tirto.id - Kota Yogyakarta telah ditetapkan sebagai Kota Relawan pada peringatan pertama "International Volunteer Day" di kawasan Titik Nol Kilometer atau di simpang empat depan Kantor Pos Besar Yogyakarta pada Minggu (4/12/2016).
"Penetapan Yogyakarta sebagai Kota Relawan pertama di Indonesia karena berkaca pada peristiwa gempa bumi 2006 dan erupsi Gunung Merapi 2010," demikian ucap Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa saat proses deklarasi tersebut.
Khofifah menuturkan, seperti dilansir dari Antara, ketika peristiwa gempa bumi itu proses rehabilitasi, rekonstruksi, dan terapi psikososial pascabencana yang dilakukan Yogyakarta termasuk yang paling cepat di dunia.
"Upaya tersebut sesungguhnya tidak mudah, tetapi ternyata bisa dilakukan saat masyarakat terdampak Merapi di sini seiring dengan rehabilitasi dan rekonstruksi," katanya.
Ia mengatakan, tindakan terbaik ini karena adanya kebersamaan dan gotong royong dalam hal kerelawanan sosial masyarakat di Yogyakarta sudah tumbuh dengan baik.
"Dulu pada jaman penjajahan, Belanda meninggalkan Yogyakarta karena kegigihan dan kebersamaan warga masyarakatnya. Kesukarelawanan serta keikhlasan masyarakat Yogyakarta teruji sejak bangsa ini belum merdeka," katanya.
Khofifah mengatakan relawan penting untuk diperingati dalam hari khusus seiring dengan deklarasi di PBB pada September 2011 tentang pentingnya "private public partnership".
"Seluruh dunia membutuhkan kerja sama antara pemerintah dan nonpemerintah, dalam hal ini yang dimaksud adalah relawan. Event 'International Volunteer Day' menjadi pengingat dan perekat Indonesia sebagai sebuah bangsa maupun sebagai negara yang menjadi bagian dari bangsa-bangsa di dunia," katanya.
Sementara itu Kementerian Sosial menyiapkan nota kesepahaman dengan Gubenur DIY Sultan HB X terkait penanganan bencana berdasarkan pemetaan kerawanan.
"Gubernur DIY Sri Sultan HB X sudah menyampaikan pentingnya menyiapkan standar operasional prosedur (SOP) di titik kebencanaan dengan spesifikasinya," katanya.
Ia mengatakan, karena itu Taruna Siaga Bencana (Tagana) harus dibekali keahlian yang lebih spesifik sesuai dengan pemetaan kerawanan bencana.
"Relawan, terutama tagana, harus mengikuti proses pelatihan. Saat ini sudah ada pelatihan di tingkat primer dan madya. Kami berharap akan ditingkatkan ke tingkat 'advance'," katanya.
Di tingkat madya, kata dia, Kementerian Sosial menyiapkan Tagana Training Center yang baraknya berkapasitas 125 orang. Selain itu juga mengembangkan Sahabat Tagana," katanya.
"Di lereng Gunung Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, sudah ada 1.500 Sahabat Tagana. Mereka memperoleh pelatihan soal spesifikasi kebencanaan di daerah masing-masing. Skillnya lebih spesifik, kami tidak hanya mengembangkan kuantitas, melainkan juga kualitas," katanya.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari