Menuju konten utama

Yang Tak Boleh Dilakukan PNS Selama Pilkada 2018

Surat edaran bernomor B/71/M.SM.00.00/2017 melarang PNS berkegiatan aktif di Pilkada 2018.

Yang Tak Boleh Dilakukan PNS Selama Pilkada 2018
Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) Jawa Timur. ANTARA/Zabur Karuru

tirto.id - Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) mengeluarkan Surat Edaran Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2018, Pemilihan Legislatif Tahun 2019, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019. Sebagaimana namanya, surat edaran ini berisi apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam masa tersebut.

Asisten Departemen Bina Integritas dan Penegakan Disiplin ASN Kementerian PAN-RB Bambang D. Sumarsono mengatakan bahwa surat tersebut diterbitkan dengan mengacu pada berapa peraturan tentang ASN lain yang lebih tinggi, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Kepada Tirto, Rabu (17/1), Bambang mengatakan bahwa aturan tersebut telah diedarkan ke seluruh instansi pemerintahan dan "mengikat bagi semua PNS mulai dari eselon satu."

Ada tujuh larangan yang ditetapkan: melakukan pendekatan terhadap partai politik; memasang atribut yang mempromosikan calon pemimpin daerah; mendeklarasikan dirinya sebagai calon pemimpin daerah; menghadiri deklarasi calon pemimpin daerah dengan atau tanpa atribut partai; mengunggah, menanggapi, atau menyebarluaskan gambar maupun visi misi calon kepala daerah melalui media sosial; melakukan foto bersama; dan menjadi pembicara dalam pertemuan partai.

Bambang menjelaskan lebih detail soal atribut. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan atribut itu beragam. "Bisa kendaraan partai, kaos, dan lain-lain," katanya.

Antisipasi KemenPAN-RB menerbitkan peraturan soal apa yang tidak boleh dilakukan PNS selama pemilihan umum sesuai dengan apa yang ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota. Demikian menurut Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu, Rahmad Bagja.

Aturan tersebut, katanya, juga telah tertera dalam Pasal 2 huruf F Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Di sana tertulis bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas. Dalam penjelasan pasal itu diperjelas lagi bahwa yang dimaksud dengan netralitas adalah bebas dari pengaruh partai politik.

"Termasuk foto bareng calon peserta Pilkada dan like status Facebook [calon]. Biar enggak macem-macem," kata Rahmad kepada Tirto.

Sanksi Hingga Diberhentikan

Sebagaimana larangan lain, aturan ini juga disertai dengan sanksi. Jika melanggar maka PNS akan dijatuhkan sanksi disiplin tingkat sedang hingga berat.

Ada enam sanksi yang ditetapkan. Sanksi tingkat sedang dapat berupa penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, serta penurunan pangkat setingkat lebih rendah yang semuanya berlangsung selama satu tahun. Sedangkan untuk disiplin berat berupa pemindahan dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah. Dan terakhir, bisa sampai pemberhentian dengan hormat.

Jika nantinya ditemukan keterlibatan PNS dalam aktivitas politik tersebut, kata Rahmat, pihaknya akan melayangkan surat pemberitahuan kepada pejabat pembina kepegawaian di lokasi yang bersangkutan.

Selain itu, Bawaslu juga akan melayangkan surat ke partai peserta Pilkada yang secara terang-terangan menggunakan PNS sebagai alat kampanye. "Kalau tidak merespons, kami akan melaporkan ke komisi ASN dan Kemendagri agar diberikan sanksi," ujarnya.

Namun, kata dia menambahkan, "sanksi itu tidak diputuskan oleh Bawaslu melainkan komisi ASN atau KemenPAN-RB sesuai dengan jenis pelanggarannya."

Mundur Dulu Kalau Mau Maju

Meski ada aturan yang tegas terkait keterlibatan PNS dalam pemilihan umum, akan tetapi bukan berarti hak-hak politik mereka dibatasi sama sekali. Mereka masih punya hak untuk maju sebagai kandidat, atau dengan kata lain hak untuk dipilih, sepanjang menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta dalam Pilkada, Pileg, atau Pilpres sebagaimana diputus oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XIII/2014 tanggal 6 Juli 2015.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Sumarsono, mengatakan bahwa tahun ini PNS yang mendaftar ke KPU meningkat dibanding tahun lalu. Namun ketika itu ia mengaku tidak tahu berapa persisnya. "Jumlah saya belum bisa menyebutkan pastinya. Saya lihat fenomenanya," ujar Sumarsono di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (8/1) lalu.

Namun dikutip dari laman korpri.id, disebutkan bahwa PNS adalah profesi terbanyak yang tercatat sebagai kandidat kepala daerah. Jumlahnya mencapai 154 orang dari total 561 pasangan yang maju. Sebagian besar PNS mencalonkan diri untuk menduduki posisi bupati dan wakil bupati.

Pada Pilkada 2017, tercatat ada 96 PNS yang menjadi calon kepala daerah. Sebanyak 40 orang menjadi calon wakil bupati, dan 36 lainnya mencalonkan diri sebagai calon bupati. Kemudian, ada 8 PNS menjadi calon wali kota, dan 7 orang mencalonkan diri sebagai wakil wali kota. Selain itu, sebanyak 4 PNS menjadi calon wakil gubernur dan 1 PNS yang berstatus sebagai calon gubernur.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino