Menuju konten utama

Menguji Ketangguhan KPK Lewat Praperadilan Setya Novanto

Kekalahan lima kali pada praperadilan sebelumnya akan menjadi pelajaran berharga bagi KPK untuk menghadapi sidang praperadilan Novanto yang dikenal “licin” ini.

Menguji Ketangguhan KPK Lewat Praperadilan Setya Novanto
Sidang perdana praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto terkait kasus korupsi E-KTP digelar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/09/2017). tirto.id/AndreyGromico

tirto.id - Sidang praperadilan Setya Novanto digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (20/9/2017). Cepi Iskandari yang ditunjuk sebagai hakim tunggal akan menjadi penentu kelanjutan keterlibatan Novanto dalam kasus dugaan korupsi e-KTP yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengaku komisi antirasuah telah mempersiapkan diri menghadapi sidang perdana praperadilan yang diajukan oleh Ketua DPR RI, Setya Novanto. Sejumlah hal yang sudah dilakukan KPK, antara lain soal administrasi dan persiapan teknis, termasuk menyiapkan saksi ahli untuk sidang praperadilan.

“Kami masih terus melakukan persiapan bahan-bahan menghadapi praperadilan tersebut,” kata Febri, seperti dikutip Antara, Selasa (19/9/2017) malam.

Febri menuturkan, komisi antirasuah berharap proses praperadilan tersebut akan menghasilkan sesuatu yang bisa menguatkan upaya pengusutan kasus korupsi e-KTP. Hal ini wajar mengingat sejumlah tekanan yang dihadapi KPK dalam menangani kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Dalam kasus korupsi e-KTP ini, KPK telah menetapkan Novanto sebagai tersangka sejak 17 Juli 2017. Penetapan ini dilakukan setelah komisi antirasuah mencermati persidangan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Sugiharto dan Irman.

Irman dan Sugiharto telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 20 Juli 2017. Irman diganjar 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsidier 6 bulan kurungan, sementara Sugiharto dijatuhi hukuman 5 tahun dan denda sebesar Rp400 juta subsidier 6 bulan kurungan.

Novanto yang dikenal sebagai politisi “licin” ini mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan, pada Senin (4/9/2017). Sidang perdana praperadilan Ketua Umum DPP Partai Golkar ini sejatinya digelar pada minggu lalu, Selasa (12/9/2017), tetapi ditunda.

Penundaan tersebut atas permintaan perwakilan KPK yang menyerahkan surat pemberitahuan penundaan sidang selama tiga pekan kepada hakim praperadilan PN Jakarta Selatan, Cepi Iskandar. Dalam surat pemberitahuan itu, KPK belum bisa menghadiri persidangan praperadilan Novanto karena permasalahan administrasi.

Pihak KPK masih mempersiapkan sejumlah berkas administrasi untuk menghadapi sidang tersebut. Sayangnya, pihak KPK tidak merinci kelengkapan administrasi yang dimaksud. KPK berharap hakim bisa menunda perkara selama tiga pekan agar komisi antirasuah bisa melengkapi administrasi.

Baca juga: Alasan Sidang Praperadilan Setnov Ditunda 20 September 2017

Menguji Ketangguhan KPK

Permintaan KPK untuk menunda sidang pada minggu lalu dapat dibaca sebagai bentuk kehati-hatian komisi antirasuah dalam menghadapi praperadilan yang diajukan Novanto. Apalagi Novanto beberapa kali disebut terlibat dalam berbagai skandal kasus korupsi, namun selalu berhasil lolos.

Kasus pertama yang memunculkan nama Novanto adalah mega skandal Bank Bali senilai Rp904 miliar pada 1999. Kasus ini bermula ketika Rudy Ramli, pemilik Bank Bali kesulitan menagih piutang senilai Rp3 triliun kepada Bank Dagang Negara Indonesia, Bank Umum Nasional dan Bank Tiara.

Dalam kasus ini Setya Novanto lolos dari jerat hukum setelah Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa alasan yang jelas pada 18 Juni 2003.

Pada 2005, nama Setnov muncul terkait penyelundupan 60 ribu ton beras Vietnam yang perkaranya ditangani Kejaksaan Agung. Saat itu, perusahaan milik Setnov PT Hexatama Finindo memindahkan 60 ribu ton beras Vietnam dari Bea Cukai tanpa membayar pajak dengan nilai yang sebenarnya. Perusahaan hanya membayar 900 ton beras. Novanto sempat diperiksa Kejagung pada tahun 2006, namun kasus ini menguap begitu saja.

Baca juga:

Selain itu, KPK tentu juga mengambil pelajaran dari beberapa kali kekalahan yang dialaminya di sidang praperadilan. Berdasarkan penelusuran Tirto, sejak 2015-2017 komisi antirasuah setidaknya lima kali mengalami kekalahan di sidang praperadilan. Di antaranya: Budi Gunawan (2015), Hadi Poernomo (2015), Ilham Arief Sirajuddin (2015), Marthen Dira Tome (2016), dan Taufiqurrahman (2017).

Alasan pengadilan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi oleh KPK, cukup beragam. Kasus praperadilan Budi Gunawan, misalnya, yang dipersoalkan bukan bukti kasusnya, melainkan mengenai status yang bersangkutan saat melakukan tindak pidana korupsi.

KPK kemudian melimpahkan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Namun, Kejaksaan Agung justru melimpahkannya ke Polri dengan alasan agar lebih efektif karena instansi kepolisian itu pernah menangani kasus tersebut.

Praperadilan lain yang dikabulkan pengadilan adalah kasus korupsi dengan tersangka mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Siradjudin. Pengadilan menyatakan bahwa KPK belum memiliki alat bukti yang kuat. Dalam hal ini, KPK mengajukan barang bukti atau keberadaan bukti dengan fotokopi yang dianggap tidak sah.

Namun KPK tidak tinggal diam, komisi antirasuah kemudian menerbitkan sprindik baru, dan akhirnya Ilham Arif Sirajuddin divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Februari 2016. Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 tahun atas dakwaan korupsi terkait kerja sama kelola dan transfer instalasi perusahaan daerah air minum (PDAM) di Makassar periode 2007-2013.

Pengajuan praperadilan lainnya yang dikabulkan pengadilan adalah kasus Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo terkait sah atau tidaknya proses penyidikan atau penyelidikan yang diajukan KPK. Dalam kasus ini, KPK telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan PN Jaksel. Sayangnya, pada 16 Juni 2016, majelis hakim agung yang diketuai Salman Luthan dengan anggota Sri Wahyuni dan M.S. Lumme menolak PK dari KPK terkait dengan putusan praperadilan hakim tunggal Haswandi yang memenangi gugatan praperadilan Hadi Poernomo.

Dalam kasus praperadilan perdana Setya Novanto yang digelar hari ini, KPK telah mempersiapkan segala sesuatunya. menyatakan siap meladeninya. Kekalahan lima kali pada praperadilan sebelumnya akan menjadi pelajaran berharga bagi KPK untuk menghadapi praperadilan politisi Partai Golkar yang dikenal “licin” ini.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti