tirto.id - Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra membantah tuduhan bahwa dirinya hanya mengerti hukum tata negara tradisional dan tidak paham hukum tata negara modern terkait kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menurut Todung, karena pemahamannya tradisional, Yusril hanya memahami pembagian kekuasaan ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga, menurut Todung, Yusril menyebutkan bahwa KPK adalah bagian dari eksekutif sehingga bisa dilakukan angket oleh DPR.
Yusril mengatakan dia sangat paham tentang auxiliary agencies yang disebutkan Todung, sebagai lembaga penunjang yang ditempatkan dalam posisi indepdenden. Namun, keberadaan lembaga seperti itu, menurut Yusril tidak terlepas di manakah ranah atau rumpun dari auxiliary agencies itu berada.
Menurut Yusril melalui rilis tertulisnya, KPK dalam hal melakukan tugasnya di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi adalah sama dengan Kejaksaan. Oleh karena itu, KPK berada dalam ranah atau rumpun eksekutif.
Keduanya, dikatakan Yusril, dapat ditarik keberadaannya kepada Pasal 24 ayat 1 UUD 45 sebagai badan-badan lain yang tugasnya terkait dengan kekuasaan kehakiman. Hanya bedanya secara struktural, kejaksaan berada di bawah Presiden sedangkan KPK tidak berada di bawah lembaga manapun.
Yusril memberikan contoh, lembaga-lembaga lain yang bahkan disebut dalam Pasal 23 UUD 45 seperti Bank Indonesia adalah lembaga yang independensinya ditegaskan oleh konstitusi. Dewan Gubernur BI, sebagaimana komisioner KPK dipilih oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. Namun dalam angket terhadap skandal Bank Century, angket DPR langsung atau tidak langsung ditujukan kepada Bank Indonesia.
“Kalau BI sebagai lembaga negara independen yang bukan sekedar auxiliary agency seperti dikatakan Todung, bisa diangket DPR, maka atas dasar apa Todung mengatakan KPK tidak bisa diangket?,” tulis Yusril dalam rilisnya.
Yusril menjelaskan dalam konteks DPR melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara independen, KPK selama ini menjadi mitra kerja Komisi III DPR. KPK selalu hadir diundang dalam Raker Komisi III untuk dilakukan pengawasan. Keberadaan Raker sebagai pengawasan hanya diatur dalam Peraturan Tatib DPR, tapi KPK patuh.
“Pertanyaannya mengapa ketika DPR ingin melakukan angket, yang merupakan instrumen pengawasan yang diatur dalam UUD 45, Todung menolaknya? Todung seperti kehilangan kejernihan berpikir karena keinginannya yang menggebu-gebu untuk menolak angket DPT terhadap KPK,” pungkas Yusril.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri