencegahan dan penanganan juga sudah tahu.
Kami juga sedang mengerjakan penelitian tahun 2023. Kami akan update kontribusi transportasi hingga industri terhadap polusi udara masih sama atau ada pergeseran. Jadi kalau sumber daya pemerintah melakukan secara kolektif menangani kualitas udara diperkirakan pada tahun 2030 akan bisa balik kondisi kualitas udara ke tahun 2018, jadi yang nggak besar banget. Artinya, perlu sesuatu yang komprehensif untuk daerah penyangga.
Dari segi penanganan polusi udara tadi ada yang efektif dan tidak efektif. Menurut Anda, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?
Jadi yang bisa kami promosikan sekarang itu uji emisi. Terkait dengan inventarisasi kami jalan, KLHK bisa melakukan inventarisasi emisi Jabodetabek, termasuk untuk industri, yang bisa dilakukan adalah memperketat izin kualitas lingkungan, auditnya. Lalu jalankan Kepgub 576/2023 itu soal strategi pengendalian pencemaran udara.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri