Menuju konten utama

Yang Ilmiah dari Beradu Bibir

Peneliti menjelaskan ada hubungan kuat antara kebiasaan mengadu bibir itu dengan kegiatan menyusui semasa kecil. Baik dari efeknya setelah dewasa, reaksi kimiawi yang terjadi di dalam otak, hingga penjelasan mengapa 2/3 manusia memiringkan kepalanya ke kanan saat berciuman. Ciuman juga bisa jadi cara memilih jodoh yang tepat. Bagaimana bisa?

Yang Ilmiah dari Beradu Bibir
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Aktivitas berciuman telah menjadi bagian penting dalam ritual pasangan. Ciuman bisa memenuhi pula kebutuhan manusia akan afeksi alias kasih sayang. Ciuman adalah salah satu ekspresi afeksi yang paling universal.

Pentingnya ciuman bukan omong kosong romantik belaka. Sheril Kirshenbaum telah menjelaskannya panjang lebar dalam buku yang ia terbitkan lima tahun yang lalu berjudul The Science of Kissing. Topik atas aktivitas yang melibatkan bibir dan terasa remeh itu ia jelaskan dalam sudut pandang sains, lalu tiba-tiba ia berubah menjadi sesuatu yang esensial.

Krusialnya ciuman dalam penelitian Sheril, dan dikuatkan oleh temuan peneliti lain, menjelaskan bahwa ciuman bisa menjadi kunci utama langgengnya sebuah hubungan. Ciuman pertama merupakan tahapan yang krusial. Ada risiko tersendiri terutama yang dimaksudkan untuk dilanjutkan ke tahap hubungan seksual. Kurang lebih 59 persen pria dan 66 persen perempuan tak melanjutkan pendekatan hanya gara-gara pasangannya tak memuaskan saat pertama kali berciuman.

Psikolog John Bohannon dari Butler University pernah meneliti aktivitas ciuman ini dan menemukan bahwa sebagian besar dari kita mengingat secara detail momen ciuman romantis pertama kita, yakni hingga 90 persennya. Dalam penelitiannya yang melibatkan lebih dari 5.000 responden itu, ingatan tentang ciuman pertama bahkan lebih kuat ketimbang ingatan atas hubungan seksual pertama.

Ciuman adalah perkara keintiman, sedangkan hubungan seksual lebih ke jalan meraih orgasme. Dua hal ini berbeda, dan menjelaskan mengapa perasaan berbunga-bunga saat berciuman bisa menjadi gerbang pembuka perasaan seseorang terhadap pasangannya. Maka ciuman juga menjadi hal yang berisiko jika seseorang tak mampu mengendalikan perasaan dengan baik. Atas dasar inilah film-film seperti Pretty Woman (1990) berpegang pada rumus yang sakral: pekerja seks komersial (PSK) haram berciuman mulut ke mulut.

Menahan diri untuk tak menautkan kedua bibir telah menjadi aturan yang sangat umum di kalangan perempuan dengan profesi tertuta di dunia itu sejak lama. Laporan dari ilmuwan sosial Joanna Brewis dan Stephen Linted menjelaskan bahwa PSK terkadang menolak ciuman bibir karena harus menyertakan “perasaan tulus dan cinta untuk orang lain”. Menghindari ciuman bibir dengan klien akan membuat pekerjaan menjadi sederhana dan tak menjadi kompleks di kemudian hari.

Dalam buku The Science of Kissing, Sheril mencantumkan pentingnya ciuman sebagai bagi laki-laki. Laki-laki yang mencium istrinya sebelum berangkat kerja akan hidup 5 tahun lebih lama, menghasilkan 20-30 persen lebih banyak uang, dan kemungkinan terlibat dalam kecelakaan mobil menjadi lebih kecil yakni hingga 50 persen. Demikian menurut sebuah penelitian psikologi yang dilakukan di Jerman selama 10 tahun di era 1980-an silam.

Mengapa Kita Berciuman?

Bagaimana asal mula ciuman? Merujuk hasil sejumlah penelitian, ciuman ternyata aktivitas yang alamiah dan sudah ada dalam DNA kita sejak lahir.

Banyak ahli biologi yang telah membuktikan bahwa sejarah ciuman bisa ditelusuri dari aktivitas menyusui. Aktivitas antara ibu dan anak itu begitu intim sehingga menuntun kenyamanan manusia dewasa saat bibir mereka menyentuh bibir pasangannya, mengembalikan emori di alam bawah sadarnya ke masa-masa menyusui dulu. Masa ketika manusia begitu rapuh dan membutuhkan sosok seorang perempuan dewasa yang mau menjaganya, merawatnya, dan memberinya makan langsung dari apa yang diproduksi tubuhnya secara alami.

Ativitas menyusui adalah pengalaman yang menyenangkan dan menangkan bagi saraf manusia. Hal yang sama dirasakan ketika ia berciuman saat sudah dewasa. Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa saat berciuman bibir kita cenderung memiringkan kepala ke kanan?

Menurut riset Sieratzki dan Woll 20 tahun silam, fenomena yang dialami oleh 2/3 manusia ini dikarenakan 80 persen ibu menyusui anaknya ke payudara sebelah kiri, sehingga selama porses menyusui kita telah dibiasakan untuk memiringkan kepala ke kanan untuk aktivitas yang intim, hangat, dan perlu memonyong-monyongkan bibir itu.

Apa yang terjadi pada otak selama dua sejoli berciuman?

Ciuman bibir adalah jenis ciuman yang paling menimbulkan reaksi di otak ketimbang mencium bagian tubuh yang lain. Saat kedua bibir bertemu, otak akan memproduksi sejumlah bahan kimia yang membuat kita dimabuk kepayang secara tak sadar. Bahan kimiawi itu terdiri dari tiga bahan utama yang intinya mampu membuat kita merasa senang dan ketagihan: dopamine, oxytocin, dan serotonin.

Dopamin yang dihasilkan oleh otak dapat menstimulasi area otak yang sama seperti saat seseorang mengonsumsi heroin atau kokain. Akibatnya kita merasakan euforia yang adiktif. Oxytosin, atau yang dikenal sebagai 'hormon cinta', memupuk kasih sayang diantara pelaku ciuman. Hormon ini juga dilepaskan saat proses melahirkan dan menyusui, memupuk cinta kasih diantara ibu dan anak. Terakhir, otak menghasilkan serotonin yang saat berciuman kadarnya sama seperti yang dihasilkan otak pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD).

Demi Cinta

Adakah manfaat praktis dari ciuman? Atau sekedar jalan katarsis untuk mengekpresikan perasaan?

Bayangkanlah ciuman seperti wawancara kerja untuk mendapatkan orang yang tepat sebagai pendamping hidup. Si pewawancara tentu ingin memperoleh kandidat yang tepat untuk pekerjaan menjadi pendamping seumur hidup. Menurut penelitian, ciuman memang bisa menjadi proses yang pas untuk menemukan pasangan secara genetis.

Manusia terbukti memiliki kelompok gen yang disebut MHC atau Major Histocompatibility Complex. MHC adalah kelompok gen yang membentuk bagian dari sistem kekebalan tubuh kita dan memberi kita aroma alami. Perempuan terbukti sangat menyukai aroma kaos yang dikenakan laki-laki karena MHC perempuan berbeda dengan MHC laki-laki. Namun ada beberapa laki-laki yang memiliki aroma tubuh lebih kuat karena memiliki jenis MHC yang lebih berbeda. Semakin berbeda, semakin disukai.

Secara naluriah, perbedaan jenis MHC dan aroma yang mengikutinya itulah yang menyebabkan satu perempuan bisa suka dengan laki-laki tertentu, dan sebaliknya. Saat dua orang dengan MHC yang berbeda berhubungan seksual, bayi mereka akan memiliki komponen gabungan sistem kekebalan tubuh dari kedua orang tuanya. Semakin berbeda gennya, semakin kuat kekebalan tubuh si kecil. Ini berarti, secara naluriah manusia memiliki sistem tersendiri yang mampu menghasilkan generasi yang lebih tahan penyakit.

Namun apakah persepsi soal aktivitas ciuman antara laki-laki dan perempuan itu sama? Tidak. Temuan di buku The Science of Kissing memberi penjelasan lebih lanjut, bahwa ciuman lebih bermakna bagi perempuan dibanding laki-laki. Bagi laki-laki, ciuman lebih dianggap sebagai jalan menuju hubungan seks.

Perempuan lebih melihat ciuman sebagai jalan untuk memilih pasangan yang terbaik, intim, mapan, dalam hubungan jangka panjang. Mereka memperhatikan bau mulut dan kebersihan gigi laki-laki saat berciuman. Bau mulut yang tak enak dan gigi yang kotor membuat si perempuan berpikir ulang tentang ciuman lanjutan di masa depan. Sedangkan bagi laki-laki, ciuman memang menarik, namun wajah dan penampilan fisik juga tak kalah penting. Ciuman bagi laki-laki adalah bonus.

Anda boleh tak setuju dengan temuan itu. Tapi bagaimana pun juga, aktivitas ciuman dalam sains memang menarik sebab membuka cakrawala tentang reaksinya dalam otak dan tubuh, bahkan dampaknya secara kimiawi. Soal esensi, itu dikembalikan lagi kepada si pelaku. Jika memang secara naluriah aktivitas mesra itu bisa menjadi cara untuk mendekatkan, buat apa dilaksanakan jika akhirnya menjauhkan?

Selamat berciuman dengan orang tersayang.

Baca juga artikel terkait CIUM atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti