Menuju konten utama

Yusril: Asas Contrario Actus di Perppu Ormas Tak Demokratis

Alasan pemerintah untuk mengeluarkan Perrpu pembubaran ormas sesuai dengan asas hukum contrario actus, dinilai pengacara HTI Yusril Ihza Mahendra, tidak tepat.

Yusril: Asas Contrario Actus di Perppu Ormas Tak Demokratis
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra (kanan) memberikan keterangan kepada media bahwa dirinya bersedia menjadi kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terkait pembubaran ormas tersebut, Jakarta, Selasa, (23/5). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id -

Kuasa hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Yusril Ihza Mahendra menilai asas hukum contrario actus sebagai alasan dikeluarkannya Perppu sangat tidak tepat. Menurutnya hal itu akan menjurus pada tindakan-tindakan otoriter yang justru kontradiktif dengan semangat berdemokrasi.

Dalam Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) nomor 17 tahun 2013, jelas Yusril, pemerintah harus melalui beberapa tahapan untuk membubarkan ormas, dimulai dari pemberian peringatan sebanyak 3 kali, hingga keharusan melewati mekanisme pengadilan.

Dengan asas contrario actus yang ada dalam Perppu nomor 2 tahun 2017, maka proses pengadilan dihilangkan dan pembubaran dapat dilakukan dengan mencabut izin yang telah diberikan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM.

"Tidak, tidak bisa diterapkan untuk ormas, (asas) ini kan untuk hal-hal yang sifatnya administratif," ungkapnya di kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia.

Ia mencontohkan, misalnya, asas contrario actus bersifat administratif dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pegawai. Sebab, wewenang tersebut diberikan kepada kepala pemerintahan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawai atau pejabat menggunakan hak prerogatifnya.

Hal ini berbeda dengan pemberian izin kepada ormas yang berbadan hukum dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini, meskipun izin diberikan oleh Kemenhumkam, tapi wewenang membubarkan diberikan kepada pengadilan. Hal tersebut untuk menjamin tidak adanya hak-hak warga negara yang terenggut saat keputusan diberlakukan.

"Contoh lain misalnya Kementerian Hukum mengesahkan perseroan terbatas. Misalkan saya pengusaha muda, sudah kaya raya, kemudian tiba-tiba izin badan usaha saya dicabut tanpa ada mekanisme pengadilan. Kalau menterinya enggak suka sama saya, nanti bisa saja dia berikan cabut badan hukumnya. Lah terus gimana karyawannya," jelasnya.

Seperti diketahui, sebelumnya Kementerian Politik Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam) memberikan keterangan Pers terkait ditanganinya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 oleh Presiden pada Senin (10/7/2017) lalu.

Menurut Menkopolhukam Wiranto, prosedur pembubaran ormas-ormas yang melanggar ketentuan dalam Perppu tersebut akan berbeda dengan Undang-undang Ormas nomor 17 tahun 2013. Kendati demikian, ia memastikan bahwa hal itu tetap didasarkan pada aduan dan laporan-laporan dari masyarakat serta kesesuaian dengan kondisi aktual di lapangan.

Jika ormas yang dimaksud terbukti melanggar, maka pemerintah yang memberikan izin berhak melakukan langkah-langkah pembinaan atau bahkan mencabut izin organisasi tersebut.

Dalam hal pemberian izin, kata Wiranto, kewenangan diberikan pada Kementerian Hukum dan HAM. Sementara untuk pengawasan akan dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kemenkopolhukam.

"Di sini ada asas yang disebut dengan contrario actus, maka lembaga mana yang memberikan izin dan mengesahkan organisasi itu, maka lembaga itulah juga diberikan hak dan kewenangan untuk mencabut izin itu," ungkapnya di Kemenpolhukam, Rabu (13/7/2017).

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN ORMAS atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri