Menuju konten utama
Misbar

Yang Tersingkap dari Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti

Herwin Novianto menyuguhkan drama keluarga yang cukup mengesankan. Pun kita bisa menilik performa Indro Warkop yang tak biasa.

Yang Tersingkap dari Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti
Poster Film Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti. (FOTO/IMDb)

tirto.id - Kisah tentang wayang orang yang lekat dengan kultur Jawa dalam khasanah sinema tanah air agaknya belum banyak dieksplorasi. Maka memadukannya dengan ihwal “cinta segitiga” sejujurnya menyimpan daya tarik tersendiri, meski eksekusinya belum cukup memadai. Demikianlah Herwin Novianto mengemas filmnya Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti.

Judul film tersebut terinspirasi dari puisi Chairil Anwar yang kemudian diberi sentuhan musikalisasi nan memukau oleh duo Banda Neira. Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti tayang perdana pada perhelatan World Cinema Week 2022 lalu. Ia juga turut meramaikan line-up Jogja-NETPAC Asian Film Festival di tahun yang sama.

Animo penonton pun mulai menanjak tatkala para kreatornya berancang-ancang mendistribusikannya untuk skala lebih luas. Ia sempat diagendakan untuk tayang di jaringan bioskop arus utama pada kuartal penutup tahun lalu, tapi rencana itu urung terlaksana. Alih-alih relaunching, ia kemudian memilih jalan alternatif: didistribusikan secara eksklusif via kanal streaming KlikFilm.

Di platform KlikFilm, ia rilis tepat sehari setelah peringatan 78 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun, film ini sebenarnya tiada menyuguhkan nuansa heroisme sama sekali. Ia adalah film drama sepenuhnya.

Lantas, adakah nilai lebih yang ia tawarkan sehingga festival sekelas JAFF meliriknya?

Yang Patah Tumbuh

Alkisah di Kota Surakarta, Yasmin (Clara Bernadeth) mencoba menjalani hidupnya usai menuntaskan studi di Singapura. Kita lalu diajak berkenalan dengan pamannya, Darto (Donny Damara), yang mengelola sebuah penginapan tradisional kecil-kecilan.

Suatu hari, ayah Yasmin yang lenyap puluhan tahun tiba-tiba kembali ke kota itu. Sang ayah, Hardiman (Indro Warkop), rupa-rupanya telah mengalami demensia dan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa untuk merawat adalah Yasmin si putri semata wayang.

Dari kondisi itulah drama kemudian bergulir. Yasmin tidak bisa menganggap Hardiman sebagaimana laiknya sosok ayah. Ikatan dan afeksi di antara mereka telah memudar seiring perpisahan fisik bertahun-tahun.

Yang muncul dari Yasmin justru kegamangan dan kemarahan. Hal ini ditandai oleh gestur tubuh Yasmin yang berulangkali menepis kesempatan untuk mengurus keseharian bapaknya itu.

Menyadari kegamangan yang timbul, Darto lantas berinisiatif menengahi kedua belah pihak. Di saat itulah, penonton menemukan secercah petunjuk baru: Hardiman selalu bersikap reaktif-agresif tatkala bersua Darto.

Herwin kemudian mengajak penonton untuk menyelami keterkaitan antara dunia pewayangan dan realitas yang dihadapi Yasmin, Hardiman, dan Darto.

Kita diperlihatkan sosok Hardiman yang semasa mudanya merupakan penari legendaris dalam Wayang Orang Langen Budoyo. Meski mengalami kepikunan, dia rupanya tetap mempertahankan ciri tokoh Gatotkaca, protagonis dalam kisah Mahabarata yang dulu pernah dia mainkan.

Pada sosok Hardiman pula, penonton dapat menyaksikan sisi lain dari keaktoran Indro Warkop. Dia yang sangat identik dengan komedi sekarang keluar dari zona nyaman. Tak main-main, Indro melakukan riset mendalam demi bisa memerankan seorang dengan tipe demensia terparah secara meyakinkan. Lain itu, dia juga belajar menari secara intensif selama dua minggu di masa praproduksi.

Hasilnya adalah Hardiman si pemeran Gatotkaca yang pikun. Dengan gestur jalan agak kaku, tatapan kosong, dan ucapan terbata-bata, kita dibuat percaya dialah Hardiman si pikun. Namun di saat lainnya, dia bertranformasi menjadi penari Gatotkaca yang begitu gesit mengikuti ritme dendang dari gamelan.

Di sisi lain, Yasmin seakan menghidupi karakter Pregiwa yang dulu kerap dimainkan oleh mendiang ibunya. Sementara itu, Darto adalah spesialis karakter minor dalam pentas wayang orang. Dialah tokoh yang biasanya “ditendang-tendang”, dianggap kampungan, dan terpinggirkan. Performa Donny Damara yang kaya pengalaman rasanya tak perlu diragukan lagi.

Interaksi saling silang di antara ketiganya kemudian makin intens di babak kedua film. Di sini, Darto tetap marjinal terutama ketika berhadapan dengan Hardiman. Namun, Yasmin mulai beranjak dari kemarahannya.

Pernyataan dari sang sutradara seakan dimunculkan pada bagian ini, selaras dengan anak kalimat pertama judulnya—bahwa yang patah akan tumbuh lagi. Melalui interaksi yang lebih intens, afeksi dan ikatan yang lama terputus bisa dipulihkan lagi. Begitulah Yasmin menumbuhkan empati baru dalam batinnya.

Infografik Misbar Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti

Infografik Misbar Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti. tirto.id/Ecun

Yang Hilang Berganti

Relasi orang tua dan anak tunggal yang perlahan dipulihkan pada babak kedua film kemudian mengalami eskalasi tatkala memasuki babak ketiga. Penonton mungkin takkan tahu persis kapan pembelokan itu bermula, tapi beberapa adegan cukup memberi sinyal.

Lihat saja bagaimana Hardiman di tengah kondisi pikun yang begitu akut tiba-tiba menemukan kelincahan dan semangat menari seperti kondisi primanya puluhan tahun silam. Dia begitu luwes menggerakkan tubuh sebelum berhenti mendadak menjelang momen puncak.

Lain waktu, dia memainkan gamelan secara serampangan di ruang tamu penginapan. Bunyi gamelan itulah yang menandai penyingkiran Darto secara permanen. Itu jadi penanda pula, bahwa riwayat trio karakter pewayangan yang diwakili oleh ketiga protagonis film sudah genap.

Dalam realitas kini, Hardiman bukan lagi si Gatotkaca. Dia terlempar dari spotlight, sebagaimana Gatotkaca meregang nyawa di hadapan Adipati Karna. Di titik inilah, Herwin menyuguhkan plot twist yang khas sekali kultur Jawanya.

Lalu kita melihat bagaimana Yasmin menuntaskan pergumulan batinnya. Darto mungkin sudah tersingkirkan secara materiil, tapi spiritnya menetap dalam sanubari Yasmin. Dia kini tak terkecoh lagi, sosok yang dia kira sebenar-benarnya ayah ternyata mewujud dalam tokoh lain.

Permainan transisional yang dibawakan Herwin bisa dibilang cukup berhasil, seumpama film-film Aki Kaurismaki yang berjalan lambat, tapi menyimpan ledakan di momen pamungkasnya.

Mengikuti partisi kedua judul film, yang hilang telah berganti lunas. Yang kosong telah terisi tuntas. Agaknya, inilah makna yang terbaca dari perubahan peran sekaligus kedirian (state-of-personality) yang berkelindan di antara sepasang “ayah” dalam film ini.

Herwin Novianto boleh dibilang cukup berhasil menyuguhkan pada kita satu film dengan konklusi yang utuh. Segala elemen yang dia usung—metafora pewayangan, alur yang alon-alon asal kelakon, hingga pengungkapan dramatik pada bagian epilog—pun dipadu dengan kokoh.

Jika harus menyebut kekurangan, yang cukup terasa adalah penceritaannya yang tak cukup mulus dan temponya yang lambat. Lantaran menyimpan ledakannya di bagian akhir, Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti rentan bikin bosan penonton kasual. Lainnya mungkin berpendapat ceritanya terlalu simplistik. Namun terlepas dari itu semua, film ini tetap patut dirayakan.

Baca juga artikel terkait DRAMA atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi