tirto.id - Keputusan Kementerian Perdagangan (Kemendag) merevisi aturan soal batas bawah dan atas harga telur dan ayam di tingkat peternak dan konsumen mendapat respons beragam. Regulasi yang mulai diberlakukan per 1 Oktober ini dinilai berpotensi merugikan konsumen dan pedagang kecil.
Supriati, 45 tahun, saat ditemui reporter Tirto, di Pasar Mencos Setiabudi Jakarta, Minggu (30/9/2018) mengatakan dirinya keberatan bila harga telur dan daging ayam di pasar menjadi naik. “Kalau bisa malah lebih murah, karena rakyat kecil,” kata Supriati pedagang warung nasi saat belanja telur untuk bahan dagangannya.
Hal senada diungkapkan Nani (50 tahun) yang mengharapkan bahan pangan, seperti telur dan daging ayam ini tidak naik. “Jangan naik dong, harga daging ayam saja sudah tinggi. Kalau naik harganya, berat buat rakyat kecil,” kata Nani.
Keberatan Supriati dan Nani itu cukup beralasan mengingat per 1 Oktober 2018 ini, Kemendag memberlakukan aturan baru terkait harga acuan telur dan ayam di tingkat peternak dan konsumen. Meski regulasi baru ini belum dirilis, namun Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Tjahya Widayanti memastikan bila aturan baru ini sudah diundangkan.
“Sudah diundangkan,” kata Tjahya saat dikonfirmasi Tirto, Minggu (30/9/2018). Sayangnya, dia belum mau memberikan penjelasan detail soal revisi Permendag Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Dalam Permendag 58/2018, harga di tingkat petani untuk batas bawah telur dan daging ayam Rp17 ribu per Kg dan batas atas Rp19 ribu per Kg. Namun dalam peraturan yang baru, harga batas bawah telur akan diubah menjadi Rp18 ribu per Kg untuk telur dan Rp20 ribu per Kg untuk ayam.
Sementara untuk harga di tingkat konsumen bila mengacu pada Permendag sebelumnya, harga telur Rp22 ribu per Kg dan daging ayam Rp32 ribu per Kg. Sedangkan dalam peraturan hasil revisi, nantinya akan diubah menjadi Rp23 ribu per Kg untuk telur dan Rp34 ribu per Kg untuk harga daging ayam.
Kendati harga di tingkat konsumen akan naik, namun pedagang telur dari Pasar Mampang Jakarta, Soni (50 tahun) mengatakan bahwa patokan harga yang dibuat pemerintah tidak serta-merta menaikkan harga di pasar.
“Enggak bisa begitu juga karena permintaan tiap hari turun terus, daya beli berkurang. Pemerintah susah kalau mau patok harga,” kata Soni kepada Tirto.
Soni mengatakan harga telur dan ayam di pedagang selalu mengikuti harga yang ada di agen partai besar. Dengan demikian, kata Soni, harga acuan yang ditetapkan pemerintah tidak akan berpengaruh signifikan bagi pedagang kecil seperti dirinya. Alasannya, ia hanya tangan ketiga yang menerima pasokan telur.
“Dari peternak, ke agen yang membeli telur dengan partai besar. Dari agen itu ke saya, pedagang pengecer, jadi saya sudah tangan ketiga,” kata Soni.
Sementara Marwah (40 tahun) Pedagang di Pasar Mencos Setiabudi Jakarta mengatakan, dirinya sulit untuk menaikkan harga mesti pemerintah merevisi Permendag 58/2018. Saat ini, kata dia, harga telur yang dijualnya berkisar Rp21 ribu per Kg.
Sementara itu, Kardi (51 tahun), salah satu pedagang ayam di Pasar Mampang menuturkan, penjualan daging ayam saat ini tengah lesu. Biasanya sehari dirinya bisa menjual 60-80 ekor ayam, sekarang hanya 40-an ekor ayam. “Dari setelah Lebaran Haji permintaan kurang ada peminat,” kata Kardi.
Dengan kondisi demikian, kata Kardi, maka sulit untuk pedagang kecil seperti dirinya menaikkan harga di tengah permintaan pasar yang menurun. “Yang penting daya beli masyarakat, kalau enggak banyak permintaan gimana juga mau naikin harga,” kata Kardi.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri mengatakan, pedagang tidak bisa serta-merta dibilang meraup untung dengan adanya kenaikan patokan harga di tingkat konsumen oleh pemerintah.
“Ukuran pedagang sebenarnya simpel saja untuk naik-turunkan harga, yaitu barangnya ada atau enggak dan dia dapat murah atau mahal dari pihak sebelumnya. Kalau dia dapat dari peternak mahal, tentu dia tidak akan jual murah, begitu pula sebaliknya,” kata Abdullah.
Abdullah mengatakan bahwa ketersediaan serta harga telur dan daging ayam di pasar tradisional secara nasional umumnya masih stabil normal. Akan tetapi, kata dia, selama ini harga di pasar memang cenderung lebih tinggi dari patokan pemerintah berdasarkan Permendag 58/2018.
“Sementera ini belum ada masalah yang berarti. Saat ini harga rata-rata telur secara nasional di pasar Rp23 ribu per Kg dan daging ayam Rp33.500 per Kg,” kata Abdullah.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Sigit Prabowo menyambut baik langkah Kemendag menaikkan harga jual telur dan daging ayam.
“Positif itu, kan yang akan dibentuk harga farm gate (di tingkat peternak), yang menyesuaikan biaya produksi, karena harga-harga sarana produksi ternak semua naik,” kata Sigit kepada Tirto.
Sigit mencontohkan, sarana produksi ternak (sapronak) seperti bibit (doc), pakan, dan obat. Sigit mengatakan, naiknya harga sapronak ini sudah sekitar 6 bulan belakangan. “Doc broiler yang harga normalnya Rp5.500 per ekor, belakangan ini stabil di harga Rp6.500 - Rp6.800 per ekor. Jagung dari harga normalnya sekitar Rp3.700 - Rp4 ribu per kg, saat ini sudah menyentuh harga Rp5 ribu - Rp5.100 per kg," ujar Sigit.
Meski demikian, Sigit menilai kebijakan ini tidak akan memberikan dampak signifikan karena produksi telur dan daging ayam saat ini sedang melimpah di tengah biaya produksi yang tinggi. “Yang perlu dipahami bisnis perunggasan ini bukan dihasilkan oleh mesin produksi, tapi ini bisnis biologis atau barang hidup,” kata dia.
“Kalau ayam, semua pelaku [peternak] 90 persen masih jual dalam bentuk live bird (ayam hidup) jadi ya selamanya akan bergejolak terus,” kata Sigit.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz