tirto.id - Cuitan bertagar #VoteAhok pada 14 Februari pukul 15.30 mencapai 20.000an twit. Kebanyakan kicauan adalah upaya para pendukung calon nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot, untuk mencoblos Ahok. Misalnya tentang kemewahan TransJakarta terbaru, layanan transportasi gratis untuk difabel dan manula, dan seterusnya.
Pemilik akun twitter @Kurawa secara terbuka menulis kicauan berbunyi "Buat seluruh pendukung #AHOK dimana saja, spesial mulai hari kita kasih dukungan utk beliau dengan hestek #VoteAHOK #VoteAHOK."
Apakah ini merupakan kampanye?
Menurut Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Nelson Simanjuntak, kampanye atau dukungan calon gubernur di media sosial yang dipublikasikan oleh akun non-resmi pasangan calon (Paslon) tidak bisa ditindak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, belum ada undang-undang yang mengatur secara rinci dan jelas larangan promosi atau dukungan terhadap paslon gubernur yang dilakukan di media sosial saat masa tenang.
"Secara normatif sulit mengawasi akun pribadi [di luar akun pribadi Paslon] yang memposting kata-kata, ungkapan, gambar, atau simbol yang dimaksudkan untuk mempengaruhi orang untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu dalam Pilkada," ujar Nelson.
Seperti yang Anda bisa lihat sendiri, tagar-tagar sokongan terhadap cagub memenuhi linimasa. #VoteAhok bukan satu-satunya. Ada tagar #CoblosPecinya yang dikicaukan akun @pandji. “ Kalau besok kondisinya kayak tadi, maka kemungkinan akan ada 2 putaran. Capek tapi ya gimana dong? Nah gimana kira-kira simulasi putaran 2? #CoblosPecinya,” tulisnya.
Tidak hanya Bawaslu, KPU juga seperti tak berdaya di hadapan media sosial. Ketua KPU Juri Ardiantoro mengaku bahwa pihaknya juga tidak memiliki kekuatan untuk menindak medsos yang berkampanye di masa tenang. "Medsos itu enggak bisa dikendalikan oleh KPU. Medsos itu kalau itu didaftarkan KPU kita bisa kendalikan kalau enggak, kan enggak bisa," kata Juri.
Tapi ada cara untuk meminimalisir kampanye di media sosial. Juri mengatakan, apabila ada akun medsos yang berkampanye atau melakukan tindak pidana selama masa tenang, warga bisa langsung menghubungi aparat berwajib. Hal senada juga bisa dilakukan warga apabila menemukan akun yang meresahkan. Bahkan, pemerintah, melalui Menkominfo, bisa menutup akun media sosial apabila publik menilai akun tersebut meresahkan.
Mantan Ketua KPU DKI Jakarta ini mengaku hanya bisa menindak akun-akun medsos yang terdaftar di KPU. Hal itu tertuang di peraturan dan PKPU. Akan tetapi, lembaga pemilihan umum Indonesia itu tidak bisa menindak akun medsos yang berkampanye di masa tenang.
Selebihnya, KPU hanya bisa mengajak publik bijak dalam menggunakan medsos. Baik KPU maupun Bawaslu hanya mengandalkan kesadaran masing-masing pendukung untuk memiliki etika dan tidak berkampanye di masa tenang.
"Kita hanya bisa menghimbau kesadaran orang untuk bisa dengan bijak dan bertanggungjawab membuat akun dan mengendalikan akun medsos. Kalau KPU kan gak punya kemampuan untuk mengendalikan itu," kata Juri.
Benarkah undang-undang tidak secara spesifik mengatur tentang kampanye di media sosial? Jika melihat UU Pilkada, sejauh ini larangan yang ada adalah memberikan uang untuk mempengaruhi pemilih.
Sementara, pada Pasal 187 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, tidak ada larangan tentang berkampanye di media sosial selama masa tenang.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay pun mengkritik soal ini. "KPU tidak bisa menyetop semua itu. Kelihatannya pihak pemerintah kita pun tidak mudah menyetop," ujarnya.
Hadar mengaku bahwa pihaknya tidak mempunyai payung hukum yang kuat untuk menindaklanjuti akun-akun tersebut. Ia berharap pihak berwenang bisa menindak akun-akun buzzer yang berkampanye saat masa tenang. Sampai saat ini, KPU hanya bisa menghimbau agar tidak ada kegiatan kampanye negatif.
"KPU hanya bisa mengingatkan. Ke depan siapapun bukan hanya tim kampanye siapapun tidak boleh berkampanye lagi atau menyebarkan berita-berita yang menyudutkan calon tertentu atau berita bohong," kata Hadar.
Sementara itu Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, mengatakan kampanye di iklan media sosial sebenarnya diatur dalam Pilkada serentak 2017.
"Jadi kan begini pasangan calon itu di dalam kampanyenya akunnya itu didaftarkan ke KPU. Nah ketika didaftarkan di KPU dia menjadi daftar sosialisasi," ujar Hafidz kepada wartawan Tirto.
Akun-akun media sosial yang digunakan resmi oleh pasangan calon boleh menggunakan program-program iklan media sosial seperti Facebook Ads atau Google Ads. Padahal, kegiatan tersebut dapat digolongkan sebagai kampanye lain-lain. Lantas bagaimana dengan penggaung atau buzzer yang masih berkicau dan mempromosikan pasangan calon tertentu?
Semestinya, sebelum kampanye dimulai, Bawaslu mendaftarkan akun-akun pendukung calon yang resmi, setelah itu membuat kesepakatan bersama untuk tidak berkampanye atau menonaktifkan akunnya saat masa tenang datang.
Sementara untuk akun yang tidak resmi, Bawaslu, KPU, Kominfo dan Twitter semestinya bisa membuat peraturan yang bisa mendeteksi akun anonim atau tidak resmi agar bisa diredam. Karena saat masa tenang seperti ini masih ada akun-akun paslon yang mengedarkan video atau materi-materi kampanye.
Jika pendukung masing-masing calon tersebut diumumkan ke publik, masyarakat bisa mengontrol.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani