tirto.id - Laut termasuk hal yang dilupakan para penguasa feodal pribumi Indonesia setelah munculnya kerajaan-kerajaan Islam, terutama di Jawa. Gertakan Adipati Unus kepada Portugis, ketika jadi penguasa Demak, adalah gertakan penguasa-penguasa Jawa di laut. Setelah VOC Belanda datang ke Jawa, Mataram yang menjadi kerajaan paling berkuasa di tanah Jawa, nyatanya tak pernah sanggup mengimbangi kekuatan armada laut VOC. Hingga pelan-pelan VOC pun berkuasa di Nusantara sejak 1602.
Sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam, sejarah Indonesia mencatat, Sriwijaya dan Majapahit adalah kerajaan yang berkuasa di laut. Mereka akhirnya punya banyak wilayah, yang diklaim sebagai wilayah taklukan. Baik Sriwijaya maupun Majapahit itu dianggap pemersatu Nusantara.
Namun, kejayaan itu tidak berlangsung lama. Tentu saja armada laut yang buruk menjadi kelemahan Indonesia, sehingga dengan mudahnya dikuasai bangsa-bangsa Eropa, termasuk Belanda dengan maskapai dagangnya: Vereniging Oost-Indische Compagnie (VOC).
Pelaut Indonesia di Geladak
“Melihat sejarah Indonesia dari wilayah daratan saja membawa akibat bahwa pengetahuan dan pandangan tentang masa lampau—yang merupakan dasar untuk mengenal masa lampau—yang merupakan dasar untuk mengenal dan mengerti masa kini—selalu berat sebelah.” tulis Adrianus Bernard Lapian di awal karyanya Orang Laut Bajak Laut Raja Laut (2009). Begitulah kecenderungan melihat sejarah di masa lalu, termasuk melihat sejarah Maritim Indonesia.
“Geladak kapal pribumi tak boleh diabaikan,” pesan Lapian. Tentu saja Lapian benar. Indonesia sebagai negara Maritim adalah takdir sekaligus harga mati. Memang sudah sedari dulu Indonesia punya budaya maritim. Relief kapal kayu bercadik di Candi Borobudur, merupakan sebuah rekaman kemaritiman Indonesia. Kapal semacam itu dipakai setidaknya sejak era Sriwijaya di abad VII. Banyak sejarawan Indonesia percaya kapal dari Indonesia sudah mencapai Madagaskar, sisi timur benua Afrika.
Budaya kemaritiman Indonesia setidaknya terangkum juga dalam sebuah lagu yang sering dinyanyikan anak-anak, Nenek Moyangku Seorang. Cerita kegagahan pelaut Indonesia di masa lalu terekam dalam karya sastra. Masyarakat Melayu punya Hikayat Hang Tuah yang berlatar cerita masa akhir kejayaan Majapahit. Tentang pelaut hebat bernama Hang Tuah. Hang Tuah punya kawan sesama pelaut seperti Hang Lekir, Hang Kesturi, Hang Lekiu.
Masyarakat Bugis, dalam Sureq La Galigo, menggambarkan sosok Sawerigading sang nahkoda yang mejelajah lautan dan tak terkalahkan. Banyak yang berpikir orang Bugis adalah bangsa pelaut. Namun, ahli Bugis legendaris asal Perancis, Christian Pelras, dalam bukunya Manusia Bugis (2006), membantah jika Bugis adalah bangsa pelaut, karena banyak di antara mereka yang jadi petani di tanah Sulawesi Selatan yang subur.
Baik Hang Tuah maupun Sawerigading merupakan semacam Sinbad, pelaut pahlawan fiksi dari Negeri Seribu Satu Malam. Jika Melayu dan Bugis punya, maka Jawa, sebagai peradaban Jawa terbesar, justru tak memiliki tokoh fiksi seperti Hang Tuah maupun Sawerigading. Namun, bukan berarti tak ada budaya maritim di Jawa. Meski pelaut Jawa tak sesohor pelaut Bugis atau Makassar. Di Jawa setidaknya ada tempat pembuatan kapal seperti di Sulawesi dan Sumatera.
Menurut Nugroho Notosusanto dan sejarawan lain, yang merilis buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV (1977), Juana, Rembang, Lasem yang dekat dengan hutan-hutan jati di daerah Blora, dianggap produsen kapal kayu di masa lalu. Daerah di timur Rembang, seperti Tuban lalu Gresik, di masa lalu merupakan kota-kota pelabuhan, sebelum munculnya Surabaya. Tentunya orang-orang Indonesia yang jadi pelaut di Jawa juga ada.
Banyak orang Indonesia bekerja sebagai pelaut sejak dulu kala. Kebanyakan sebagai pelaut kapal kayu tradisional. Perlahan sejak abad XX, banyak orang Indonesi menjadi pelaut di Angkatan Laut Belanda atau Koninklijk Marine atau perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Orang Indonesia yang jadi pelaut militer tentu bertambah di tahun 1940, setelah Belanda diduduki Jerman. Ada iklan perekrutan pelaut militer, “Saja orang Marine, ikoetlah saja!”
Mencoreng Wajah Angkatan Laut Belanda
Sekolah pelaut untuk menghasilkan pelaut-pelaut, setidaknya sudah ada di Makassar pada 1924. Sekolah guru pelaut pribumi itu bernama Kweekschool voor Inlandsche Schepeling (KIS). Usaha pendirian sekolah pelaut di Padang dan Makassar itu sudah ada sejak 1914. Di tahun 1930-an sudah banyak orang Indonesia yang menjadi pelaut di Angkatan Laut Belanda. Namun, mereka di bawah komando perwira dan nakhoda Belanda.
Martin Paradja, Kawilarang, Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, dan Simon termasuk pelaut-pelaut militer itu. Merekalah yang kemudian terlibat dalam pemberontakan kapal Zeven Provincien yang dimulai pada 4 Februari 1933.
Paradja beserta pelaut pribumi, dengan bantuan Maud Boshart dan pelaut Belanda lain, berontak di Kapal Perang Zeven Provincien. Mereka mengambil alih kapal dan meninggalkan kapten kapal di daratan. Peristiwa ini jelas memalukan bagi Angkatan Laut Belanda, yang kala itu menjajah nusantara.
Tanggal 10 Februari 1933, ketika setelah melewati Selat Sunda, kapal yang dikuasai pemberontak itu terus dikawal dua kapal torpedo Angkatan Laut Belanda. Pesawat amfibi Dornier mengitari kapal itu. Kapal itu ditekan untuk menyerah, tetapi mereka bersikeras bergerak ke Surabaya. Bom seberat 50 kg pun akhirnya dijatuhkan ke kapal hingga beberapa pemberontak terluka.
Mereka kemudian ditangkap dan dipenjara di Pulau Onrust. Pemberontak juga dimakamkan di Onrust juga. Martin Paradja, Kawilarang dan yang tewas lainnya dimakamkan di sana juga, sebelum akhirnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Meski begitu, kisah heroik pelaut-pelaut itu kurang mendapat tempat dalam penulisan sejarah Angkatan Laut karena ada anasir kiri dalam pemberontakan itu. Bagaimana pun pemberontakan itu adalah perlawanan penting pelaut Indonesia terhadap Belanda. Saat itu pula pelaut-pelaut Indonesia menunjukan eksistensinya dalam sejarah Indonesia.
Selamat Hari Maritim Nasional 21 Agustus!
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti